webnovel

7 Kesepakatan.

Tanpa berniat untuk menjawab pertanyaannya aku terus berjalan. Kenapa dia masih mengikutiku? Aku harus membawa pergi Abigail. Seketika, aku mendapatkan cara agar dia berhenti mengikuti kami.

_________________________

_____________________

___________________

_________________

______________

Aku berhenti melangkah saat sudah berada di dekat toilet. Pria itu masih berjalan menuju ke arahku. Saat dia sudah berada di hadapanku, aku membuka penutup minuman Abigail yang berada di tanganku.

"Apa yang kau lakukan?" Tanyanya dengan nada jengkel sambil menatapku.

"Maaf, aku tidak sengaja." Jawabku kepada orang yang sedang berdiri di hadapanku. Aku menundukkan kepalaku untuk menyembunyikan senyuman di bibirku.

Kaos putihnya berubah warna seketika. Cairan dari Bobba Berry Slush bewarna pink telah menempel pada depan kaos putihnya. Dia mulai membersihkan cairannya menggunakan kedua tangannya. Sepertinya, kaos itu pasti sangat sulit untuk dibersihkan.

"Kenapa pakaiannya bisa basah?" Tanya seseorang yang baru saja keluar dari toilet.

Maka aku langsung menggandeng tangan kanannya, sambil berkata. "Sepertinya dia tidak bisa pergi bersama kita, sayang. Kau lihat kan pakaian yang dia kenakan basah." Ucapku dengan nada manja.

Aku dapat melihat pria ini menatapku saat aku berbicara dengan putriku. Apakah dia marah? Ah, biarkan saja yang terpenting adalah dia batal untuk pergi bersama kami.

"Kenapa uncle Christ tidak mencoba membersihkannya di toilet saja." Tanya Abigail saat sudah berada di dekat Christ.

"Sepertinya itu tetap akan meninggalkan bekas, sayang. Kau lihat kan pakaian yang uncle Christ kenakan bewarna putih. Jadi, kita hanya dapat pergi berdua saja, sayang." Kataku untuk meyakinkan putriku ini.

"Tidak apa, Bie. Kita batalkan saja rencana kita. Mungkin lain kali kalau ada waktu kita bisa pergi bersama." Kata pria itu.

Apa katanya, Bie? Sejak kapan dia tahu nama panggilan Abigail. Hanya orang cukup dekat dengan putriku yang boleh memanggil nama itu. Lihat saja, pasti sebentar lagi Abigail akan marah. Dia tidak suka orang yang tidak terlalu akrab dengannya menyebutkan nama panggilannya.

"Baiklah uncle Christ. Sepertinya mom dan Bie juga akan pulang ke rumah saja." Balas Abigail pada Christ.

Kenapa Bie tidak marah? Jadi, mereka memang sudah sedekat itu? Aku harus membicarakan masalah ini nanti di rumah.

"Bagaimana kalau aku antar kalian?" Christ menawarkan diri.

"Bolehkah? Apakah itu tidak merepotkan mu, uncle?" Potong Bie sebelum aku sempat untuk bicara.

"Tentu saja tidak, ayo!" Ajak Christ mulai berjalan keluar meninggalkan toilet umum ini. Disusul Bie berjalan di sampingnya meninggalkan ku sendiri.

Kenapa aku merasa sedih karena Bie tidak mengajak ku. Putriku pergi begitu saja tanpa menunggu ku. Mau tidak mau aku harus menerima tumpangan Christ, bukan? Sebelum terjadi sesuatu yang aneh aku mulai menyusul mereka.

"Mom, duduk disini, sayang." Pintaku pada Bie.

"Tapi kan aku mau duduk bersama uncle Christ, mom." Tolak Bie sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Tidak boleh. Kau harus duduk di kursi belakang, sayang." Tanpa menunggu persetujuan dari Bie dan si pemilik mobil, aku langsung membuka pintu kemudian duduk di kursi depan dan segera menutup pintunya.

Dari balik jendela kaca aku melihat mereka berdua berbicara. Aku tidak bisa mendengarkan percakapan mereka. Mungkin saja si pemilik mobil sedang membujuk Bie agar mau duduk di kursi belakang, pikirku. Tidak lama setelah itu mereka mulai masuk kedalam mobil. Dan Christ mulai mengendarai mobilnya. Sesekali Abigail berbicara untuk menunjukkan arah jalan ke rumah kami. Sebenarnya rumah kami tidak jauh dari tempat kami tadi. Aku bisa saja memilih untuk berjalan kaki. Hanya saja, aku tidak akan membiarkan mereka berdua pulang berdua tanpa diriku.

"Terima kasih atas tumpangannya." Ucapku kepadanya saat kami sudah berada di depan teras rumah.

"Sama-sama." Katanya singkat kepada ku. Lalu Christ masuk kedalam mobilnya untuk mencari sesuatu.

"Ini kado Natal untukmu, Bie." Christ menyodorkan sebuah bingkisan kepada Abigail.

"Apa ini?" Bie tidak sabar langsung membuka bingkisannya.

Bie mengeluarkan isi bingkisan tersebut, lalu tampak sebuah handphone bewarna putih. Kenapa pria ini memberikan kado Natal yang sangat mahal kepada putriku? Siapa sebenarnya pria ini?

"Aku bisa menghubungi mu saat aku memiliki waktu luang, Bie. Aku sudah memasukkan nomor handphone ku." Katanya sambil menunjuk ke arah handphone yang ada di tangan putriku.

"Wow, ini keren sekali. Thank's uncle Christ." Bie mengucapkan sambil melompat kegirangan.

"Kalau begitu aku pamit dulu." Christ berbicara, lalu mulai melangkah ke arah mobilnya.

Sesampai di dalam rumah aku mulai mencari keberadaan putriku. Ternyata Bie sedang berbaring tengkurap dia atas tempat tidur. Kelihatannya Bie sedang memainkan ponselnya. Aku menghampirinya dan duduk di tepi ranjang.

"Bie, mom tidak suka melihat mu begitu dekat dengan orang asing." Kataku padanya.

Seketika putriku menolehkan kepalanya ke arah ku. Bie mencoba mencerna kalimat ku.

"Maksud, mom?" Tanyanya heran.

"Ya, uncle Christ. Mom tidak suka melihat kedekatan kalian." Jelasku padanya.

"Mom, orang asing itu adalah orang yang tidak kita kenal. Aku kenal dengan uncle Christ. Buktinya mom juga sudah tahu namanya. Dia adalah pria yang baik." Balasnya sambil menatap ke layar handphonenya kembali.

"Jadi kau sungguh akan selalu menemaninya disaat dia sedang bosan?" Tanyaku.

Bie kelihatan bingung, lalu dia mulai bangkit dari tempatnya dan duduk berhadapan dengan ku.

"Disaat sedang bosan? Siapa? Uncle Christ?" Bie bertanya sambil mengerutkan keningnya.

"Uncle Christ menceritakan tentang awal pertemuan kalian. Jadi mom sudah tahu semuanya." Ucapku sambil menatapnya.

"Jadi mom sudah tahu semuanya. Uncle Christ memberitahukan semuanya kepada mom?" Abigail bertanya sambil menundukkan kepalanya.

Sepertinya dia kecewa. Mungkin Christ berjanji kepada Bie untuk merahasiakannya kepadaku.

"Lagi pula kenapa kau harus menyetujuinya? Menurut mom, itu adalah sebuah perjanjian yang aneh." Bie masih menundukkan kepalanya saat aku berbicara.

Mungkin Bie tahu kalau dia bersalah dalam hal ini. Tapi bagaimanapun Bie sudah terlanjur menuruti perjanjian itu. Apa yang harus aku lakukan untuk menjaga Bie? Christ tidak mau menerima uang ku untuk mengganti biaya cake yang dia beli. Mungkin uang cake itu tidak ada artinya baginya bila dilihat bagaimana dengan mudahnya dia menghadiahkan ponsel mahal itu kepada putri ku sebagai kado Natal.

Bie masih menatap handphonenya yang dia letakkan diatas kasur ini, lalu dia mulai berbicara."Mom, tolong beri kami waktu tiga bulan untuk mengakhiri perjanjian ini. Setelah itu Bie berjanji tidak akan mencarikan sese..."

"Tapi mom harus ikut kemanapun kalian pergi. Dan mom yang harus mengatur waktu kalian. Mom takut uncle Christ berbuat hal-hal yang aneh terhadap mu." Potong ku sebelum Bie menyelesaikan perkataannya.

Tiba-tiba Bie mengangkat kepalanya dan menatapku dengan tatapan bingung.

"Bukankah kau hanya harus menemani uncle Christ sewaktu dia sedang bosan? Itu kesepakatan yang kalian buat untuk menggantikan uang cake yang uncle Christ belikan untukmu dalam perjanjian itu, bukan? Mom pikir dia juga kesal karena cake mu yang jatuh mengenai sepatunya, makanya dia membuat kesepakatan konyol seperti itu. Jadi sebelum dia melakukan pembalasan terhadap mu, maka mom harus terus bersama mu. Kau mengerti Bie?" Terangku pada putriku yang hanya dia respon dengan wajah bingung.

Seolah berhasil mencerna semua kalimat-kalimat dari ku, Bie seketika mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajah Bie yang sedang terlihat seperti kebingungan seketika berubah menjadi tersenyum lebar kepadaku. Mungkin putriku tersenyum karena merasa lega. Mau tidak mau untuk sementara aku harus menerima perjanjian itu. Lagi pula itu hanya berlangsung selama tiga bulan saja. Seiring dengan berjalannya waktu, aku akan mencari cara supaya Christ sendiri yang akan membatalkan perjanjian mereka.

    ************

                       

                                ********

                                   *****

                                     

"Mom pergi dulu ya, sayang." Ucapku sambil mencium kedua pipi putriku.

"Ya, mom. Hati-hati dan semangat!" Balas putriku sambil menciumi pipiku juga.

"Kau harus baik-baik dirumah ya, sayang. Ingat jangan membiarkan pintu terbuka. Kau hanya boleh membukakan pintu untuk Grandma Jane dan Aunty Katty saja." Pesanku kepada putriku.

Bie mengangguk sambil mengunyah sarapannya. Mulai sekarang Bie sudah tidak ku titipkan lagi kepada aunt Jane. Karena mulai sekarang aku sudah kembali bekerja sampai sore hari saja. Saat aku sudah mengunci pintu aku mendengar ada suara. Aku mencari asal suara, sepertinya suara itu berasal dari penghuni baru sebelah rumah ku. Sekilas aku melihat ada benda bewarna hitam di balik kaca depan jendela rumah itu.

*ToBeContinued*