Erfly bukannya marah malah tersenyum mendengar pengakuan Nadhira.
"Bagaimana dengan proyek...?", Erfly bertanya lagi, mencari topik pembicaraan yang lain.
"Masih berjalan. Perumahan di Kalimantan sebentar lagi akan selesai. Yang Singapura juga tinggal bagian akhir. Makanya saya bingung harus mengambil uang dari mana untuk bayar gaji karyawan dan buruh bangunan. Perumahan yang kita bangun, belum siap huni, jadi... Tidak mungkin kita bisa menemukan pembeli dalam waktu dekat", Nadhira menjelaskan panjang lebar.
HP Nadhira berbunyi. Saat melihat nama yang muncul Nadhira langsung mengangkat telfon yang masuk.
"Assalamu'alaikum pak Edy...", Nadhira penuh harap, dia berdo'a agar pak Edy memberinya berita baik kali ini.
"Wa'alaikumsalam, semua rekening perusahaan dan tabungan atas nama Bambang sekeluarga sudah di bekukan", pak Edy bicara pelan, dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya.
"Lalu...?", Nadhira mengejar jawaban.
"Untuk pengalihan uang ke rekening baru, butuh waktu setidaknya 3 hari sampai 1 minggu", dari nada suaranya terdengar jelas dia ragu-ragu dan tidak yakin kapan itu akan diselesaikan.
"Ya Allah... Gaji karyawan bagaimana...? Kan mereka gajian lusa. Masa harus ditunda...?", Nadhira bicara putus asa.
"Kita mau apa lagi. Tapi... Pihak Bank sudah mau bekerjasama, untuk membantu kita mencari info tentang Bambang", pak Edy memberikan angin segar.
"Ya udahlah pak Edy, mau bagaimana lagi. Assalamu'alaikum...", Nadhira bicara lirih menutup hubungan telfon.
"Wa'alaikumsalam", kali ini nada suara pak Edy terdengar merasa bersalah.
Nadhira mondar-mandir seperti setrikaan. Berbanding terbalik dengan Erfly yang hanya duduk diam ditempat tak bergeming sedikitpun.
Erfly meraih HPnya, kemudian menelfon satu nomor.
"Rahajeng semeng bli...? Kenken kabare...?", Erfly bicara basa-basi. (Selamat pagi kak...? Bagaimana kabarnya...?)
"Becik-becik", terdengar suara lelaki dari ujung lain telfon. (Baik-baik)
"Erfly sekarang di Bali, bisa ketemu...?", Erfly langsung bertanya keintinya.
"Bisa, mau dimana...?", lelaki diujung lain telfon kembali menjawab santun.
"Erfly ke Vila saja", Erfly bicara pelan.
"Saya tunggu kalau begitu", lelaki di ujung lain telfon merespon.
"Matur suksma", Erfly menutup hubungan telfon dengan segera. (Terima kasih)
Erfly kembali memasukkan HP kedalam tasnya, kemudian mengalihkan tatapannya kepada Nadhira yang masih terlihat bingung.
"Erfly pergi dulu, harus bertemu teman", Erfly bicara pelan.
Nadhira berdiri melepaskan kepergian Erfly. "Lalu... Bagaimana dengan gaji karyawan...? Apa Nadhira harus bikin pengumuman pengunduran pengajian...?", Nadhira memberanikan diri untuk bertanya.
"G'ak perlu", Erfly bicara pelan.
"Terus... Pengajiannya bagaimana...?", Nadhira kembali mengejar jawaban.
"Belum tahu, yang pasti Erfly bisa janji satu hal. Karyawan bakal gajian", Erfly bicara dengan nada penuh keyakinan.
Erfly menyerahkan HPnya ketangan Nadhira, "Catet nomor teteh, ntar kalau ada apa-apa hubungi Erfly, jangan telfon bunda atau nomor ayah", Erfly memberikan perintah.
Nadhira mengangguk patuh.
***
Rima masih melamun dan memasukkan saos sambal kedalam mangkok bakso.
"Rima...", Kahfi mengambil botol saos Rima.
"Astagfirullah", Rima kaget karena Kahfi menarik paksa botol saos yang dia pegang.
"Kamu kenapa sih...?", Kahfi bertanya bingung.
"G'ak apa-apa", Rima menjawab malas.
"Pesan yang baru aja", Kahfi mengingatkan Rima.
"G'ak usah, aku balik ke kantor aja", Rima bicara pelan, kemudian menyerahkan selembar uang 20 ribu ketangan Kahfi. "Sekalian bayarin Kaf", Rima berlalu tanpa menunggu jawaban dari Kahfi.
Kahfi menelfon Alfa.
"Kamu kapan pulang...?", Kahfi langsung bertanya ketika telfon diangkat.
"Belum tahu, ini masih ribet", Alfa menjawab asal. "Segitu kangennya, sampe nelpon mulu dari kemaren...? Hahahaha", Alfa tertawa renyah.
"Ih... Najis", Kahfi menjawab kesal.
"Hahahaha...", Alfa tertawa puas.
"Bukan aku yang kangen, tapi Rima...", Kahfi kembali menempali.
Alfa tidak merespon ucapan Kahfi.
"Alfa...!", Kahfi berteriak membuyarkan lamunan Alfa.
"Apaan sih, aku belum budek kali. G'ak perlu teriak-teriak", Alfa bicara kesal.
"Kamu kenapa sih sama Rima...?", Kahfi bertanya lagi.
"G'ak kenapa-kenapa. Kaf, aku tutup dulu. Mesti nganter mama dan baba ke rumah sakit", Alfa langsung mengakhiri hubungan telfon, tanpa menunggu jawaban Kahfi.
"Ne bocah satu, sama anehnya dengan Rima", Kahfi geleng-geleng kepala karena kelakuan 2 orang temannya.
***
Sinta masih sibuk dengan berkas-berkas yang ada dihadapannya. Dirga membuka pintu, langsung menyerbu ke meja kerja Sinta.
"Apa-apaan kamu. Bisa sopan g'ak, main masuk aja g'ak pakai salam", Sinta menatap Dirga dengan wajah kesal.
Dirga langsung memukul meja Sinta. "Maksud kamu apaan blokir semua kartu kredit dan ATM aku...?", Dirga berteriak kesal meluapkan emosinya.
"Oh... Itu", Sinta bicara santai, kembali memakai kacamatanya, kembali fokus pada pekerjaannya.
"Jawab. Kenapa kamu blokir semua...", Dirga tidak bisa melanjutkan ucapannya, karena Sinta menyela.
"Bukan aku", Sinta bicara pelan.
"Bukan kamu...?", Dirga bertanya bingung.
Sinta membuka kacamatanya, dan membuang kasar ke atas meja. Kemudian berdiri tepat beberapa cm dihadapan Dirga. "Iya, bukan aku. Tapi... Candra", Sinta menjawab dingin pertanyaan Dirga.
"Candra...? Kok bisa...?", Dirga bertanya semakin bingung.
Sinta duduk bersandar diujung meja kerjanya. Kemudian menyilangkan kedua lengan tangannya di dada. "Ya bisalah. Semua aset perusahaan sudah dialihkan atas nama Candra", Sinta kembali menjelaskan dengan nada suara yang sama.
"Terus...? Aku... Aku gimana...? Hutang-hutang ku dengan...", Dirga kembali tidak bisa menyelesaikan ucapannya. Karena Sinta kembali menyela.
"Itu urusan kamu. Selesaikan sendiri", Sinta menjawab dengan penekanan disetiap kata-katanya.
"Ta... Tapi kan...?", Dirga berusaha untuk protes.
"Aku sibuk. Jadi mendingan kamu keluar sekarang", Sinta bicara pelan. Kemudian kembali duduk di hadapan meja kerjanya.
"Sinta...!!!", Dirga membentak Sinta.
"Kamu keluar baik-baik, atau perlu satpam buat usir kamu...?", Sinta bicara dingin, tetap fokus pada pekerjaannya.
"Sin...!!!", Dirga kembali berteriak dengan suara lebih keras dari sebelumnya.
Sinta menekan salah satu tombol di telfon diatas meja kerjanya. "Pak tolong keruangan saya sekarang", Sinta bicara pelan.
Hanya dalam hitungan detik, dua orang satpam muncul diruangan Sinta.
"Usir orang ini keluar. Dan jangan sampai dia bisa masuk lagi ke kantor ini. Atau... Kalian saya pecat", Sinta memberi perintah, tanpa melihat kearah orang yang diajaknya bicara.
"Sinta...!!! Kamu g'ak bisa melakukan ini sama aku...!!!", Dirga berontak, berusaha untuk lepas dari kawalan satpam yang dipanggil Sinta.
"Buk...", salah satu satpam berusaha untuk protes.
"Apa harus saya ulang lagi...?", Sinta melemparkan tatapan tajamnya kearah satpam yang berusaha membela Dirga.
"Maaf buk", satpam itu menundukkan kepala. Kemudian menyeret Dirga dengan kasar keluar dari kantor ayahnya sendiri.
***
Menjelang matahari terbenam, Erfly meminta Nadhira dan pak Edy menyusulnya ke salah satu vila miliknya di Bali.
"Maaf, permisi...", Nadhira bicara sungkan saat melihat Erfly sedang bersama orang kulit putih dan tepat disebelahnya ada lelaki menggunakan baju bergaya khas Bali.
"Duduk teh, pak Edy, kenalin ini Pak Robert. Dan itu bli Ketut", Erfly mengenalkan Nadhira dan pak Edy kepada orang yang ada dihadapannya.
Erfly menyerahkan berkas yang ada dihadapannya ketangan pak Edy. "Coba di cek dulu pak, masih ada yang kurang, atau... Yang lainnya", Erfly memberi instruksi cepat.
Pak Edy tidak berani membantah atau hanya sekedar bertanya. Akan tetapi langsung menerima map pemberian Erfly. Pak Edy memakai kacamatanya, kemudian mulai membaca berkas dengan teliti.
"Ini proses jual beli rumah...?", pak Edy berusaha menebak.
Erfly mengangguk pelan. "Ada yang kurang dari berkas atau perjanjiannya...?", Erfly bertanya lagi.
"Ini sudah lengkap. Tinggal ditanda tangani saja", pak Edy bicara pelan, kemudian kembali menyerahkan berkas tersebut ketangan Erfly.
"Pak Edy dan teh Nadhira tanda tangan sebagai saksi", Erfly memberi instruksi selanjutnya.
Nadhira dan pak Edy melakukan perintah Erfly tanpa protes.