webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Kita akan baik-baik saja kedepannya

Sinta duduk di ruang tamu, menikmati hari liburnya. Sinta memilih menonton DVD, dengan cemilan dan minuman yang sudah dia siapkan diatas meja.

Tasya duduk disamping Sinta, badannya sudah mulai terasa berat. Perutnya yang ratapun sudah mulai terlihat tonjolan.

"Kamu mau makan apa dek hari ini...?", Sinta bertanya pelan menatap penuh kasih kepada Tasya.

"Apa ajalah mbak, perutnya udah mulai bisa diajak kompromi sekarang", Tasya tersenyum lembut, sembari menggosok pelan perutnya yang menonjol.

"Kita makan di luar aja ya, mbak lagi malas ngapa-ngapain ini", Sinta bicara pelan, kemudian memasukkan cemilan kedalam mulutnya.

"Tasya gimana baiknya mbak saja", Tasya tidak protes dengan permintaan Sinta.

"Dek, kapan jadwal kamu kontrol lagi...?", Sinta bertanya seketika, berusaha mengingat kapan terakhir kali dia mengantarkan Tasya kontrol ke dokter kandungan.

"Minggu depan mbak", Tasya menjawab pelan.

Sinta hanya manggut-manggut perlahan.

HP Sinta berbunyi, Sinta menatap nomor yang muncul di layar sekilas sebelum menerima panggilan.

"Assalamu'alaikum...", Sinta bicara santai, tetap tidak melepaskan tatapannya dari TV.

"Wa'alaikumsalam, mbak dimana...?", perempuan diujung telfon bertanya.

"Di rumah, kenapa...?", Sinta malah balik bertanya kali ini.

"Mbak... Waktu Wika mau bunuh diri di rumah sakit. Ada lelaki yang bantu Wika, mbak ketemu g'ak...?", Wika bertanya ragu-ragu.

"Cakya...", Sinta menjawab malas.

"Mbak kenal...? Wika bisa minta alamatnya g'ak...?", Wika antusias mendengar kalau dia akan bertemu malaikat penolongnya lagi.

"Buat apa...?", Sinta bertanya bingung.

"Wika mau ketemu mbak", Wika bicara ragu.

"Buat apa dek...?", Sinta bertanya bingung.

"Waktu itu Wika belum sempat ngucapin makasih sama dia", Wika menjelaskan.

"G'ak usah dek, mbak udah wakilin", Sinta bicara pelan.

"Itu kan mbak, Wika kan belum ngucapin terima kasih", Wika bicara tetap memaksa.

"Tapi...", Sinta tidak bisa menyelesaikan ucapannya, karena Wika sudah menyela.

"Mbak kasih tahu aja, Wika bisa ketemu dia dimana...?", Wika tetap memaksa.

"SMA 1 Sungai Penuh", Sinta menjawab malas, kemudian langsung memutuskan hubungan telfon.

"Kenapa mbak...? Kok khawatir gitu...?", Tasya bertanya bingung.

"Itu... Wika", Sinta bicara lirih.

"Kenapa sama kak Wika...?", Tasya bertanya lagi mengejar jawaban.

"Dia nanyain Cakya", Sinta bicara pelan.

"Cakya... Cakya yang jadi saksi kasus Candra...?", Tasya berusaha memastikan.

"Iya dek", Sinta bicara lirih.

"Kenapa...? Kok tiba-tiba kak Wika mau ketemu Cakya...?", Tasya kembali bertanya.

"Waktu Wika mau bunuh diri, Cakya yang menyelamatkan dia. Katanya mau berterima kasih", Sinta bicara ragu.

"Terus...? Kok mbak malah khawatir gitu...?", Tasya bertanya bingung.

"Kamu tahu sendiri Cakya itu jadi saksi kasusnya Candra. Mbak hanya khawatir Wika ntar bakal tersinggung sama Cakya", Sinta bicara ragu.

"Kalau gitu... kenapa mbak g'ak ngasih tahu Wika aja, jelasin siapa Cakya...?", Tasya menawarkan solusi.

"Wika g'ak bakalan mau dengerin mbak dek. Udahlah, biarin aja. Kita lihat saja gimana ntar", Sinta berusaha untuk tidak peduli.

***

Sesuai rencana, Tasya dan Sinta makan diluar. Kali ini Sinta memilih kafe yang ada di puncak, suasana kafe yang diketinggian membuat cuaca semakin sejuk.

Setelah makan, Sinta membawa makanan untuk Candra. Sinta mengantarkan Tasya pulang terlebih dahulu, baru menuju rutan. Saat Candra makan, Sinta mulai mengajak Candra bicara.

"Dek...", Sinta bicara lirih.

"Kenapa mbak...?", Candra bertanya setelah suapan besar masuk kedalam mulutnya.

"Mbak lagi kepikiran Wika"

"Ada apa lagi mbak sama cewek yang satu itu...?"

"Mbak pernah ceritakan, Wika coba bunuh diri karena tahu dia hamil"

"Hem..."

"Terus, dia ditolong sama orang"

"Terus...?"

"Dia... Tadi katanya mau ketemu sama orang yang nolongin dia, katanya mau ngucapin terima kasih"

"Baguslah mbak... Berarti dia udah bisa ngucapin terima kasih sama orang. Itu artinya dia sudah bisa menghargai orang lain"

"Masalahnya bukan itu dek..."

"Terus apaan mbak...?"

"Masalahnya yang nolongin Wika itu... Cakya dek"

Candra tersedak begitu mendengar nama Cakya disebut. Sinta langsung menyodorkan minuman ketangan Candra, "Pelan-pelan dek makannya", Sinta mengingatkan Candra.

"Iya mbak makasih", Candra bicara pelan, Candra kembali minum. "Cakya...? Cakya yang jadi saksi kasus Candra mbak...?", Candra bertanya heran.

"Iya dek", Sinta mengangguk pelan.

Candra bukannya melanjutkan makan, malah bengong sendiri. "Dek... Kok malah bengong...?", Sinta menggenggam tangan Candra lembut.

"G'ak apa-apa mbak", Candra bicara pelan, kembali melanjutkan menghabiskan makanannya.

"Dek... Kamu jangan terlalu khawatir. Ntar pulang dari sini, mbak langsung ke sekolahnya Cakya ngawasin Wika", Sinta tiba-tiba berucap diluar dugaan Candra.

"Terima kasih mbak", Candra mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Kamu ini dek, kayak sama siapa saja", Sinta malah geleng-geleng kepala.

"Dek... Mbak semalam dapat telfon dari perusahaan yang di Bandung. Katanya kontrak kerjasama sama hotel jebol. InsyaAllah... Kita akan baik-baik saja kedepannya", Sinta menjelaskan dengan antusias.

"Alhamdulillah", Candra akhirnya bisa bernafas lega. Setidaknya dia tidak perlu merasa khawatir lagi dengan keuangan keluarganya.

"Alhamdulillah dek, ini berkat kesabaran kamu dek...", Sinta mengusap pelan punggung tangan Candra.

"Candra g'ak tahu lagi harus mengucapkan terima kasih sama mbak kayak gimana lagi, entah apa jadinya Candra tanpa mbak", Candra bicara lirih, air matanya menetes tanpa permisi.

Sinta menghapus jejak air mata Candra, "Dek... Mbak janji, untuk kedepannya semua akan jadi baik-baik saja. InsyaAllah...", Sinta mengucapkan janjinya kepada Candra.

"Terima kasih mbak", Candra bicara lirih.

***

Saat bel sekolah berteriak nyaring, semua teman-teman Erfly menyerbu ke pintu. Seolah mereka bebas dari kurungan selama berjam-jam.

"Erfly, bisa ikut ibu sebentar...?", bu Moly wali kelas Erfly meminta Erfly mengikutinya keruang BP.

"Baik buk", Erfly bicara pelan. Erfly beralih ke Cakya, "Erfly ke ruang BP dulu", Erfly meminta izin kepada Cakya.

"Cakya tunggu di tukang bakso parkiran aja", Cakya berlalu pergi, setelah mendapat anggukan setuju dari Erfly.

"Iyah, ntar Erfly nyusul kesana", Erfly bicara pelan, sebelum berpisah dengan Cakya menuju ruang BP.

Erfly mengetuk pintu ruang BP.

"Masuk Erfly, silakan duduk", bu Moly bicara pelan, kemudian duduk dihadapan Erfly setelah mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam lacinya.

"Ibuk mau minta tolong, kamu bisa pesanin snack dan sekaligus nasi kotak g'ak...? Buat acara ulang tahun minggu depan", bu Moly bicara dengan memasang muka serius.

"Bisa aja bu, berapa banyak...?", Erfly bertanya antusias.

Bu Moly menyerahkan kertas yang ada ditangannya, Erfly melihat kertas tersebut dengan teliti.

"Ntar minggu depan ibuk yang jemput ke alamat juga g'ak masalah, alamat yang kemarin kan...?", bu Moly melanjutkan ucapannya.

"G'ak usah buk, alhamdulillah ketringannya udah bisa nganter dalam jumlah banyak. InsyaAllah ibuk tahu jadi aja", Erfly menjawab disela senyumnya.

"Alhamdulillah, kalau gitu ibu bayar DPnya sekarang aja ya...?", bu Moly mengeluarkan dompetnya.

"Ibuk kayak sama siapa aja, ntar aja buk kalau udah selesai", Erfly menolak uang pemberian bu Moly.

"Terima kasih Erfly", bu Moly bicara tenang.

"Kalau tidak ada lagi yang mau dibahas, saya permisi buk", Erfly pamit.

"Ya silahkan, kamu hati-hati ya pulangnya", bu Moly mengingatkan.

Erfly menyalami bu Moly dan mencium punggung tangannya, kemudian bergegas menuju arah parkiran.

Cakya tidak ada di tempat penjual bakso langganannya, "Apa sudah menunggu diluar ya...?", Erfly menebak-nebak posisi Cakya saat ini.

Erfly bergegas menuju gerbang sekolah, akan tetapi langkahnya terhenti karena melihat Cakya sedang dipeluk oleh perempuan. Erfly kembali memutar kembali ingatannya, dimana dia pernah bertemu perempuan ini.

"Perempuan itu lagi", Erfly bergumam pelan, saat telah mengingat perempuan itu yang dipeluk Cakya waktu di atap gedung rumah sakit.