webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Teen
Not enough ratings
251 Chs

Erfly lagi di Bali bang

Erfly dan Alfa sampai di Bali hampir tengah malam. Sesuai rencana, mereka dijemput oleh ayah Alfa. Kemudian menuju rumah sakit milik keluarga Alfa Bali Internasional Medical Center.

Erfly dan Alfa diarahkan menuju ruang VVIP. Terlihat seorang lelaki yang terbaring tidak sadarkan diri diatas tempat tidur. Mukanya yang pucat, serta ada rambut putih yang mulai tumbuh.

Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali Erfly menatap wajah lelaki itu. Belum juga Erfly bisa mendekati lelaki tersebut, seorang wanita menyerbu kepelukan Erfly, menghujaninya dengan air mata.

Erfly bahkan sudah lupa pelukan hangat perempuan ini. Tak terhitung berapa banyak dia merindukan perempuan yang ada diperlukannya saat ini. Bahkan saking banyaknya rindu itu semakin menumpuk, membuat rindu itu menjadi benci.

Akan tetapi entah kenapa saat berada dipelukan perempuan ini, seakan semua alasan untuk membenci seolah menguap keudara. Erfly mengeratkan pelukannya, tangisnyapun ikut pecah, seolah air bendungan yang terbuka sumbatnya.

Alfa pulang kerumahnya bersama kedua orang tuanya, sengaja meninggalkan Erfly dan keluarganya. Memberi kesempatan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Erfly duduk disamping tempat tidur, menggenggam jemari tangan ayahnya. Lelaki hebat, yang selalu di puji-puji beribu karyawan. Akan tetapi Erfly bahkan tidak ingat, kapan terakhir kali pernah memanggilnya dengan sebutan 'Ayah'.

"Kenapa Ayah bisa seperti ini...?", Erfly bertanya disela tangis yang tidak mau berhenti sedari tadi.

"Bunda tidak tahu persis ceritanya seperti apa. Tahu-tahu bunda di kabari ayah pingsan saat melakukan rapat direksi", ibu Erfly mulai bercerita, airnya mengalir seperti air terjun, tak ada henti-hentinya.

"Siapa yang mengurus perusahaan...?", Erfly bertanya lagi. Ayahnya bukanlah tipe orang yang bisa percaya kepada orang lain begitu saja, makanya ayahnya Erfly bersedia menghabiskan setengah dari usianya mengurus perusahaan.

"Untuk sementara pak Edy yang mengurus bersama sekretaris ayah kamu teteh Nadhira", ibu Erfly menghapus pelan air matanya.

HP yang ada diatas meja berbunyi. Ibu Erfly hanya melihat nama yang muncul dilayar, akan tetapi tidak mengangkat, malah meletakkan kembali keatas meja.

"Kenapa g'ak diangkat...?", Erfly bertanya bingung.

"Itu dari Nadhira, paling mau bertanya keadaan ayah kamu", ibu Erfly bicara malas, kemudian memijit kepalanya dengan perlahan.

"Erfly... Keluar dulu cari minum. Bunda ada yang mau dibeli...?", Erfly bertanya sebelum meninggalkan ibunya.

"G'ak, bunda mau istirahat saja. Kepalanya tiba-tiba pusing", ibu Erfly bicara pelan, kemudian menuju sofa untuk berbaring.

Erfly meninggalkan ruangan rawat inap, sebelumnya dia sempat mengambil HP milik ayahnya. Benar saja, saat keluar dari ruangan Nadhira kembali menelfon.

"Assalamu'alaikum...", Erfly menjawab telfon dengan suara ragu.

"Wa'alaikumsalam... Maaf ibuk, ini Nadhira sekretarisnya bapak", Nadhira bicara dengan nada paling sopan.

"Ada apa...?", Erfly bertanya bingung, tidak mungkin Nadhira nekat menelfon berkali-kali kalau tidak ada masalah yang genting.

"Ini... Masalah perusahaan ibuk", Nadhira melanjutkan ucapannya.

"Kenapa...?", Erfly kembali mengejar jawaban.

"Saya bisa bertemu ibuk, ada yang harus saya jelaskan. Ini mengenai nasib karyawan", Nadhira bicara ragu-ragu.

"Teteh dimana sekarang...?", Erfly tiba-tiba bertanya.

"Saya... Ada di perusahaan cabang kita di Bali", Nadhira menjawab dengan bingung, kenapa istri bosnya malah memanggilnya dengan panggilan teteh, bukan menyebutkan nama seperti biasanya.

"Paling lama satu jam lagi saya sudah disana", Erfly bicara sesaat sebelum menutup hubungan telfon.

***

Erfly memutuskan untuk naik taxi ke kantor ayahnya, karena dia sama sekali tidak tahu jalan. Saat di dalam taxi HP Erfly kali ini yang berbunyi, setelah melihat yang menelfon Gama, Erfly langsung mengangkat telfon.

"Assalamu'alaikum bang...", Erfly bicara dengan suara paling pelan, karena masih merasa lelah setelah perjalanan panjang.

"Wa'alaikumsalam, akhirnya nomor kamu aktif juga dek. Kamu baik-baik saja kan...? Kenapa kamu malah tiba-tiba menghilang kata Cakya...? Kamu lagi dimana dek...?", Gama memburu Erfly dengan pertanyaan.

"Erfly lagi di Bali bang", Erfly bicara dengan nada suara yang paling rendah.

"Kamu itu dek, liburan g'ak ngajak-ngajak", Gama nyeletuk asal.

"Erfly g'ak liburan sama sekali kok bang, ayah...", ucapan Erfly terputus, karena tangisnya pecah.

"Dek... Kamu kenapa...?", Gama bertanya khawatir.

"Ay... Ayah... kena serangan jantung, sampai sekarang ayah masih koma", Erfly bicara pelan.

"Lho...? Bukannya ayah kamu di Singapur dek...?", Gama bertanya bingung, tidak mengerti kalau memang ayahnya sakit, mengapa Erfly malah berada di Bali.

"Iya, ayah kena serangan jantung pas sedang rapat direksi. Mama memutuskan ayah di rujuk ke rumah sakit di Bali, rumah sakit keluarganya Ko Alfa. Dari dulu, babanya ko Alfa yang lebih tahu kondisi ayah itu gimana...", Erfly menjelaskan panjang lebar.

"Dek... Kamu yang kuat ya", Gama berusaha menguatkan Erfly.

"Iya, terima kasih bang", Erfly bicara lirih. "Ehem....", Erfly berdehem pelan berusaha mengontrol emosinya. "Abang... Gimana kabarnya...?", Erfly balik bertanya.

"Alhamdulillah, abang udah balik dek. Tapi... Tetap belum bisa ngelakuin aktifitas yang berat-berat dulu. Makanya, ini lagi diungsikan ke rumah Cakya", Gama bicara apa adanya.

"Em... Bang", Erfly bicara ragu.

"Kenapa dek...?", Gama bertanya khawatir.

"Boleh g'ak abang jangan bilang ke siapa-siapa soal Erfly di Bali", Erfly mengajukan permintaan.

"Kenapa dek...?", Gama malah bingung kali ini.

"G'ak apa-apa bang, Erfly... Erfly.... Cuma...", Erfly tidak melanjutkan ucapannya, karena tidak menemukan kata-kata yang pas untuk di jadikan alasan.

"Ya udah dek, abang akan tutup mulut. Tenang aja", Gama bicara pelan mengucapkan janji.

"Terima kasih bang", Erfly bicara lirih.

"Terima kasih mulu kayak pegawai baru. Hahahaha", Gama tertawa renyah. "Dek...", Gama kali ini bicara dengan nada paling rendah.

"Iya bang, kenapa...?", Erfly bertanya bingung.

"Em... Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita ke abang", Gama mengajukan permohonan.

"Iya bang, terima kasih", Erfly menjawab lirih, kali ini terdengar isak tangis Erfly dari ujung telfon.

"Dek... Jangan terharu gitu, abang tahu kok kamu kangen banget sama orang ganteng kayak abang. Hahahaha", Gama kembali kumat isengnya.

"Najis", Erfly berteriak kesal.

"Hahahaha, ya udah. Abang tutup dulu ya, kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin", Gama memberi ultimatum sebelum menutup hubungan telfon dengan buru-buru.

"Siapa Om...?", Cakya yang muncul dari daun pintu kamar bertanya pelan.

"Apa... Oh... Ini...? Anak kos, minta maaf belum bisa bayar kosan katanya", Gama terpaksa berbohong, dengan cepat menghapus riwayat panggilannya dengan Erfly.

"O...", Cakya langsung merebahkan diri ke samping Gama, menarik gitar kesayangannya kedalam pelukannya.

"Kamu dari mana...?", Gama bertanya basa-basi.

"Rumah Erfly...", Cakya menjawab lirih, terdengar nada kekecewaan dari suara Cakya.

"Terus...?", Gama tetap bertanya, walaupun sudah tahu pasti jawabannya.

"Dia g'ak ada di rumah. Kata tetangganya, dia malah g'ak pulang semalam", Cakya bicara pelan, sangat terdengar nada kekecewaan dari suara Cakya.

'Maaf Cakya, Gama g'ak bisa cerita soal Erfly', Gama membatin.

"Om...!", Cakya menyikut lengan Gama.

"Hah... Kenapa...?", Gama kaget karena dipaksa beranjak dari lamunannya.

"Malah ngelamun, ditanyain juga", Cakya bicara kesal.

"Maaf, ini lagi laper aja", Gama berusaha menghindari pertanyaan Cakya berikutnya.

"Om mau makan...? Cakya ambilin", Cakya bicara pelan, kemudian beranjak dari tempat tidur menuju ruang makan.

"Ternyata ada enaknya juga jadi orang sakit. Apa-apa dilayani. Hahahaha", Gama memaksakan tawanya.