webnovel

Diary 4

Minggu 17 Januari, di dalam gedung polsek Wure.

Aku kembali dibawa ke ruang tamu, lalu dituntun mendekati dua orang laki-laki yang nampak berumur 30 tahun lebih, ternyata mereka berdua adalah Muhammad Al-Furqon dan Brynald. 

"Yo, Anak Durhaka. Lu sadis itu nurunin sifatnya siapa, hah?!" Al-Furqon bertanya dengan nada ciri khasnya yang selalu menyentak dan jarang disaring saat berbicara.

"Kayaknya ada sifat Om Furqon yang nurunin ke aku, ghehehe." Aku menyahut sambil tertawa kecil.

"Dasar, Kampret. Udah, sekarang Lu bisa pulang, jangan sampe ngulangin kesalahan yang sama lagi."

Dia membawaku pergi, meninggalkan Brynald di kantor polisi.

Sesampainya di rumah. Aku langsung berbaring di atas ranjang kamar, memikirkan cara agar tidak menjadi samsak hidup oleh orang-orang di sekolahku. Sebab di dalam jeruji besi, aku tidak bisa berpikir jernih dan hanya ada rasa bersalah yang terus menghantui, akan perbuatanku yang membuat ibu sampai menangis.

 "Apa aku harus bawa senjata tajam, ya? Sial, itu pasti memperparah situasiku sekarang."

Pikiranku terus bekerja untuk mencari jalan keluar dari situasi yang akan datang, sampai membuat kepalaku pusing dan akhirnya memilih untuk beristirahat.

Aku terbangun dari tidut dan melihat jam dinding digital di tembok.

"Udah jam 9 malam, ya?"

Aku langsung mencuci muka di kamar mandi yang ada di dalam kamarku, lalu pergi ke dapur untuk melihat apakah masih ada makanan.

Saat di dapur, aku bertemu ibu yang sedang mencuci piring. Namun mata ini tidak berani melihat dan mulutku terkunci, karena merasa malu serta bersalah padanya.

Rasanya ingin menangis mengalami situasi seperti itu, tapi aku tidak boleh menangis di depan ibu, akhirnya aku mengurungkan niat dan pergi ke halaman belakang untuk menghirup udara segar.

Ketika diri ini menghirup udara segar, ayahku yang bernama John Vanvouver duduk di ayunan bersamaku.

"Apa yang membuat ketenangan dan kedamianmu terganggu, Nak?'

"Abhi dan Ebhu tidak marah ke Wishkey kok, dan tetap sayang sama Wishkey. Jadi, jangan murung terus ya, Nak." 

Aku hanya mendengarkan apa yang ayah katakan, sambil menyenderkan kepala di dadanya.

"Mulai sekarang, kamu harus menjadi pria yang hebat menghadapi kehidupan. Mungkin terlalu cepat untukmu, tapi jalan menuju kedamaian abadi harus selalu siap berperang." Ujar ayahku.

"Perang sama siapa, Bhi? Caranya gimana?" Aku bertanya pada ayah, karena mungkin itulah jalan keluar dari situasi yang sedang kuhadapi.

"Pesan Abhi Cuma 1, jangan menjual kebebasanmu berupa akal dan rasa selain kepada-Nya."

Aku merasakan kedamian serta ketenangan saat di dekat ayah, itu membuatku sangat nyaman dan ingin tidur di pahanya. Namun, ayah mengajakku berlatih bela diri. Ya, kenapa aku bisa menang dengan sangat mudah saat melawan Robby dan kedua temannya, itu karena dari kecil hingga sekarang belajar bela diri dari ayahku.

Kurang lebih tiga jam aku berlatih bela diri bersama ayah, sampai dia menyarankan untuk membaca banyak buku anatomi makhluk hidup—di perpustakaan keluarga, dekat ruang tamu.

Aku beruntung dilahirkan keluarga yang bisa dibilang kaya, tapi tidak dimanjakan seperti anak-anak lain pikirikan.

Ayahku sudah memfasilitasi semua jenis kebutuhan manusia di dalam rumahnya, sehingga apapun keinginan di luar dari fasilitas yang sudah ada, semuanya tidak diberi.

Aku masih ingat dimana waktu kecil menangis dengan keras, saat menginginkan mainan robot-robotan yang bisa terbang di supermarket. Namun ayah tak menghiraukan keinginanku itu, sekalipun aku menangis sangat kencang sampai kembali pulang ke rumah. Ya, itu membuat mentalku hancur, karena aku memandang dunia itu kejam terhadap anak kecil.

Kenangan yang pahit dan memalukan, tapi sebenarnya kenangan buruk itu tidaklah ada. Yang ada hanyalah ketidaktahuan kita atas kurangnya pengetahuan tentang dunia. Semenjak nurani dan akalku berkata demikian, aku menjadi suka membaca buku-buku milik ayah di perpustakaan keluarga.

Mencari pengetahuan lintas ilmu yang ada di dunia, bermanfaat bagi kehidupan. Aku sudah merasakan sendiri bagaimana manisnya ilmu, jadi jangan gadaikan otak untuk menjadi hewan ternak. 

Keesokan hari setelahnya. 

Aku memasuki gerbang sekolah, dengan perasaan sedikit gelisah—masih memikirkan maksud ucapan ayahku malam itu.

Aku berjalan sambil mendengarkan headphone yang menutupi kedua telinga. Kemudian, tiba-tiba seseorang menepuk pundak kananku, dengan refleks aku berputar sambil menyiku hidung orang itu. Ternyata, ia adalah Pak Tikno yang dirumorkan kejam.

*PLAAK*

Benar saja, sebuah tamparan mendarat pada pipi kananku.

Aku meminta maaf dan segera mengikuti Pak Tikno ke ruang BK. Disana aku menjelaskan alasan sebenarnya kenapa aku menyikutnya, akan tetapi Pak Tikno sudah mengetahui kronologi tentang perkelahianku dengan Robby beserta temannya, sehingga ia memaklumi dan menyuruhku untuk kembali ke kelas. Namun, Pak TIkno mengatakan padaku bahwa aku harus datang lagi ke BK, jika kedua belah pihak wali murid sudah berkumpul.

Akhirnya aku masuk kelas dan mengikuti pelajaran sekolah.

Jam istirahat berbunyi, aku merasa semakin gelisah karena Pak Tikno belum juga memanggilku.

Aku melihat teman sekelas mulai menjaga jarak denganku, dan itu bukanlah masalah yang besar untukku. Namun, masalah terbesarku saat itu ialah segerombol orang tiba-tiba mengeroyokku. Ya, semakin terus dipikirkan, semakin sesuatu itu akan terjadi.

Tak lama setelahnya, tiga orang mendatangiku setelah jam pelajaran kedua berakhir, dan merayuku agar mengikuti mereka. Sontak aku tersenyum, dan langsung menancapkan pulpen ke bola mata kiri orang yang ada di depanku, lalu aku menerima pukulan dari orang di sampingku. Kemudian, aku membalas pukulan itu dengan menjambak rambut dan membenamkan wajahnya pada meja.

Aku melihat salah satu dari mereka berlari—seperti meminta bantuan, langsung saja aku mengejarnya sambil membiarkan orang itu menunjukkan jalan menuju bala bantuan.

"Woy!"

Aku melewati dua orang yang berdiri di gerbang menuju gedung praktik kimia. Ternyata memang tempat yang cocok untuk berkumpul—bolos kelas dan nongkrong, karena tempatnya di sudut sekolah dan jarang digunakan.

Aku langsung dikerumuni oleh orang-orang yang ada di tempat itu. Mata ini mencari satu orang yang akan menjadi pelampiasanku, karena aku tidak mungkin bisa melawan mereka semua. Otakku berpikir dari pada hanya aku yang bonyok, masih untung kalau membuat salah satu dari mereka ikut bonyok juga.

Aku langsung berlari mendekati seseorang yang berada di dekat tembok, dan langsung menendang perutnya menggunakan lutut.

Aku dihujani pukulan maupun tendangan, akan tetapi aku masih terus fokus menghajar pria gembul—yang tengah ku

pukuli juga.

Mataku mulai mengabur sambil mempertahankan posisi agar tetap memukul lawan, sampai aku merobek baju pria gembul—karena diriku ditarik supaya berhenti memukuli salah satu dari mereka. Namun, aku langsung mencekik leher belakang pria gembul dan langsung menghantami kepalanya ke tembok, hingga suara yang ditimbulkan cukup membuat hati siapapun terlonjak ngeri.

Aku melihat tembok berwarna hijau di penuhi dengan darah kental, dan samar-samar melihat beberapa gigi korbanku berada di atas tanah bercampur darah kental.

*GPRAAK!*

Pandanganku perlahan-lahan menjadi gelap, dan tubuh ambruk dengan sendirinya.

****____****