webnovel

Diary 3

"Coba katakana sekali lagi orang tuaku menyesal, karena sudah ngelahirin anak prematur sepertiku!" Aku berseru dengan suara keras dan nada yang lembut lembut.

"Emang bener, kan? orang tua Lu nyesel ngelahirin anak premature yang kalau ngomong gak jelas dan gagu!"

Aku mendatangi Robby beserta kedua temannya, lalu memukul telak tenggorokan Robby, menendang buah zakar laki-laki berambut keriting saat ia bereaksi, dan menghindari serangan pria kurus—salah satu dari mereka sambil meninju hulu hatinya.

Aku menginjak-injak wajah Robby dengan keras, disusul dengan tendangan samping yang datang mengarah padaku. Aku segera maju satu langkah sambil menangkap tendangan itu, lalu menginjak punggung kaki pria berambut kurus sangat keras, dan memukul dagunya sampai ia jatuh tertelungkup.

Aku terhuyung ke samping ketika Robby memukul telinga kananku. Kemudian aku membalas meskipun pandanganku sedikit kabur, akan tetapi dia menghindar ke arah belakang.

"Jangan-jangan orang tuamu yang malu punya anak prematur dan pecundang kayak kamu. Mau ditaroh di mana muka orang tuamu itu, di balik kemaluanmu yang mirip kutil?!"

Robby berlari dan menyerangku dengan amarahnya, akan tetapi kayu akan menjadi abu ketika api besar membakar kayu tanpa sisa.

Aku segera menghindari tinjuan lurus mengarah pada muka, dan membalas serangan itu dengan mendaratkan bogem mentah ke hidung Robby.

Aku memanfaatkan momen disaat Robby terhuyung ke belakang, dengan memukul pelipis mata kiri, lalu menendang perut, dan diakhiri memukul dagu bawah—sampai dia terjengkang di depanku. Tak sampai disitu, aku memasukan ibu jari ke mata kanannya hingga darah menyembul keluar, dan tangan kananku terus memukuli wajah yang meronta kesakitan.

Beberapa menit setelahnya, aku berhenti memukul wajah dan mencabut ibu jari yang hangat—masih di dalam bola mata Robby.

Aku menghela napas panjang, mencari laki-laki berambut keriting yang kabur, setelah menerima tendangan keras pada buah zakarnya.

Aku melihat pria kurus yang nampak jiwanya terguncang, dengan wajah memerah, mimik yang ingin menangis, dan gestur tubuh sangat ketakutan. Ya, aku berhasil menjatuhkan mental lawan dan mungkin selamanya ia takut denganku.

"Cepat bawa dia ke rumah sakit! Urusanku sama pria rambut mie kriting belum selesai!" Aku berkata dengan nada yang mengintimidasi, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Ps Bi Bena, ya? Udah lama gak main ps lagi, semenjak Ebhu diomelin sama ibunya Firsan." Gumamku dalam hati.

Kurang lebih lima menit kuberjalan ke tempat rental Playstation 30 Bi Bena, aku sampai di tempat tujuan. Disana banyak anak-anak dari berbagai sekolah bercampur jadi satu, dan orang-orang melihat ke arahku saat melihat noda darah di baju.

"Hey, Wishkey, kamu kemana aja?" tanya wanita paruh baya yang berumur 53 tahun, ia adalah Bi Bena.

"Golongan Cingkrang ada nggak, Bi?"

Bi Bena menjawab golongan Cingkrang---teman-teman sebayaku yang masuk penjara, saat berpeseta minuman keras di lapangan. Mereka berada di halaman belakang dan aku memasankan es untuknya, akan tetapi itu hanya sebuah kode agar mereka mencariku disini.

Aku duduk menunggu golongan Cingkrang yang berbeda sekolah dariku. Cingkrang adalah julukan untuk temanku yang bernama Ovlan Watterdin, dia dikenal karena celana sekolahnya yang pendek setengah kaki, dan dia satu tahun lebih tua dariku dan teman-teman sebaya lainnya.

Tak lama berselang, Beak atau Ivan Harmmantion, dia saudara dari Cingkrang dan salah satu teman sebayaku. Nama Beak sendiri didapatkan Ivan karena mulutnya seperti paruh burung yang keras---selalu berisik dan tak mau kalah, berawal Cingkrang yang kesal dengan si Beak terus mengoceh sambil makan cemilan.

"Woy, Kapur Ajaib, Lo kemana aja? Di Chatt gak di bal …." Ivan menyapa dan memelukku.

"Aku lagi ada masalah sama temen satu sekolahku." Aku menyela dan merangkul Ivan, sambil berjalan ke halaman belakang.

Ivan langsung paham dengan ucapanku, karena masalah yang selalu kuceritakan pada mereka adalah berurusan dengan orang lain.

"Dia ada disini, dia berambut keriting dan ada tahi lalat kecil di atas alis kirinya."

Aku memeluk Cingkrang, Aldich, Sallehman, dan Ranggith, ketika bertemu dengan mereka di halaman belakang yang cukup luas.

Ivan menceritakan masalahku pada mereka berempat, lalu mencari laki-laki berambut keriting di tempat itu.

Ivan menceritakan masalahku pada mereka berempat, lalu mencari laki-laki berambut keriting di tempat itu.

Aku membuka seragam sekolah, dan menaruh tas di kursi panjang berbahan rotan. Kemudian mereka berlima datang bersama pria berambut keriting, dengan beberapa orang yang mengenakan seragam sekolahku nampak ingin menolong pria itu.

"Ayo lanjutin masalah yang di lapangan, dengan tangan kosong atau pake alat pukul di sekitar sini?" Aku berucap dengan lembut sambil tersenyum—memandang dengan tatapan mengintimidasi.

Aku sekilas melihat golongan Cingkrang menahan, sambil menjelaskan ke teman-teman pria berambut keriting.

Pria berambut keriting mencoba membela dirinya dengan berceloteh, dengan ritme cepat dan bibir gemetar.

"Yaudah gini aja, kalau kamu nggak mau duel sama, kamu harus ngasih aku rokok tiap hari dua bungkus, sampai kita berdua lulus."

Aku masih tersenyum sambil merangkulnya di kursi panjang, dan kembali mendengar pembelaan saat aku membuka opsi damai.

"Gitu, ya? Uang jajanmu sehari cuma lima puluh ribu? Cukup buat beli rokok Shamsoon sebungkus, masih sisa seribu."

Aku tahu kalau ia sengaja berbohong, dan kebohongan adalah gagang untuk membuka pintu kehancuran serta penderitaan diri.

"Yaudah kalau kamu gak ada uang, jari-jarimu aja yang jadi jaminan penggantinya." Aku memegang jari kelingking pria berambut keriting, akan tetapi ia menghajarku dan aku membalas dengan pukulan ke hulu hati—saat serangan kedua berhasil aku tahan menggunakan lengan kiri.

Aku memanfaatkan momen pria berambut keriting yang kesulitan dalam bernapas---akibat pukulan ke hulu hati, dan aku menyikut tenggorokan agar ia semakin susah untuk bernapas.

Aku menendang tumit kaki musuh hingga membuatnya terjatuh, menginjak buah zakar, dan menendang kepalanya sampai membentur ujung kursi panjang yang sedikit lancip.

Tak sampai disitu, aku menginjak-injakkan kaki dengan keras ke wajah musuh— ia terlihat sudah tak sadarkan diri, dan aku menaruh lengan kanan musuh di atas kursi panjang, lalu menginjak sikunya dengan keras sampai terputus. Sontak apa yang kulakukan terhadap pria berambut keriting membuat orang di sekitar tercengan bengang, bahkan aku melihat golongan Cingkrang sempat berhenti saat tengah berkelahi--- dengan orang-orang yang satu sekolah denganku. Ya, karena tindakanku mengikut sertakan golongan Cingkrang, sekolahku dengan SMP Icelammiyah resmi menjadi musuh.

Mengenai tempat Bi Bena di halaman belakang, memang tempat khusus untuk menyelesaikan masalah antar individu semua sekolah---yang masih berada di wilayah kecamatan Wure. Terdapat sepuluh sekolah menengah pertama disetiap desa, dan di desaku Wure Kiri mempunyai tiga sekolah; Mts Negeri 02, SMP Musyawerein, dan SMPN Wure 01.

Sementara desa Wure Kanan memiliki empat sekolah; SMP Icelammiyah, SMPN Wure 02, SMP Pembangunan Djiwa, dan SMP Petani. Perbedaan wilayah kedua desa Wure hanya dipisahkan dari jalan raya nasional di Kota Caireborn, dan tak jarang saling bersitegang memperebutkan tender yang menguntungkan di mata mereka.

Ada satu aturan tak tertulis yang harus dihindari di tempat Bi Bena, dimana aturan itu ialah dilarang menggunakan maupun bertransaksi narkoba dan dilarang baku hantam di halaman depan, dan ruang tengah di dalam rumahnya. Apabila ada yang melanggar, si pelanggar bebas dihakimi oleh pengunjung lain. Ya, karena Bi Bena memiliki orang-orang kuat di belakangnya, jadi tak heran jika tempat ini selalu ramai dipenuhi anak sekolahan. Menurut rumor, anak-anak yang melanggar itu akan dibekukkan oleh polisi dan tak pernah lagi mendatangi tempat Bi Bena.

Setelah masalahku dengan pria berambut keriting selesai, aku mentraktir golongan Cingkrang dan teman-teman satu sekolahnya. Aku menghabiskan waktu bersama teman-teman masa kecil beserta orang-orang dari sekolah SMP Icelammiyah—untuk menambah relasi dan dukungan.

Aldich yang masih saudara denganku, dia mengkhawatirkan situasiku ke depannya. Ya maklum, karena aku sudah menarik pelatuk ke kepala sendiri---menjadi musuh semua siswa di sekolah sendiri.

Tak terasa matahari sudah tenggelam, dan jantungku mulai berdebar kencang akan rasa takut ketika sampai di depan rumah.

Benar saja, ibu langsung memarahiku dengan air mata menggenang pada sudut matanya, sementara ayah masih bersama dengan dua orang yang mengenakan seragam kepolisian.

Lututku bergetar hebat dan hati terasa hancur melihat pemandangan seperti itu, aku merasa gagal menjadi anak yang diinginkan mereka, akan tetapi akal terus membela bahwa apa yang aku lakukan itu tidak sepenuhnya salahku. Aku tahu maksud akal sebenarnya baik untuk mentalku, tetapi ayah sering memberitahuku untuk tidak mempercayai akal sepenuhnya.

Aku masih ingat nasihat ayah yang berkata bahwasanya akal harus berada di belakang nurani. Jika tidak, maka akal kita tidak akan menjadi sehat lagi, karena nurani yang berada di depan untuk menjaga malah terjagal oleh akal yang sedang sakit. Sama halnya dengan antibody yang berperan untuk menjaga kesehatan fisik kita, agar tidak mudah terpapar penyakit dan virus berbahaya bagi kita.

"Pikiran tenang akan menyehatkan akal, cara mendapatkannya yaitu dengan kedamaian hati dan nurani," Ucap ayahku kala itu.

Aku menangis keras sambil meminta maaf pada orang tua. Namun aku terlonjak kaget, ketika ayahku berkata untuk tetap tenang dalam mempertanggung jawabkan perbuatanku.

Akhirnya aku dibawa ke polsek Wure, akan tetapi sebelum keluar dari rumah, aku melihat ibuku menangis dalam dekapan ayah.