webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Saya coba hubungi keluarga dan rekan-rekan nantinya

Erfly masih melakukan transfusi darah. Pikirannya sudah kemana-mana, perasaan takut kehilangan Gama semakin meningkat.

"Dokter... Kita harus cari kemana darahnya...? Kata dokter, darah AB negatif langka...?", Erfly bicara cemas.

"Langka bukan berarti tidak ada bukan...?", Caca bicara santai.

"Tapi...?", Erfly tidak menyelesaikannya ucapannya karena sudah dipotong oleh Caca.

"Nanti saya coba hubungi PMR terdekat minta bantuan. Kalau tidak ada. Saya coba hubungi keluarga dan rekan-rekan nantinya", Caca memberi solusi kepada Erfly.

"Terima kasih dokter...", Erfly menggenggam jemari tangan Caca.

Setelah melakukan transfusi darah Erfly kembali menemui Cakya. Erfly duduk disamping Cakya, Cakya sudah jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya.

"Cakya makan dulu", Erfly bicara pelan.

"Ntar aja", Cakya menjawab dengan nada paling rendah.

Erfly membuka sterofom makanan yang berada disamping Cakya. "Cakya makan dulu, ntar malah Cakya yang sakit", Erfly menyodorkan makanan ketangan Cakya.

Cakya memaksakan untuk makan. Agar punya tenaga untuk menjaga Gama.

Caca menghampiri Erfly dan Cakya.

"Dokter...?", Erfly meletakkan makannya, kemudian berdiri untuk menyambut Caca.

"Lanjutkan saja makannya, saya hanya mau memberitahukan, kalau kita sudah mendapatkan donor darah yang kita perlukan, 2 kantong darah kita peroleh dari PMR terdekat", Caca memberikan informasi.

"Alhamdulillah...", Erfly dan Cakya mengucap syukur.

Satu jam kemudian dokter telah selesai melakukan operasi. Gama segera dipindahkan keruang rawat.

Cakya duduk disamping tempat tidur Gama, menggenggam jemari tangan kanan Gama.

"Om... Bangun, jangan membuat Cakya merasa bersalah kayak gini", Cakya bicara lirih, air matanya tidak mampu dibendungnya lagi, mengalir keluar tanpa permisi.

Erfly meletakkan jemari tangannya keatas pundak Cakya. "Tugas kita sekarang hanya satu, do'ain bang Gama agar lekas pulih", Erfly bicara pelan, memberikan kekuatan kepada Cakya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, akan tetapi Gama masih belum sadar juga. Tiba-tiba alat pasien monitor berbunyi, suster jaga langsung masuk karena mendapat peringatan dari suara pasien monitor.

Suster menekan salah satu tombol yang ada didinding disamping tempat tidur pasien. Dokter yang melakukan operasi kepada Gama muncul hanya dalam hitungan detik.

"Abang...?", Erfly bicara pelan, tubuhnya kaku tidak bisa bergerak melihat dokter sibuk memeriksa keadaan Gama.

"Kalian bisa tunggu diluar, beri ruang buat dokter memeriksa keadaan pasien", suster yang tadi pertama kali mengetahui kondisi Gama meminta Erfly dan Cakya untuk keluar ruang rawat inap.

Erfly dan Cakya hanya menurut, keluar dari ruangan rawat inap Gama. Menunggu dengan gelisah diluar ruang rawat.

Selang beberapa waktu kemudian, dokter yang memeriksa keadaan Gama keluar dari ruang rawat inap Gama.

"Bagaimana keadaan Gama dok...?", Cakya bertanya cemas karena merasa khawatir.

"Terjadi pendarahan di dekat jantung pasien, sehingga itu menyebabkan terjadi gumpalan darah pada salah satu syaraf pasien, sehingga menyebabkan kurang berfungsinya jantung dengan baik. Dan... Kita harus melakukan operasi jantung secepatnya", dokter tersebut menjelaskan keadaan Gama secara garis besar.

"Lakukan dokter, lakukan apapun untuk menyelamatkan bang Gama...", Erfly menggenggam jemari tangan dokter, tangisnya pecah karena merasa khawatir.

"Sayangnya kita tidak punya dokter syaraf. Dan... Masalahnya, dengan kondisi pasien yang seperti saat ini, akan terlalu berbahaya untuk melakukan pemindahan pasien kerumah sakit yang lebih besar. Saya takut akan terjadi pendarahan selama proses pemindahan", dokter tersebut menjelaskan panjang lebar.

Seolah menemui jalan buntu. Seketika langit terasa runtuh, bahkan Cakya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Gama. Cakya duduk lemas, Cakya menarik rambutnya frustrasi karena merasa putus asa.

"Lalu...? Kita harus bagaimana...?", Erfly menangis karena merasa frustrasi.

"Kita lakukan operasi sekarang...!!!", terdengar suara lelaki dari belakang Erfly.

Erfly membalikkan badannya, melihat siapa yang berbicara. "Koko...?", Erfly langsung menyerbu kepelukan Alfa. Menangis sejadi-jadinya melepaskan beban yang ada dihatinya.

"Udah dek... Kamu jangan nangis gini. Koko udah disini, jadi... Kamu tidak perlu khawatir lagi", Alfa mengusap kepala Erfly lembut.

Erfly melepaskan pelukannya, kemudian menghapus air matanya.

"Anda...?", dokter yang memeriksa keadaan Gama berusaha keras mengingat siapa yang ada dihadapannya saat ini.

"Saya Alfa...", Alfa menyalami dokter yang merawat Gama sebelumnya.

"Astagfirullah, dokter Alfa... Maafkan saya tidak mengenali anda sebelumnya", dokter tersebut langsung menggenggam jemari tangan kanan Alfa dengan kedua jemari tangannya.

"Bisa kita lakukan operasi sekarang...?", Alfa bertanya dengan ketenangan yang sama. Alfa tidak mau membuang-buang waktu lagi.

"Baik dokter, kita akan siapkan ruang operasi segera. Kalau begitu saya permisi dulu", dokter tersebut langsung berlalu meninggalkan Alfa.

"Koko kenapa bisa disini...?", Erfly bertanya bingung setelah dokter dan suster pergi untuk menyiapkan ruang operasi untuk Gama.

"Setelah kamu nelfon Koko tadi siang, Koko langsung hubungi dokter Caca yang bekerja disini. Koko minta dikirimkan rekam medis Gama. Dari hasil ECG (electrocardiograph), rekaman kelistrikan otot jantung. Koko lihat ada gangguan pada irama jantung Gama. Makanya Koko langsung memutuskan untuk kesini", Alfa menjelaskan panjang lebar, kenapa dia bisa ada dirumah sakit tempat Gama dirawat.

"Koko g'ak capek langsung melakukan operasi...? Kan Koko habis nyetir berjam-jam...?", Erfly bertanya cemas.

"Koko sewa supir pengganti dek, jadi sepanjang perjalanan Koko tidur", Alfa nyengir kuda memamerkan giginya.

"Oh ya kamu kesini naik apa...?", Alfa bertanya penasaran.

"Erfly sama bang Gama naik mobil sewaan Ko", Erfly menjawab pelan.

"Kamu pulang sama Koko saja, setelah operasi semoga Gama bisa langsung dipindahkan kerumah sakit umum tempat Koko bekerja saja", Alfa memberi saran.

"Ya Ko, kalau begitu... Erfly kedepan, lunasin uang rentalan mobilnya", Erfly pamit kepada Alfa.

"Iya", Alfa bicara pelan, sambil mengangguk pelan.

"Cakya, disini dulu. Erfly mau kedepan sebentar", Erfly pamit kepada Cakya.

Cakya hanya mengangguk pelan. Setelah Erfly berlalu pergi, Cakya menghampiri Alfa yang sedang memeriksa keadaan Gama.

"Dokter...", Cakya bicara pelan.

"Yah...", Alfa menatap kearah Cakya.

"Saya... Mengucapkan terima kasih dokter...", Cakya bicara pelan.

"Terima kasih...? Untuk apa...?", Alfa membuka kacamatanya dan menatap serius kearah Cakya.

"Dokter sudah mau menolong Om Gama...", Cakya melanjutkan ucapannya.

"Itu sudah menjadi tugas saya, g'ak usah dipikirkan", Alfa menepuk pelan lengan Cakya. "Kalau begitu saya permisi dulu, mau mengecek ruang operasi Gama", Alfa segera berlalu meninggalkan Cakya dan Gama.

***

Erfly menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan kepada supir mobil sewaan Erfly.

"Jadi... Erfly g'ak ikut pulang bareng saya...?", supir tersebut bertanya kemudian.

"Maaf bang, kita masih harus disini melihat perkembangan Gama, mohon do'anya bang", Erfly bicara pelan.

"Aamiin... Ya sudah, kalau begitu saya permisi. Takut kemalaman", supir tersebut mohon diri.

"Terima kasih bang, maaf ya bang sudah merepotkan", Erfly merasa tidak enak.

"Justru harusnya saya yang harus ngucapin makasih, sudah dibayar lebih dari perjanjian kita sebelumnya", supir tersebut merasa tidak enak, kemudian berlalu meninggalkan Erfly sendirian diparkiran.

Erfly kembali kedalam rumah sakit. Menemui Cakya yang sudah berada didepan ruang operasi. Erfly duduk di samping Cakya, menggenggam jemari tangan kanan Cakya memberikan kekuatan.

"Astagfirullah... Cakya belum kasih tahu orang rumah", Cakya bicara pelan, dia baru ingat belum memberi kabar kepada orang tuanya.

Erfly merangkul lengan Cakya, kemudian menyadarkan kepalanya di pundak Cakya.

"Erfly udah telfon mama setelah sholat zuhur", Erfly bicara pelan.

Cakya mengusap kepala Erfly dengan sayang, "Terima kasih...", Cakya bicara pelan.

"Maaf...", Erfly bicara pelan diluar dugaan Cakya.

Cakya beranjak dari posisi duduknya, menjauh dari Erfly sehingga Erfly terpaksa melepaskan lengan Cakya. Erfly menggenggam jemari tangan kanan Cakya dengan kedua jemari tangannya, kemudian meletakkan jemari tangan Cakya tepat dikeningnya.

"Lagi-lagi Erfly nyakitin Cakya. Bahkan hari ini lebih parah lagi, malah Erfly buat bang Gama celaka", Erfly bicara dengan suara paling pelan. Air matanya keluar tanpa permisi.