webnovel

Diary 5

Aku terbangun di ruang rawat inap, tanganku meraba wajah dan kepala, ternyata terdapat perban serta kapas di kepala juga pada wajah.

Aku meminta pada ibu untuk melihat hasil ronsen tubuh ini, lalu terlihat tulang kedua tulang iga patah, empat gigi hilang, dan siku tangan yang patah.

"Kalau saja kamu nggak menderita CIPA, mungkin kamu bisa menjauhi perkelahian." Ucap ibuku.

Mungkin ucapan ibu ada benarnya juga, karena penderita CIPA (Congential Insentivity to Pain) tidak bisa merasakan rasa sakit, dan tidak bisa merasakan suhu panas ataupun dingin. Meskipun aku merasakan gerah setelah beraktifitas berat, akan tetapi kulitku tidak mengeluarkan keringat karena otak gagal mendapatkan informasi mengenai suhu. CIPA itu sendiri terjadi disebabkan oleh mutasi pada gen NTRK1 yang bertanggung jawab untuk mengirimkan pesan, berupa rasa nyeri atau rasa sakit ke otak. Namun sebagai gantinya, otak menutupi kekurangan itu dengan menerima respon dengan cepat, terhadap inderawi yang mengirimkan informasi pada otak. Sehingga hal itu memberikanku refleks yang cekatan, dan sensitivitas yang tajam.

"Abhi kemana, Bhu?" Aku bertanya pada ibu.

"Abhi masih ada rapat, nanti juga kesin …."

Belum sempat ibuku menyelesaikan ucapannya, ayah datang melalui pintu yang bertuliskan "VIP 01"

"Abhi, kenapa aku bisa dibawa ke rumah sakit?" Aku bertanya, setelah mencium punggung tangan ayah.

"Kepala belakangmu dipukul dengan batu. Kata dokter yang pertama kali melihat lukanya." Ayah berujar, sambil memberikan susu murni kaleng bergambar naga—tapi iklannya beruang putih masuk ke dalam kaleng.

Aku mengela napas panjang, setelah meneguk susu pemberian ayah. Berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, jika aku sudah sembuh dan mulai kembali bersekolah.

Bukan mengkhawatirkan diriku sendiri yang akan mengalami banyak masalah, akan tetapi aku mengkhawatirkan perasaan orang tua, dan nama keluarga yang dicap buruk oleh orang-orang.

Tiba-tiba ayah mengusap kepalaku, sambil menanyakan apa yang sedang kupikirkan.

Aku menjawab sesuai apa yang ada di dalam kepalaku, dan meminta jalan keluar dari kebimbanganku.

Jawaban ibuku lebih menyarankan agar tidak impulsif. Sedangkan ayahku menyarankan agar menerima tawaran dari SOAD.

"SOAD itu siapa, Bhi?" 

Aku yang baru mendengar nama itu langsung penasaran, seperti apa orang tersebut dan apakah benar bisa memberikan solusi atas masalahku.

"Ghehehe, Abhi keceplosan. SOAD itu nama julukan dari Al-Furqon," Ayahku menjawab sambil tertawa kecil.

Aku turut tertawa kecil bersama ayah, karena Muhammad Al-Furqon itu orang yang selalu kurang serius dalam hal apapun—aku belum pernah melihat Al-Furqon serius dalam melakukan apapun.

"Emang kata Om Furqon gimana, Bhi,?"

Tiba-tiba ayah memberikan pesan dari Al-Furqon, yang bertuliskan bahwasnya aku harus ikut serta dalam rencana Al-Furqon yang ingin menghilangkan perundungan dan sejenisnya, dari institusi pendidikan di negara Andonecia dan beberapa negara lainnya. Jika rencana itu berhasil, maka rencana tersebut akan dilakukan di seluruh belahan dunia. Orang-orang yang mengikuti rencana itu akan dijamin bebas dalam persoalan hukum di negara, dan semua hak serta kebutuhannya akan dipenuhi dengan baik.

"Semuanya Abhi kembalikan padamu, Nak. Abhi dan Ebhu akan mendukung anaknya menjadi apapun yang membantumu dalam mencapai kedamaian yang abadi."

Aku melihat ke arah orang tuaku yang nampak sudah mengetahui rencana itu, terutama ayah yang tidak menahan diri untuk membuatku terus berkembang dan menjadi orang yang kokoh terhadap dunia nan fana.

Tiba-tiba telepon ayah berdering di tanganku, lalu ayah memberi kode padaku untuk menerima panggilan dari Muhammad Al-Furqon.

"Hallo Wishkey! Gimana tawarannya? Lu kagak bisa menolak tawaran itu, kan? Nanti gua kirimin dokumen lengkapnya ke hp Lu, jadi pikirika ….."

Aku langsung mematikan telepon, dan tersenyum.

"Hahahaha, Om Furqon itu benar-benar gila, sekali serius bikin orang panik." 

Aku membatin karena bagaimana bisa membuat rencana seperti itu terlihat mudah. Meski persoalan perundungan bisa diselesaikan dengan cara yang sederhana, tapi dia lebih memilih mencabut rumput liar sampai ke akar-akarnya. Aku kagum dengan pola pikir Al-Furqon dalam menyelesaikan sesuatu, dan aku mengambil banyak pelajaran darinya.

"Siapa saja yang mempunyai tujuan dalam hidup ini, harus siap melewati jawaban tanpa ujung."

Ayahku tiba-tiba berkata seperti itu, tatkala aku sedang mempertimbangkan tawaran dari Al-Furqon.

"Perkataan itu adalah ucapan si Furqon, dulu juga dia bilang ke Abhi 'Lu jangan mempersoalkan benar atau salahnya setiap keputusan yang gua ambil, Bangsat! Seandainya Lu mau jujur dan menerima kalau diri Lu itu bukan siapa-siapa, diri Lu yang sejatinya tidak ada, dan hidup Lu itu tidak lebih seperti hewan yang terikat dengan rantai makanan, saling memangsa untuk tetap bertahan hidup hingga menyerupai hewan yang punya otak tapi tidak berakal. Jika Lu sudah memutus rantai itu, pasti Lu bisa melihat apapun di jagat raya ini, dari sudut pandang yang menciptakan segalanya.' Abhi langsung menangis ketika Furqon ngomong seperti itu."

Ayahku tersenyum sumringah setelah mengatakan hal itu, dia juga langsung menambahkan bahwa ucapan Al-Furqonlah yang menjadi pemantik ayah untuk mendapatkan sesuatu.

"Hmm, sesuatu, ya? Kalau Wishkey boleh tau, sesuatu apa yang Abhi dapetin?"

Aku melihat ayah melihat ke arah ibu, seakan ada sesuatu yang di sembunyikan dariku sejak lama.

"Nanti kalau Wishkey sudah sembuh, kita main ke rumah Om Furqon, oke?" 

Ibuku menjawab, lalu mencium keningku.

Dua minggu setelahnya, aku dan orang tuaku tengah menuju ke kediaman Muhammad Al-Furqon, setelah keluar dari rumah sakit yang membuat para staf medis kebingungan akan sistem pemulihan diriku yang dibilang tidak wajar.

Aku melihat hamparan awan putih pada jendela pesawat, sambil mengingat kunjungan terakhirku di kediaman Al-Furqon yang bisa di bilang memalukan. Aku tidak sengaja melihat istri dari Al-Furqon sedang mandi, dan itu membuatku canggung saat bertemu. Apalagi golongan Cingkrang yang tertawa serta mengarang cerita yang tidak-tidak, setelah diriku memberitahu kejadian itu pada mereka.

"Emang si Anjing, golongan Cingkrang itu." 

Aku yang bergumam dalam hati pun tersenyum, ketika mengingat mereka mengarang cerita tentang aku dan Maya Janiceconsillian—istri dari Muhammad Al-Furqon. Mereka berkata bahwa ketidaksengajaan itu adalah langkah awal untuk bisa bersetubuh, seperti film-film biru. Ya, mereka termasuk aku kadang melihat film yang mengandung pornografi bersama-sama. Jadi, aku menikmati gaya candaan mereka yang tergolong vulgar.

Dua jam setelahnya, kami sampai di bandara Shaitom—Negara Amarika.

Kami disambut oleh istri serta anak dari Muhammad Al-Furqon.

"Si Furqon kemana, Mbak?" tanya ibuku kepada wanita berparas manis dengan mata sedikit sipit. Ya, ia adalah Maya Janiceconsillian.

"Biasa, lagi sibuk sendiri. Gimana kabarnya nih? Lama kita gak shopping bareng." Jawabnya sambil memeluk ibuku.

Aku melihat ke arah lain, dan melihat Unsiy Al-Furqon—gadis berambut pirang dengan paras yang cantik bak putri kerajaan, lebih tepatnya putri pemilik perusahaan terbesar dan tersebar di penjuru dunia.

Dia balik menatapku dengan tatapan sinis, akan tetapi aku segera menjulurkan lidah dan menarik kantung mata kanan dengan jari telunjuk—tanda mengejek dia.

Aku melihat Unsiy mendekat dengan tersenyum, sambil mengangkat tangan kanannya yang hendak memukul. Aku langsung tertawa kecil sambil melaporkan hal itu ke orang tuanya.

Pertemuan kedua keluarga tertawa kecil bersama-sama melihat tingkah kami berdua—Aku dan Unsiy, dan akhirnya kita semua pergi menuju kediaman keluarga Al-Furqon.