webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · 若者
レビュー数が足りません
251 Chs

Itu dokter Alfa...?

Sinta menuju rumah keluarga Wiratama. Setelah mendapat telfon dari Dirga. Sinta langsung masuk setelah mengetahui Dirga ada diruang tamu.

"Ada apa...?", Sinta bertanya setelah duduk di kursi tepat di hadapan Dirga.

"Candra apa kabarnya...?", Dirga bertanya pelan.

Sinta mengerutkan keningnya, karena kaget kenapa Dirga tiba-tiba bertanya tentang Candra.

"Dirga... Hanya khawatir sama Candra...", Dirga bicara lagi, berusaha menarik simpati Sinta.

"Kalau kamu khawatir sama Candra. Ke rutan, jenguk Candra", Sinta menjawab dengan suara tekanan, dia berusaha keras untuk menahan amarahnya agar tidak meluap.

"Kamu tahu sendiri, aku masih sakit", Dirga memasang muka memelas kali ini.

Sinta tidak mau meladeni ucapan Dirga, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dirga. Belum juga Sinta sempat melangkah, Dirga meraih pergelangan tangan Sinta.

"Tunggu, aku belum selesai ngomong...", Dirga buka suara setelah diam beberapa saat.

Sinta menarik kasar tangannya dari genggaman Dirga. "Apalagi...?", Sinta menjawab malas.

"Aku ada masalah", Dirga bicara dengan suara paling pelan.

Sinta tidak merespon, hanya menatap Dirga memasang wajah kesal.

"Aku butuh uang 50 juta", Dirga mulai angkat bicara.

Sinta mengerutkan keningnya, tidak tahu harus merespon apa atas pernyataan Dirga barusan.

"Aku dikejar-kejar depkolektor...", Dirga kembali bicara, berharap Sinta bisa simpati.

Sinta menyilangkan kedua tangan didadanya. "Itu urusan kamu, jangan libatin saya", Sinta bicara pelan, nada suaranya demikian dingin, sehingga membuat Dirga mundur satu langkah.

"Tapi... Tapi kan...?", Dirga bicara terbata-bata.

"Kamu urus hidupmu sendiri", Sinta bicara dingin. Kemudian berniat beranjak pergi dari hadapan Dirga, "Ah... Satu lagi. Semua urusan perusahaan sudah di serahkan ke Candra. Termasuk urusan keuangan. Berapapun jumlah uang yang mau dikeluarkan, harus atas persetujuan Candra", Sinta bicara dengan suara penekanan. Kemudian berlalu begitu saja dari hadapan Dirga yang terpaku bisu.

Sinta memutuskan untuk pergi ke rutan menemui Candra. Setelah berganti salam seperti biasanya, Candra makan makanan yang dibawa oleh Sinta.

"Dek...", Sinta bicara pelan, kali ini Sinta tidak membawa hanya satu makanan, melainkan dia juga membawa makanan untuk dirinya sendiri agar bisa makan bersama Candra.

"Kenapa mbak...? Tumben mbak ikutan makan sama Candra", Candra bicara dengan mulut yang penuh makanan.

"Mbak lagi kesal dek", Sinta bicara jujur.

"Kenapa mbak...?", Candra mengerutkan keningnya.

"Dirga", Sinta menjawab singkat.

"Apa lagi yang dia perbuat, sampai bisa membuat mbak sekesal ini. Hahahaha...", Candra tertawa renyah.

"Dia minta mbak kerumah, katanya ada yang mau diomongin. Ternyata dia cerita, dia dikejar-kejar depkolektor. Dia punya hutang 50 juta. Dan... Mbak juga dapat telfon dari Bank", Sinta memijit keningnya yang terasa pening.

"Kenapa lagi mbak...?", Candra bertanya santai.

"Tagihan kartu kredit Dirga over. Mbak lihat rinciannya, ternyata kartu kreditnya sama cewek, dihabisin buat foya-foya. Mbak pusing dek. G'ak ada sadar-sadarnya tu bocah", Sinta bicara kesal.

Candra malah tertawa melihat kekesalan Sinta.

"Kok malah ketawa, mbak lagi kesal juga", Sinta tidak terima diketawai oleh Candra.

"Jangan marah-marah mbak, ntar cantiknya ilang loh", Candra kembali tertawa renyah.

"Terus mbak harus gimana coba...?", Sinta bertanya putus asa.

"Blokir semua kartu kredit dan tabungannya Dirga. Biar dia menyelesaikan sendiri masalahnya, kasih pelajaran dikit biar dia dewasa mbak. Masa bergantung mulu sama orang, keenakan dianya, bikin masalah, orang yang disuruh nyelesain. Sekali-kali belajar nyelesain masalahnya sendirilah mbak", Candra menjelaskan panjang lebar, kemudian kembali memasukkan suapan besar kedalam mulutnya.

Sinta langsung mengeluarkan HPnya, menelfon pihak Bank menjalankan sesuai perintah Candra.

Candra kembali tertawa melihat respon Sinta. "Galak bener mbak, segitu kesalnya ini", Candra tetap konsentrasi menghabiskan makanannya.

***

"Kamu lagi dimana...?", Kahfi bicara di HPnya.

"Bali", Alfa menjawab singkat.

"Kok tiba-tiba malah pulang ke Bali...?", Kahfi bertanya bingung.

"Family emergency", Alfa menjawab pelan. "Ya udah, aku tutup dulu. Lagi ribet ini", Alfa segera memutuskan hubungan telfon, tidak menunggu jawaban dari Kahfi terlebih dahulu.

Kahfi kembali memasukkan HPnya kedalam saku jas dokternya.

"Itu dokter Alfa...? Dia lagi dimana...?", Rima tiba-tiba entah muncul entah dari mana, berhasil mengagetkan Kahfi.

"Astagfirullah, g'ak usah ngagetin bisa g'ak sih...?", Kahfi bicara kesal.

"Biasa aja kali", Rima malah menjawab sewot.

"Eh... Tadi nanya apa...?", Kahfi bertanya lagi.

"Itu dokter Alfa...? Kenapa dia tiba-tiba ngambil cuti...?", Rima bertanya lagi, untuk menghilangkan rasa penasarannya.

"Kepo", Kahfi menjawab sembari berlalu.

"Ih... Resek...!!! Kahfi...!!!", Rima berteriak kesal memanggil nama Kahfi.

Bukannya berbalik, malah Kahfi menutup kedua daun telinganya sambil berteriak. "G'ak dengar...!!!", Kahfi malah mempercepat langkahnya.

***

Erfly membuka pintu ruang direktur. Nadhira berdiri dari kursinya, "Erfly...?", Nadhira bertanya bingung.

Erfly memilih duduk di sofa untuk menerima tamu, agar lebih santai. Erfly menyalami Nadhira sekretaris ayahnya, selanjutnya Edy pengacara kepercayaan ayahnya. Tidak seperti biasa Erfly mencium punggung tangan yang lebih tua, kali ini Erfly memilih tidak melakukannya karena berusaha menjaga wibawanya. Walaupun masih bocah, Erfly sudah belajar banyak bagaimana cara mengintimidasi bawahan dari ayahnya.

"Em... Bagaimana kabarnya pak Adijaya...?", Nadhira bertanya kaku, karena masih merasa kaget kenapa malah Erfly yang muncul, bukannya istri bosnya yang dia telfon sebelumnya.

"Ayah masih koma", Erfly menjawab santai. "Ada apa teteh nelpon bunda...?", Erfly tiba-tiba bertanya diluar dugaan Nadhira dan Edy.

"G'ak ada apa-apa, hanya mau menanyakan kabar bapak...", Nadhira berusaha menghindar dari menjawab pertanyaan Erfly.

Erfly tersenyum, kemudian bersandar di punggung kursi. "Jangan pikir karena saya masih SMA, teteh bisa bohongin saya. Kalau teteh mau nunggu ayah sadar silakan", Erfly bicara dengan santai.

Erfly kemudian menyilangkan kedua lengan tangannya di dada. "Tapi... Kalau terjadi apa-apa sama perusahaan teteh yang harus tanggung jawab sama pak Edy. Saya g'ak akan segan-segan laporin teteh dan pak Edy ke polisi", Erfly melanjutkan ucapannya, kali ini nada suara Erfly dingin, langsung menusuk ketulang belulang Nadhira dan Edy.

Walaupun hanya bocah ingusan, Erfly tidak bisa dianggap remeh. Sama seperti ayahnya, setiap bicara selalu bisa membuat orang lain langsung mati kutu. Seperti kucing yang selalu berhasil membuat tikus terjebak disudut ruangan tanpa bisa lari kemana-mana.

"Terserah, teteh dan pak Edy mau pilih yang mana", Erfly bicara pelan, masih menunggu 2 orang dihadapannya angkat bicara.

"Ada sedikit masalah di perusahaan...", pak Edy angkat bicara.

Erfly tidak menjawab, akan tetapi memfokuskan tatapan elangnya kepada pak Edy.

"Bambang bendahara perusahaan kabur, membawa semua gaji karyawan", pak Edy bicara dengan nada pelan.

"Hubungi pihak Bank, bekukan semua tabungan atas nama Bambang. Buka rekening baru, transfer semua uang perusahaan kesana. Kita lihat berapa lama Om Bambang bisa bertahan tanpa uang perusahaan", Erfly bicara dengan nada paling dingin.

Saat ini, yang ada di hadapan Nadhira dan pak Edy bukan lagi anak ingusan kemarin sore. Ternyata dia menyalin total semua gen ayahnya, bahkan sikap tegas dan tanpa kenal ampun ayahnya terukir sampai ketulang belulang Erfly.

"Baik, saya akan segera ke Bank mengurus semuanya. Kalau begitu saya permisi", pak Edy langsung berlalu dari hadapan Erfly dan Nadhira.

"Apa selanjutnya...?", Erfly mengalihkan tatapannya kearah Nadhira.

"Bambang bukan hanya bawa kabur tabungan perusahaan. Yang jadi masalah bagaimana dengan gaji karyawan...?", Nadhira bicara pelan.

"Kapan karyawan harus gajian...?", Erfly bertanya dengan nada paling rendah.

"Lusa", Nadhira bicara lagi.

"Total keseluruhan gaji karyawan...?", Erfly kembali menagih jawaban.

"3 miliar...", Nadhira menjawab dengan nada suara bergetar. Dia pasrah Erfly mau marah seperti apa kepadanya nantinya.