webnovel

Dosa Terindah 3

"Denis, jujur deh! Pasti kak Arumi kan yang mengijinkanmu datang kemari?" tanya Khanza pada Denis, tatapan kedua matanya begitu tajam, sehingga Denis kembali merasa gelisah.

"Za, apa kau begitu tidak menyukai ku? Aku hanya ingin bertemu dengamu, itu saja. Tapi jika kau begini, aku sebaiknya pulang saja." ucap Denis berusaha mengancam. Meski dalam hatinya dia tau jika ini tidak akan berhasil. Karena baginya, sosok Khanza adalah wanita yang sangat keras kepala.

Gila! Apa-apaan sih Denis ini, kenapa jadi mengancam begitu? Kalau dia pulang begitu saja, urusanku dengan kak arumi begitupun dengan ibu akan lebih panjang nantinya. Akh, sial!

"Tunggu!" ucap Khanza berupaya menghentikan langkah Denis yang sudah beranjak satu langkah. Pada akhirnya Khanza memilih untuk mengalah kali ini. Denis terkejut kemudian tersenyum sebelum berbalik menghadap Khanza kembali. Dia tidak menduga jika Khanza akan mengalah dan menghentikannya untuk segera pulang.

"Duduk!" ucap Khanza kembali setelah Denis menolehnya. Tidak ada cara lain selain terpaksa menyuruhnya duduk kembali.

"Terimakasih, cewek manis."

"Gak usah GR dulu deh, aku menyuruhmu duduk karena aku buka type orang yang tidak tau berterimaksih."

"Gapapa, apapun itu. Aku senang kau mengijinkan ku untuk duduk kembali, itu artinya kau menerima ku dirumah ini."

Denis mulai berani menggombali Khanza. Hal itu membuat Khanza merasa risih, tapi percuma saja meski dia mengatakan ketidak sukaan nya pada Denis.

Sudah dua jam berlalu, Khanza hanya duduk diam dan mengutak atik ponsel yang di genggamnya sejak tadi. Tak sedikitpun dia peduli meski Denis terus saja mengajaknya bicara, sementara Denis seakan tak mau tau meski Khanza mengacuhkannya. Hanya cukup bisa memandang wajah Khanza secara dekat begitu, sudah sangat membuatnya bahagia.

"Woey, ada tamu special nih ternyata. Hai adik ipar, ups…"

Arumi datang memasuki ruangan dengan langsung menyapa Denis begitu antusias, sesaat dia langsung menutupi mulutnya karena merasa keceplosan dengan apa yang selama ini masih dia tutupi dari kedua orang tuanya.

"Gak usah pura-pura begitu deh, Kak. Aku tau jika ini semua kakak yang mengaturnya bukan?" Khanza semakin geram ketika Arumi datang dengan berpura-pura tidak mengetahui kedatangan denis. Karena mustahil saja bagi Khanza jika kakak nya pure tidak mengetahui kedatangan Khanza.

"Yeee, apaan sih, Za? Kenapa kau marah begitu hah? Atau jangan-jangan kalian sedang…."

"Kak! Jangan mulai deh, ya sudah aku ke kamar aja. Kakak kan sudah pulang, jadi kakak saja yang menemani denis. Aku sudah ngantuk!" cetus Khanza beranjak pergi menuju kamarnya. Denis tampak kebingungan akan sikap Khanza yang demikia pada kakaknya, Arumi.

"Eh, De-nis. Maafkan adik kakak ya, tolong jangan di masukkan ke dalam hati sikapnya barusan." Kata Arumi pada Denis, dia sedikit gugup dan kali ini sungguh dia tidak menduga jika Khanza akan begitu marah dengan kedatangan Denis. Padahal dalam hati, Arumi begitu yakin jika Denis akan mampu menaklukkan hati adiknya itu. Karena kenyataannya saat ini Khanza sedang sendiri, dia tidak pernah terlihat dekat dengan laki-laki lain setelah putus dengan Jordy.

"Tidak apa-apa kak, aku yang harus meminta maaf pada kakak. Karena aku yang nekat datang kesini, Khanza jadi marah sama kakak." Balas Denis dengan santun dan ramah, sikapnya itu lah yang membuat Arumi begitu ingin menjodohkan adiknya dengan sosok Denis.

Akhirnya pun Denis berpamiitan untuk pulang, baginya sudah lebih dari cukup sejak tadi bisa bersama Khanza hingga arumi datang. Namun dalam hati arumi tetap di geluti perasaan yang campur aduk, dia sungguh merasa malu dan bersalah. Dia berniat untuk memarahi adiknya malam ini juga, setelah beerapa kali ia mencoba untuk mengundang adiknya, Khanza segera keluar dari kamar dengan mengetuk keras pintu kamar nya, namun tetap nihil. Khanza seolah sengaja tidak membukakan pintu kamarnya. Malah justru ibu mereka yang keluar kamar karena merasa terganggu dengan cara Arumi yang demikian.

"Arumi! Apa-apaan sih kamu ini, lama-lama itu pintu kamar adikmu jebol jikakau terus menggedornya begitu," tegas sang ibu pada Arumi.

"Bu, aku tau Khanza sengaja tidak membukakan pintu kamarnya untukku. Maka itu aku menggedornya keras," bantah Arumi tak ingin di salahkan.

"Sudah, kau mandi saja sana! Lihat, kau sudah bau keringat." Sebagai ibu dari kedau anak-anaknya yang sama-sama memiliki watas keras kepala, dia tiak ingin memihak siapapun. Meski diam-diam dia melihat serta mendengar semua, apa yang sudah terjadi tadi.

'Denis anak yang manis, santun, humoris juga, postur tubuhnya juga tinggi. Tapi kenapa Khanza begitu tidak menyukainya? Bukankah selama ini dia juga belum memiliki pacar setelah putus dari Jordy? Oh, tidak! Semoga dia tidak sampai memiliki perasaan trauma dalam suatu hubungan.' Pikir sang ibu di dalam hatinya.

Sedang di dalam kamarnya, Khanza menggerutu kesal.

"Rasain tuh! Siapa suruh membiarkan Denis nekat main kerumah ini. sampai kapanpun aku tidak akan pernah mau menerima cinta Denis, dia memang tampan dan manis, dia juga tak kaah keren. Tapi aku yakin, dia tak jauh berbeda dengan Jordy, aku bisa melihatnya jelas dari kedua matanya yang terkadang nakal saat menatapku." Dengan meremat seprai bantal yang di dekapnya, Khanza seakan terbawa dengan bayangan tentang Jordy lagi.

Malam pun kian semakin larut, berulang kali Khanza mengecek notif pesan dan panggilan di ponselnya yang sudah tentu berharap datangnya dari pak Gibran. Akan tetapi, itu semua hanyalah sebuah harapan semu, kenyataanya tak ada satupun notif tersebut darinya.

Pagi pun tiba, suara kicauan burung begiut berisik pagi ini. Membangunkan Khanza secara paksa, dia berusaha meraba ponselnya yang entah dimana dia letakkan malam tadi setelah tertidur karena menunggu kabar pak Gibran. Setelah mendapatkannya, dia lihat notif itu masih sama. Nihil, tanpa abar dan ucapan selamat pagi yang mesra seperti biasanya.

Dengan wajah manyun dia mengucek kembali kedua matanya, dia hnedak pergi ke kamar mandi lalu bersiap-siap segera menuju sekolah, lalu setelah itu dia akan memberikan satu hukuman pada pak Gibran karena telah membuatnya menunggu kabarnya hingga pagi ini.

Drrrtttt…

Khanza langsung saja berbalik ban dengan cepat ketika terdengar ponselnya bergetar, dai masih berharap jika itu adalah sebuah pesan dari seseorang yang baru sja dipikirkannya. Namun seketika dia mengerutkan kedua alisnya saat menatap layar ponsel di genggamannya.

(Hai, Za. Selamat pagi,)

Isi pesan singkat dari seorang yang sudah tentu akan membuat Khanza kebakaran jenggot pagi ini. dan benar saja, dia menarik rambutnya sendiri seraya memekik geram.

"Aaaaargt… lama-lama aku bisa gila di hantui terus seperti ini, Tuhan!!!"

Next chapter