Erfly menangis sejadi-jadinya, semua rasa bersalah menumpuk menyesakkan dadanya. Mulai dari pertengkaran Gama dan Cakya, yang disebabkan oleh dirinya. Sehingga membuat Gama sekarang harus berjuang diatas meja operasi.
Cakya memeluk Erfly, mengusap pelan punggung Erfly berusaha menenangkan Erfly. Erfly menenggelamkan mukanya kedada Cakya, Erfly menangis sejadi-jadinya melepaskan beban didadanya yang terasa semakin sesak.
Selang beberapa menit kemudian, Erfly sudah mulai tenang. Cakya melepaskan pelukannya secara perlahan, Cakya menghapus jejak air mata di pipi Erfly.
"Erfly jangan nangis, jangan bikin bingung", Cakya bicara pelan memohon agar Erfly berhenti menangis.
"Erfly salah... Gara-gara Erfly bang Gama celaka kayak gini", Erfly bicara disela tangisnya.
Cakya meletakkan jemari tangannya kepipi Erfly. "Udah... Jangan nangis lagi, Erfly buat Cakya bingung kalau seperti ini", Cakya bicara penuh harap.
"Erfly...", ucapan Erfly terputus karena Cakya sudah meletakkan jari telunjuk kirinya ke bibir Erfly.
"Udah... Jangan dilanjutkan, Cakya baik-baik saja, Om Gama juga akan baik-baik saja setelah ini", Cakya berusaha meyakinkan Erfly.
Erfly meraih jemari tangan kanan Cakya yang masih menempel dipipinya dengan kedua jemari tangannya, kemudian mencium punggung tangan kanan Cakya dengan lembut.
***
Ayah Cakya membuka pintu kamar Cakya, kemudian menyalakan lampu, karena terlihat gelap. Ayah Cakya menyisir kesetiap sudut kamar, akan tetapi tidak menemukan yang dia cari.
"Ma...!!!", ayah Cakya memanggil istrinya.
"Ya...", ibu Cakya muncul dari arah dapur.
"Cakya kemana...? Kok g'ak ada dikamarnya...?", ayah Cakya bertanya khawatir.
"Oh... Iya, mama lupa kasih tahu. Abang ke Muara Bulian", ibu Cakya bicara sambil meneguk minumannya.
"Bulian...?", ayah Cakya bertanya bingung kembali memastikan ucapan istrinya.
"Iya pa, kan hari ini pas setahun meninggalnya Asri", ibu Cakya menjawab pelan.
Ayah Cakya duduk diruang tamu.
"Kenapa...? Kok papa khawatir gitu mukanya...?", ibu Cakya bertanya penasaran melihat wajah khawatir suaminya.
"Sudah setahun ya...? G'ak terasa waktu cepat berlalu", ayah Cakya bicara lirih. Terdengar suara ketakutan dari nada suara ayah Cakya.
"Papa kenapa...? Sepertinya ada yang dipikirkan...?", ibu Cakya menyelidiki.
"G'ak tahu, papa khawatir saja sama abang ma. Mama tahu sendiri bagaimana abang terpukul saat kehilangan Asri. Sekarang dia malah ke makam Asri sendirian", ayah Cakya bicara cemas.
"Siapa bilang abang sendiri...? Ada Erfly dan Gama juga disana", ibu Cakya bicara pelan, mengusap punggung tangan suaminya dengan lembut.
"Lho... Mereka berangkat bareng-bareng dari sini...?", ayah Cakya kembali memastikan.
"G'ak, abang berangkat sendiri kesananya. Tapi... Tadi siang Erfly menelfon, katanya dia bersama abang, mereka ketemu pas dimakam Asri. Erfly berangkat sama Gama kesananya", ibu Cakya menjelaskan.
Ayah Cakya mengangguk pelan, mengerti dengan penjelasan istrinya.
"Kapan katanya mereka akan pulang...?", ayah Cakya bertanya lagi.
"Mama coba pastiin ya", ibu Cakya meraih HPnya yang ada diatas TV, kemudian menelfon Erfly.
"Assalamu'alaikum nak..."
"Wa'alaikumsalam, iya ma...?"
"Bagaimana kabar kamu nak...?"
"Alhamdulillah kita baik-baik saja ma"
"Alhamdulillah, kalian udah dimana sekarang...?"
"Kita masih di Bulian ma, kita... Em... Kita g'ak dapat mobil. Sepertinya kita nginap disini ma, InsyAllah besok pagi-pagi kita berangkat pulang ke Sungai Penuh ma", Erfly kali ini kembali berbohong. Erfly tidak mau membuat ibu Cakya khawatir.
"Ya udah kalau gitu, kalian hati-hati disana, mama titip abang ya nak...", ibu Cakya bicara penuh harap.
"Iya ma, assalamu'alaikum", Erfly memutuskan hubungan telfon.
"Wa'alaikumsalam...", ibu Cakya menjawab pelan.
"Mereka masih di Bulian pa, katanya g'ak dapat mobil", ibu Cakya memberitahukan suaminya.
"Semoga mereka baik-baik saja", ayah Cakya mengirimkan do'a untuk putra sulungnya.
"Aamiin allahuma Aamiin", ibu Cakya mengaminkan do'a suaminya sepenuh hati.
***
Sudah lewat tengah malam, akan tetapi pintu ruang operasi masih belum terbuka. Cakya masih menunggu dengan gelisah, banyak pertanyaan yang muncul diotaknya tiba-tiba.
Erfly karena kecapean malah tidur diatas kursi tunggu. Menjadikan paha Cakya sebagai bantal. Cakya memilih untuk mengaji, agar pikirannya kembali tenang, sekaligus mendo'akan Gama agar segera pulih.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 2.47 Wib, Alfa keluar dari ruang operasi.
"Dokter, maaf Cakya tidak bisa berdiri", Cakya bicara pelan, sambil menatap Erfly yang terlelap tidur dipahanya.
"Oh... Tidak apa-apa", Alfa menggoyangkan jemari tangannya kekanan dan kekiri. Kemudian duduk tidak jauh dari Cakya.
Caca menghampiri Alfa.
"Maaf dokter, pasien langsung dipindahkan ke ruang rawat, atau ICU...?", Caca bertanya, karena sebelumnya Alfa tidak memberikan perintah.
"ICU dokter, Gama masih harus dipantau dengan intensif. Tolong cek ECG pasien dan tensinya setiap satu jam sekali", Alfa memberi instruksi.
"Baik dokter. Kalau begitu saya permisi", Caca langsung berlalu dari hadapan Alfa.
Alfa kembali duduk, dan memijit kepalanya yang mulai terasa berat.
"Maaf dokter, bagaimana keadaan Om Gama...?", Cakya bertanya cemas.
"Puji tuhan, masa kritis Gama sudah lewat. Tapi... Kita harus lihat perkembangan Gama selanjutnya. Kalau dalam 5 jam kedepan Gama masih tidak sadarkan diri, kita harus kembali lakukan operasi berikutnya", Alfa bicara jujur apa adanya.
"Astagfirullah hal'azim", Cakya mengusap kasar mukanya.
Alfa menepuk-nepuk pelan pundak Cakya. "Kita berdo'a yang terbaik buat Gama", Alfa memberikan saran kepada Cakya.
"Terima kasih dokter", Cakya bicara pelan.
Erfly perlahan membuka matanya, saat melihat Alfa yang duduk tidak jauh dari Cakya, Erfly langsung posisi duduk siaga.
"Kamu udah bangun dek...?", Alfa bertanya basa-basi.
"Bagaimana bang Gama Ko...?", Erfly bertanya cemas.
"Gama sudah dipindahkan ke ICU. Kalau Gama bisa sadar sebelum 5 jam, itu berarti Gama baik-baik saja. Banyak-banyak berdo'a buat Gama dek", Alfa merangkul keadaan Gama dalam satu kalimat singkat.
"Erfly boleh lihat bang Gama...?", Erfly mengajukan pertanyaan seketika.
"Kita sama-sama saja ke sana", Alfa memberikan solusi.
Kemudian Cakya, Erfly daan Alfa melangkah bersama menuju ICU. Erfly dan Cakya tidak diizinkan untuk masuk karena pasien membutuhkan istirahat, jadi dua sejoli itu hanya menatap Gama dari kaca jendela ruang ICU. Alfa masuk untuk mengecek perkembangan Gama.
Waktu terasa berjalan lambat. Saat azan subuh berkumandang, Caca menghampiri Alfa yang tertidur di bangku bersama Cakya dan Erfly.
Caca menepuk-nepuk pelan pundak Alfa.
Alfa dengan segera terbangun, "Ada apa dokter...?", Alfa bertanya pelan, mengucek matanya pelan untuk menghilangkan rasa kantuk.
"Gama sudah sadar", Caca bicara dengan senyum yang melebar.
Erfly yang telah terbangun sejak azan langsung melakukan sujud syukur. "Alhamdulillah...", Erfly duduk dilantai mengucap syukur.
"Kita bisa jenguk Om Gama...?", Cakya bertanya penuh harap.
"Silakan", Caca memberi akses untuk Cakya, Erfly dan Alfa untuk masuk.
Alfa mengecek keadaan Gama.
Gama melirik kiri kanan, "Gama dimana...?", Gama bertanya bingung.
"Abang kecelakaan, abang bikin Erfly takut tahu", Erfly langsung menyerbu memeluk Gama.
Gama mengusap pelan kepala Erfly, "Gama masih hidup dek, belum mati, jangan di tangisin", Gama mulai lagi dengan candaannya.
Erfly spontan melepaskan pelukannya, kemudian memukul lengan Gama kesal.
"Dokter Alfa, bisa panggil polisi g'ak...?", Gama bertanya mengarah kepada Alfa.
"Bisa, kamu mau melaporkan penabrak kamu...?", Alfa menebak tujuan permintaan Gama.
"Bukan dok", Gama bicara pelan.
"Lalu...?", Cakya kali ini yang mengejar jawaban karena bingung tidak mengerti.
"Mau laporkan penganiayaan terhadap pasien", Gama menjawab pelan, kemudian menunjukkan kearah Erfly dengan isyarat mulutnya.
Spontan semua yang ada diruangan tertawa karena candaan Gama.
Alfa menuju meja resepsionis untuk mengurus perpindahan Gama. Serta menyelesaikan administrasi selama Gama dirawat di rumah sakit.
Seorang polisi datang menyerobot, "Pasien kecelakaan di Muara Bulian kabarnya dibawa kesini...? Bisa saya bertemu...?", polisi tersebut bertanya tegas kepada suster jaga.