webnovel

Assassin of the Modern World

William Francis adalah pembunuh berkewarganegaraan North Suisse. William adalah orang misterius dengan masa lalu yang cukup keras. Namun kepiawaiannya dalam membunuh target tak dapat diragukan lagi. Politisi, bintang metal, seniman, bahkan presiden semua bersimbah darah bersinggungan dengannya. Lama bersinggungan di dunia ini membuat William mempelajari banyak mengenai watak manusia, yang egois, yang bengis, yang menjijikkan, yang gelap. Akankah jalan ini akan menjadi jalan yang dilalui William selama-lamanya? Atau sesuatu, seseorang akan menyusup dalam hidupnya, menjanjikan hidup yang lebih baik ketimbang bersimbah darah menutup mulut orang-orang besar?

Alessandro_Mulya · アクション
レビュー数が足りません
14 Chs

The Ruler of Our Times, Part 1

Romans 12:2

Don't copy the behavior and customs of this world, but let God transform you into a new person by changing the way you think. Then you will learn to know God's will for you, which is good and pleasing and perfect.

"Whoa!" aku terbangun. Dimana ini? Aku menoleh, melihat sekeliling. Atap yang terbuat dari besi-besi yang berkarat. Tembok dan lantainya hanya sebatas polesan semen. Ada selusinan senjata dan perlengkapan medis di meja pojok tepat di kananku.

This is a safehouse. But why whould I be here? If this is a safehouse, why is nobody guarding me here? Is that a gun over there? Yes, that is a gun over there.

Oke, aku hanya akan bergerak sedikit...'Swish!' "Hello there, William." Wow. Sekarang hampir semua orang yang tidak aku tahu sebelumnya mengenal aku.

"Oke? Di mana ini?" kataku menyapa aneh seorang laki-laki paruh baya yang tiba-tiba ada di depanku ini.

"You're in Savannah Street, William." Hm. Savannah Street hanya berjarak beberapa blok dari klub tadi. Kenapa aku di sini? Apakah dia menyelamatkanku? Laki-laki ini lalu berbalik ke belakang. Aku mengambil pistol.

"It's empty." Katanya sambil mengambil sandwich dari meja. Lalu berjalan menuju arahku dan duduk, mengambil kursi di dekat meja tempat pistol itu terletak. "Want some?"

Euh, tidak terimakasih. Aku menggelengkan kepalaku. Bagaimana caraku tahu kau baru saja meracuninya? "Who are you? You didn't even introduce yourself." Kataku menaikkan alisku, terheran.

He could've kill me if he wants to. But he didn't.

Yang berarti dia mempunyai sebuah penawaran untukku. Aku yakin sekali. "Aku punya tawaran untukmu, William." Ah, I fucking knew it, you wanker. There is absolutely no other reason you are keeping off the hook right there, ain't it mate?

"Let's hear it." Kataku mengangguk pasrah.

"You, my dear good lad, is trapped." Katanya serius, sembari duduk di depanku. What the fuck is this guy chanting about? Aku terheran-heran. "Oh, I'm sorry. You must be confused." Katanya mengusap kepala sambil tersenyum. "My name is Isaiah. Isaiah Rutherford." Katanya lagi.

"William. Only William." Kataku pelan.

"So, William." Kata Mr. Rutherford melipat kedua tangannya. Rumbai rambut panjang keabuannya membuatnya seakan terlihat sebagai profesor papan atas. "This whole story of people abusing power down here..." katanya tersenyum, "is quite a story, indeed."

Aku terdiam. Sebagai pembunuh bayaran sejak lama, dunia gelap merupakan duniaku. Aku tidak terpikir ada seseorang yang lebih gila, lebih kejam dibandingkan aku. Just like how everything, every rational thoughts of mine goes way out of the window...

Aku hanya bisa mendengarkan sekarang. Ya. Itu pilihan paling tepat. "Okay. Let's hear it." Mr. Rutherford tersenyum lebih lebar lagi. Another darker chapter has happened in my life. I just hope I can see a way out after all of this. Sudah pagi. Ow, hell. Sinar matahari yang merangsek masuk di gubuk antah berantah ini. Entah di mana sosok tuan kemarin. Aku merangkak keluar dari kasur dan mengusap kepalaku. Sakit sekali rasanya. Di meja ada sebuah pistol dan combat knife, serta sebuah surat.

William. You have woken up. I need you to kill Edmund Jefferson. Hmm. Edmund Jefferson adalah seorang mantan presiden di North Suisse. Berarti aku tidak diteleportasi ke negara lain sepertinya.

Aku mengambil pistol dan menyelipkannya di sela belakang celanaku, dan membalut pisau ini dengan saputangan, lalu menaruhnya di sela kaus kakiku.

Apakah aku bisa membunuh orang ini dengan hanya peralatan seperti ini? Semua pekerjaan ini sepertinya semakin sulit saja. Kenapa aku belum mati? Tanyaku sembari membuka pintu gubuk ini, mencari Mr. Jefferson, bukan demi sesuap uang, namun sekarang untuk mencari jawaban.

'Honk! Honk!' suara cab yang lalu-lalang, menyalip satu sama lain memekakkan telingaku. Di mana ini? Aku melihat kesana kemari. Apakah aku disekap di sebuah kamar di kota ramai dan tidak ada satupun yang menyadari? Satu pun? Wow. One step ahead, Suisse. So proud of you. Aku melihat pertigaan dan berlari kecil ke arahnya.

Greater Juror Street. Wow. Bagaimana caranya aku hidup tanpa uang disini? Tanpa apapun? Not even a bloody home, mate. Guess this Rutherford lad is pissing on me. Dimana juga aku harus mencari informasi tentang Mr. Jefferson, pikirku sambil melihat sekelilingku sambil berpikir.

Kota ini sangat-sangat ramai. It strikes a resemblance to Manhattan, except this here is populated by bloody Irish. Wait a minute.

Poster-poster di seluruh jalan ini dipenuhi muka Mr. Jefferson.

Kandidat MPR, tulisnya? What in the ninth circle of Hell are we turning ourselves into? Aku menaikkan kedua alisku, berpikir keras. Apakah seorang pembunuh bayaran di akhir jaman akan menjadi seseorang dengan common sense seperti ini?

Never mind that. I have to find out where this snob lad is going to next. The Black House[1]? A pub or a bar? Night's out with escorts? Or, perhaps...aku bisa mencari tahu siapa keluarganya dan memerasnya? No, that's impossible, William. You are an assassin with core value. Never forget that.

Now, let's go to The Black House first.

Aku memanggil taksi. "Cab! Over here!" kataku melambaikan tanganku pada mobil kuning yang lewat di persimpangan depan. Mobil itu berhenti. Untunglah.

But wait. Aku bayar pakai apa?

Dompetku hilang. Semua barangku sepertinya diambil si Rutherford sialan itu. Sialan. Yah, apa daya, pikirku sambil menghela napas panjang. "I am sorry,sir," kataku menghampiri kaca depan taksi ini, "but it seems like I forgot my wallet at home." Kataku tersenyum palsu.

"Hm." Dengus supir ini dengan kencang. Nyaris terdengar seperti kuda bunyinya. "Anda mau pergi ke mana?" katanya lagi.

"Black House." Kataku penasaran. Kenapa dia bertanya?

Lalu dia terdiam sejenak. Berpikir. "Come right on, mate." What? Are you taking a piss right now? Mungkin dia berpikir aku seorang politisi yang penting. Oh well, one can only guess God's plan, I presume. Aku langsung saja menuju pintu belakang dan melemparkan diriku ke jok belakang.

Ahh. Entah, sepertinya berjam-jam aku tidak duduk. The fuck is going on with my life right now. Wait. I smell something fishy.

Aku sedikit mengalihkan tubuhku ke depan. Melihat supir ini. He's holding a gun! Fuck! Aku langsung memecah kaca jendela dan mencengkeram lehernya dengan tangan kananku.

Aku meraih seatbelt dengan tangan kiri, melingkarinya di lengan dan mengayunkan tubuhku ke arahnya. Lalu tangan kiriku mencengkeram rem tangan erat-erat. Dan menariknya.

'Vrrooom...screeech!' bunyi keras decitan ban mengiringi taksi ini terpelanting ke udara. Cengkeraman ke leher sopir melemah. Dia melihat kesempatan, dan meraih pistolnya. Menodongnya ke arahku.

'Bang!' suara keras terdengar. Namun bukan pistol.Taksi terguling. Atap taksi membentur tanah dengan hebat. Aku mendarat di punggungku dengan tangan kiri masih terbelit rapat. Sopir membentur atap, lalu terdorong membentur setir. 'Hoooooooonk!' suara klakson langsung berbunyi. Sepertinya tidak akan berhenti. Supir malang ini berdarah intens di kepalanya.

Aku mengambil napas panjang. Aku masih hidup. Aku melepas belitanku dan menyerakkan pecahan-pecahan kaca di pintu mobil. Lalu menendangnya keras-keras. 'Crash!' bunyi pintu yang sudah reyot itu tertendang keluar. Aku melihat sopir ini. Sepertinya tewas. Aku mengambil pistol dan dompetnya, lalu merangkak keluar.

"Ughh..." kataku meringis kesakitan sambil mencoba berdiri. Aku langsung berlari kecil menuju gang, membiarkan pandangan aneh orang-orang lewat terhadapku.

Aku mengecek dompet sopir berbahaya ini. Ada sebuah kartu nama terselip di dalamnya. Aku tersenyum. Now that's a name I haven't seen in a months. Di kartu nama tertulis; Christ Asssassin Service.

How could you, mate? How very fucking noble of you to take a fucking piss on top of me head, you bastard. Aku memanas. Dan aku tersenyum sambil mengenggam erat-erat pistol ini di saku celanaku. Dan aku berlari. Cepat sekali. Menuju subway dan berharap aku akan menemukan jawaban di Black House dan menemukan jawaban atas semua ini.

And hopefully blow the fuck off Christ's head.

Aku pergi ke toilet subway dan mencuci habis-habisan bekas darah di sekujur tubuhku. Fucking hell. Aku mengambil berlembar-lembar tisu dengan ganas dan menggosok mukaku dengan cepat. Dengan ceroboh, lebih tepatnya. Orang-orang di belakang sinis berbisik.

I wish I could've point this gun at their cocsucking mouth. But I don't need this kind of heat. I have to get to the Black House fast. Aku membilas sekali lagi mukaku dengan kucuran air dingin dan pergi secepatnya, sebelum orang-orang ini mengingat mukaku.

Aku membuka pintu toilet dan menyadari ada seorang berpakaian serba hitam – yang aku yakin membawa pistol – berdiri bersandar di sisi railing, cukup jauh dari tempatku. Aku kembali ke toilet pelan-pelan.

"Hey!" Sepertinya dia menyadariku. Fuck.

Aku menutup pintu toilet dan mengambil gagang sapu dan menyeretnya di kenop pintu. Aku berdiri siap satu meter di belakangnya, menenteng erat pistol di dadaku.

"Crash!" pria tadi menendang kuat-kuat pintu toilet. Terkaget dengan keberadaanku, dia langsung meraih pinggangnya. 'Bang!' 'Bang!' Terlambat. Terdengar teriakan di mana-mana. Orang-orang lari terbirit-birit keluar. Aku harus mengambil pistol dan pelurunya sebelum satpam datang.

Okay. Done. Kataku dalam hati cepat, sambil berkeringat deras. Fuck. Aku harus segera masuk di subway. Now. Aku berlari cepat-cepat ke dalam.

Sepertinya aku terluka. Kataku melihat pinggangku. Ada luka sayat cukup dalam. Nicely done, you wankers. Aku mencengkeram erat-erat pinggangku dan berlari menyerobot kerumunan orang-orang di subway.

Sesosok orang tegap berdiri dengan balutan jas lengkap. Menatapku dengan fokus, lalu dia menarik lengan kanan jasnya. Ada sesuatu yang tertempel di pinggangnya. Jelas itu pistol.

Hening.

'Bang!' aku melarikan pelatuk pistol dan mengarahkan secepat-cepatnya moncong pistol ke kepalanya. 'Crack! Clank!' Bunyi keramik dinding pecah dan terjatuh berantakan. Sialan. Dia lolos. Bersembunyi di balik pot tanaman di kanan.

"Suisse Police! Hands in the air!" Fucking hell. Aku langsung berlari dan menembaki pot tanaman, tidak peduli dengan teriakan polisi di selusur tangga belakang mencariku.

'Bang!' 'Bang!' 'Bang!' 'Bang!' semuanya hanya memecah pot dan memangkas dedaunan tanaman. Bedebah ini berdiri dan mengarahkan pistolnya.

'Bang!' aku berhasil membelokkan moncongnya ke langit-langit. "Urghh!!" kataku mengerang kesakitan karena pinggangku tertarik. "Police! Stay right where you are!"

Aku mengarahkan pistolnya ke polisi dan menembak. 'Bang!' Satu terjatuh. Dua sisanya langsung memberondong kami dengan tembakan. Aku secepat kilat mengambil lengan bedebah ini dan mencengkeram kepalanya erat-erat ke sampingku. "Aurgh!" Semua peluru polisi menembus dada dan kakinya.

That must have hurt like hell. Aku mengambil pistolku dan membidik polisi yang sibuk berjalan sigap ke arahku. "Police! Don't piss on me now, kid!" "We are going to shoot!" Kedua tanganku masih mencengkeram bedebah ini.

"One!" "Two!" Aku mendorong bedebah ini sembari mengambil pistolnya yang terpelanting ke tanah. "Shoot!" kata polisi yang menembak tak tentu kesana-kemari, membunuh bedebah kasihan tadi. Aku memegang dua pistol.

Kedua polisi ini sibuk mencari kepalaku sedetik setelah bedebah ini mati sekarat. 'Bang!' Bunyi pelatuk di tangan kiri bergaung keras. Polisi di kiriku tergeletak mati. 'Bang!' bunyi pelatuk di tangan kananku ke polisi yang masih melihat rekannya yang bersimbah darah. Dia pun tergeletak.

Looks like that's it. Mereka hanya polisi patroli, pikirku sambil menjarah mayat mereka – dan juga bedebah ini – dan sesegera mungkin pergi dari tempat ini. Dari kejauhan, terdengar sirene polisi yang semakin keras terdengar.

Aku masuk lebih dalam menuju subway dan mengambil napas dalam-dalam. I have no fucking clue what is going on right now.

'Zinnggg!!' suara mulus kereta subway menyambar terowongan dengan lantang, mengalahkan renungan otakku yang mulai menggila sekarang.

Aku duduk di pojok, dekat pintu masuk ke gerbong lain. Semua orang melihatku. Mungkin karena bercak-bercak darah di baju dan luka-lukaku yang menganga lebar? I don't know. Take a fucking guess. Aku terduduk diam sambil memasang muka seramku.

I fucking hope nobody cares. I just hopes that. 10 menit berlalu. Sial. Aku ngantuk sekali. I need a sleep. Aku melihat informasi gerbong di langit-langit. Black House masih beberapa jam lagi.

Yeah. I guess that's it for today. Let me take a bloody rest.

"Next stop is; The Black House. I repeat, next stop is; The Black House. Please remember to bring your belongings. Take out your trash. Thank you." Holy shit. Aku terbangun. Tidak ada satupun orang yang membangunkanku. Not even the conductor. Aku yang setengah sadar meletakkan tangan kananku ke kepala. "Oh my God!" teriak seorang ibu keras-keras, diikuti dengan terkejutnya orang-orang lain juga.

Oh. Ternyata pistolku masih kupegang erat di tangan kanan. Well, that explains everything. Anyway, I have to go down now. Kataku bergegas menuju pintu keluar. Aku menoleh melihat orang-orang yang berkerumun di satu pojok, melihatku ketakutan. Aku mengayunkan pistolku. "Jesus Christ, save me! Save me now!" teriak ibu yang sama yang diikuti dengan teriakan orang-orang lain. Aku tersenyum licik.

It is only when you are pinned down to the very core, you know what humans are made of. Yah, aku memberikan mereka pengalaman seumur hidup untuk melihat reaksi mereka di depan tatapan kematian. And they do it well. They remember Jesus, right? Anyway, I have to go fast. Kataku sambil berlari kecil di sepanjang tangga naik subway.

Black House hanya berjarak sekitar 100 meter ke depan. Bangunan megah menjulang tinggi serba hitam itu jelas memikat hati para turis yang datang ke sini. Which raises a question. Why is a government building has to be a tourist attraction? With all the security guards and all, you were damn lucky if your head is still intact.

Aku berjalan mendekat di trotoar, sambil menebak penjagaan di Black House ini. Let's see. Pikirku sambil duduk di bangku kafe, tepat di seberang Black House. Pintu masuknya dijaga ketat. Ada dua – tiga security guard berjaga di pintu yang dipalang itu. Tepat di belakangnya ada sebuah SUV. Asumsi pertama, untuk mengejar siapapun yang mendobrak menggunakan mobil. Asumsi kedua, untuk mengejar siapapun yang masuk dengan sekompi pasukan. Whatever it is, it will be bulletproof. And pretty fast for a car it's size.

Pintu masuk dijaga dua orang. Senjata berlaras panjang. Pintunya pun pasti reinforced. Steel? Wood? I don't know. One thing for sure, it will not break only by bullet alone. Bagian belakang? Fuck, I can't see the backside. Might have to look around for a bit.

Lantai satu? Semua lantai sampai lima menggunakan kaca film. I can't see unless I have a thermobinoculars. Which I don't. Being an assassin with no resources completely sucks balls.

Kemejaku bau mayat dan belepotan darah. If I have to fake myself in, this outift will not do. Aku menoleh ke sekeliling. Bingo! Di toko, dua blok dari kafe ini, ada sebuah toko baju secondhand. I hope I have enough money.

"Ready to order, sir?" kata waiter menghampiriku dengan sedikit ketakutan. "Nah. Thank you. This is tomato stain, by the way." Kataku beranjak pergi menuju toko baju itu.

'Clink!' bunyi bel di langit pintu berdenting menyambutku. "Welcome! How can I--" senyumnya langsung berubah cepat saat dia melihat noda darah di bajuku. "I thought so." Kataku berbalik tersenyum. "I need your best suit available at size 5, now." Kataku merubah senyumku menjadi mimik muka serius. Dia langsung pergi ke belakang. Apparently, it works.

"Here you go, sir." Katanya menyodorkan sebuah kemeja dan celana jeans. Perfect. This will work wonderfully. "Terimakasih. Ini uangnya." Kataku menyodorkan $50 kepada wanita yang berkeringat dingin ini. I don't care. It's not even my money. It belonged to the dead guys at the subway. "Anyhow," kataku sambil terbatuk, "Bisa pinjam ruang ganti?" kataku tersenyum lagi. She must've shivering to the spine right now. "Right there, sir." Katanya menunjuk pojokan ruangan.

"Thankyou...Emma." kataku melihat stiker nama di dadanya. "Here's a tip for your huge balls." Kataku menyodorkan $5 ke tangannya yang sibuk menggaruk setiap inci pinggangnya. Okay. Time to get dressed up as a regular civilian. Kataku sembari masuk di ruang ganti. Its getting noon now. I must hurry.

Aku berlari kecil dengan baju baru ini ke bagian belakang Black House. Aku bersandar ke tembok dan berlagak melihat sekeliling. Hm. Aku melirik sekali-kali ke arah gedung Black House. No entrances. Harapan satu-satunya masuk hanya melalui pagar setinggi dua orang dewasa itu dengan atribut tajam di atasnya. I could've done it if not for the guards guarding the bloody fences. Di dalam, sepertinya nyaris tidak ada pengamanan. Bahkan seorang tukang ledeng bisa masuk dengan mudah.

Hm. Tukang ledeng? Aku tersenyum. Sepertinya aku harus masuk melalui jalur "bawah". Aku melihat sekeliling. Bingo! Aku menemukan manhole di kiri, beberapa meter ke depan.

Aku berjalan santai dan berpura-pura menjatuhkan uangku. Aku membungkuk. Membuka cover dan buru-buru masuk sebelum ada orang yang menyadari keberadaanku di tempat busuk ini.

'Splat!' Aw fucking fuck, for Christ sake! Di bawah sini sangat-sangat kotor. Oke. No time to lose, William. Aku maju ke depan dengan berhati-hati. Sangat berhati-hati. Lihatlah tempat ini. Lantainya dipenuhi dengan sampah-sampah yang basah karena aliran air di sini. Sampah-sampah plastik, bungkusan koran, even a fucking tampon. Langit-langitnya yang disemen terlihat banyak lumut. Banyak air yang menetes dari atas. DI sisi kanan dan kiri, temboknya lebih banyak dipenuhi dengan lumut. This place is a living hellhole.

Aku maju ke depan. One thing I know is that, the government building has their own sewage connecting to the city. Langkahku maju dipenuhi dengan suara-suara sampah basah yang berdecak dan diiringi decitan tikus-tikus hitam.

Okay. This is it. Kataku dengan penuh harap melihat cover yang lain dari semua cover yang lain. Tertulis di timah bundar itu; "Suisse – Black House". Okay. Time for some fucking fireworks.

Aku membuka cover pelan-pelan sambil mengintip di mana posisiku sekarang. Hm. Rumput. Masih di pekarangan belakangan sepertinya. Aku menggenggam erat covernya dengan tangan kiri sambil membidik dengan pistol di tangan kanan. Kiri? Aman. Kanan? Aman. Let's roll, William.

Aku membuka cover dan berlari jongkok menuju tembok di depanku.

Aku melihat ke pintu menuju ke dalam. Tidak ada siapa-siapa. Tunggu. Ada bayangan. Guard shift, apparently. Aku harus menghabisinya sebelum temannya datang.

"Hey! Marco!" kata seseorang. Aku mengintip. Bloody hell. His friend is now joining the party. Mereka membawa senapan laras panjang. Hm. Mungkin itu tiketku masuk. With a fucking bang.

Aku membidik dengan serius. Lalu membalikkan badanku lagi ke tembok. "Hey, do you hear that?" "Let's check it out." "Oy! Over there!" Aku menghembuskan napas panjang. Tersenyum simpul. Two headshots? Let's do this.

Aku menengadahkan kepalaku sambil membidik dua orang ini. 'Bang!' One down. 'Ratatatatata!' Bunyi laras otomatis itu berdesing, nyaris mengenai kepalaku. Untung aku sudah berbalik. "Code One! Code One! Intrude--" 'Bang!' Two down. You should have never take your fingers off the trigger, boy. Aku mengambil kedua senjata mereka beserta amunisi mereka, rompi anti-peluru, dan seluruh seragam mereka.

Let's see. If I act like I'm looking for me, will they fall for it? Ugh. My hips hurt like hell. Aku harus secepat mungkin menemukan Mr. Jefferson. Let's see. Kandidat MPR...Mungkin di ruang Oval. I hope the Code One doesn't affect the politicians.

Aku berlari dari ruang tamu menuju sebuah lorong bertuliskan 'Oval Office'. Aku langsung menendang pintu besar kayu ek tepat di depanku. 'Crash!' Wow. Sepatu bot mereka benar-benar keren.

Aku membidik. Tidak ada satupun guard di sini. Mereka pasti sudah menemukan keberadaanku melalui kamera CCTV. Let's check the fire escape, shall we?

Aku keluar. "There he is!" 'Ratata!' One. 'Ratata!' Two. Oke. Mati. Sepertinya para penjaga di sini bergerak berdasar formasi satu-dua. Tapi formasi itu paling lemah. Kenapa menggunakannya di sebuah gedung berisikan banyak orang penting? Aku rasa itu salah satu dari beberapa alasan aku bisa melanggeng di karirku, aku rasa. Pikirku sambil menjarah mayat mereka berdua.

Okay. I have enough ammo. What I don't have is time. Kataku sambil sedikit terhuyung. Aku mengencangkan tali rompiku. Pendarahanku semakin hebat saja. Let's head to the fire escape.

Aku langsung berlari dari ruang tamu menuju sebuah pintu plastik serba putih dengan plakat merah menyala bertuliskan 'Fire Escape'. "Hands on your head!" Aku langsung masuk. Berlari menyusuri tangga dan langsung melompat satu-persatu lantai, berpegangan pada railing tangga. Nobody is here. 'Ratatatatatatata!' Fuck. These guys have no patience. Mr. Jefferson, I really really needs you.

Aku terus-menerus melompat, semakin ke bawah. Semakin pula aku menyadari para guard di sini tidak dididik dengan baik. Atau aku terlalu hebat untuk mereka. 'Clank!' Bunyi sepatu botku menghantam lantai. Kenapa suaranya berbeda? Besi? Aku menyadari ini adalah lantai paling bawah. Railing tangga berhenti tepat di belakangku. Di depan berdiri tegak sebuah pintu dengan cat putih besar di tengah bertuliskan, 'Bunker'.

Dan dua penjaga akan memberondongku dari atas.

Aku berjongkok di blind spot di belakang railing tangga, cukup untuk tidak terlihat dari atas dan samping. "Catch him! Code One! Code One! Code One to HQ! Suspect last seen to Bunker! I lost him! Is he inside? Or--" 'Ratatatatatatatatatatatata!' Aku menghabiskan seluruh magasin memberondong torso mereka berdua dari belakang, sambil menenteng dua senapan. "Urgh--" Aku yakin semua orang mendengar mereka berdua.

I'm dealing with full national security now, as soon as I heads out.

I better bring Mr. Jefferson, whether with his head intact or not, I want answers. I need answers. Aku menjarah mereka berdua dan melangkah menuju Bunker.

'Creak...' It's not locked. Apakah aku dijebak? Aku meneruskan membuka daun pintu menggunakan kakiku sambil mengambil granat. Aku melepas pinnya. Satu...dua... kataku menghitung, lalu memegang daun pintu dengan tangan kiriku. Melempar granat sekuat tenaga ke dalam, lalu menutup pintu berat ini.

Ada teriakan di dalam. Diikut oleh bunyi, 'Boom!!' Okay. I'm going in. Aku membuka sedikit pintu dan langsung masuk ke dalam.

Aku langsung menuju ke sudut pertigaan ruangan. Sepertinya tadi granatku menghantam seluruh lorong di depan. Melihat ini bunker, langit-langitnya pun juga runtuh di depan. Tidak ada jalan lain selain maju dari lorong lain ini.

Aku membidik dari iron sights, sambil berjalan jongkok ke depan. "There he is!" 'Ratata!' 'Ratata!' Seharusnya kalian menembak dulu sebelum berteriak. Dua orang sudah kubolongi tengkoraknya. Funny. Even in this high-risk building, they still go around in this formation. Aku berjalan lurus. Ada perempatan di depan. Aku berjongkok sebentar, mengisi ulang senjataku, dan mengambil jalan ke kanan. 'Ratata!' 'Ratata!' Dua orang penjaga yang sibuk berbincang tersungkur ke tanah.

Hm. Tidak ada alarm yang berbunyi. Apakah tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaanku di sini? Setelah semua mayat ini? Something is not right. Maybe this place is rigged to be blown apart. Change of plans. I need to find the electric station in this bunker. Mr. Jefferson bisa menunggu.

Masalahnya adalah, tidak ada peta ruangan ini. Salah-salah, aku yang akan mengakhiri riwayat hidupku di sini. No eyes, no ears, and no accessories. Fuck. Gotta say I do miss Christ. Si botak itu pasti sudah menyelamatkan banyak waktuku sekarang.

Lorong ini panjang sekali. Rasanya sudah sekitar 30 menit aku berjalan. And...great. A dead end. Lucky there's a door. Tulisannya...kataku memicingkan mata sambil maju mendekati. Tulisannya "Maintenance". Just my fucking luck then. Locked. No problem. 'Ratata!' Oke. Seluruh kenopnya – dan isinya – rusak sekarang. 'Crash!' bunyi keras kayu pintu dan besi gagang berterbangan saat kutendang pintunya dengan sekuat tenaga.

Aku berjongkok sambil bersiaga. Everything is dark down here. I thought this was maintenance? Lalu kenapa – 'Ratatatatata!' Fuck! Aku lengah. Aku menjungkalkan diriku ke belakang. Aku membidik dari iron sights. Harapanku adalah membunuh bedebah ini sebelum dia membunuhku.

Tidak ada tempat bersembunyi di lorong belakang. Aku merebahkan badanku sambil membidik. Ada bayangan yang bergerak di kanan. Bayangan manusia. Aku membidik kepala di bayangannya, dan langsung mengarahkan moncong sedikit ke atas. 'Ratata!' Oke. Kepalanya bolong sudah.

Aku berdiri dengan susah payah, lalu memasuki ruangan. I've run out of ammo. I better search his body first. Sambil mencari-cari kenop untuk memutus semua aliran listrik, aku menjarah mayat penjaga tadi. Ada banyak sekali kotak-kotak kelap-kelip yang disusun sampai nyaris menyentuh langit-langit. And there's a lot of computer noises. 'Bleep! Bleep!' 'Tick. Tick. Tick.' 'Riingg! Riingg!' Sial. They distract me. Where is the power button? Pikirku sambil mencari-cari di hadapan layar superlebar yang dipenuhi dengan banyak tombol tanpa tulisan.

You know the solution? Blow them all.

Tapi, aku takut akan kemungkinan total shut-out yang mungkin terjadi jika aku melakukannya. Aku hanya harus mencari tombol untuk mematikan seluruh sistem. Why do engineers make this so bloody hard? Just make a bright, red button next time. Aku mencari. Di pojok kanan panel ada sebuah kunci tertancap. Wait, isn't this?

Aku menjarah lagi penjaga tadi.

Aku menemukan sebuah kunci di pinggangnya, dengan bentukan sama persis seperti yang tertancap di panel. Aku mengambilnya dan memasukkannya di pojok panel sebelah kiri. Ada tulisan yang muncul di panel komputer. Just like what I've thought. Aku menyelipkan granat di bawah panel, dengan pinnya masih hidup di sela lubang yang terhubung dengan tombol-tombol. 'Sigh.' I should've seen this coming.

Panel komputer berubah warna. Merah. Semua alarm berbunyi sekarang. "Well, well, William." Kata seseorang dengan suara berat di belakang memanggilku. "So I'm your errand boy, huh? Pretty fucking niche, I must say." Kataku tersenyum sambil berbalik. Aku mencengkeram pelatuk senapanku dengan tangan kanan.

"I know. But you were free. And lethal. Who would've said no to that?" kata Rutherford dengan bidikan pistolnya, tepat ke jantungku. Well, this is it again. The old cowboy game. Let's see how good I am at playing this. 'Bang!' 'Ratatatatata!' Timah-timah panas berterbangan menyusuri ruangan kecil ini, hampir semuanya mengenai perangkat-perangkat teknologi di sini.

Percikan api muncul di mana-mana. Aku meringis kesakitan. He hit my shoulder. Dan pinggangku tertarik lagi. Fuck. I'm losing blood. Rutherford? Pikirku panik, sambil melihat ke depan sembari terbaring di tanah, mencoba berdiri tegak. Rutherford tampak berlari ke lorong sambil memegangi lukanya.

Like I said, there's no hiding place in a tunnel.

Aku membidik dari iron sights, dan menembaki badan dan kakinya. 'Ratata! Ratata! Ratatatata!' "Fuck!" teriaknya lantang. Aku melepas pin granat dan beranjak keluar. Fuck, I'm losing myself too. I better get going. Kataku mencoba lari. Fuck, it hurts so much.

Rutherford masih saja merangkak di lantai yang sudah terlihat seperti dipel dengan darahnya. Aku melihatnya masih mencengkeram pistol. Aku menginjak tangannya. "Argh! Fuck!" katanya berteriak lagi. For someone working in a shady business, he's a pure mental coward. Pistolnya terlepas. Aku menendangnya jauh dari tangannya.

"Wait!" kata Rutherford mencegahku yang melarikan diri. "You want answers to it all? You want some truth?" katanya tersenyum. He looks so fucking pathetic. Aku membalas, "Nah. Maybe later. I need to run off first." Kataku berlari lagi. 'Boom! Boom! Boom!' sepertinya seluruh ruangan maintenance sudah meledak total. Ah. Ini perempatan yang tadi. Let's go straight.

There's a door, opened, with medical supply inside. I'm guessing that's the pharmacy.

Jolly good time. Aku butuh waktu untuk menjahit luka-lukaku ini. All of this hardwork, and all I'm getting is tags for my fucking head, my client goes rogue and my target is none to be seen. What a day. What a fucking day!

'BOOM!'

Ahh. Fireworks. One of the things I like most during my professional jobs. Sekarang, bunyi ledakan itu akan mengalihkan perhatian semua penjaga di sana. Aku harus sesegera mungkin menangani lukaku. Aku sudah berkeringat di sekujur badan.

Aku mengambil perban dari kotak P3K yang tertancap di tembok, lalu duduk di kasur seprei puntih di pojok ruangan. Aku dengan perlahan melepas baju dan rompiku. Lalu memerban seluruh pinggangku. "Urgh!" Sakit sekali. Aku juga memerban seluruh pundakku yang terluka.

Aku mengambil napas panjang.

Lalu aku memakaikan lagi rompi dan bajuku – dan menaruh perban kembali ke kotak P3K. Lalu mengambil sebuah kotak obat dengan warna kuning terang. Antidepresan? Painkiller? Tulisannya – Vicodin. Yeah. Just what I thought. I took several pills and down it all with one big gulp. Oke. Aku mengencangkan strap di senapan dan menaruhnya lagi di pundakku.

Aku menyiagakan badanku yang masih menyesuaikan diri dari efek Vicodin – lalu aku mengambil arah kanan di pertigaan tadi. Menuju satu-satunya tempat yang belum kulalui. Could be a way out, or it could be MY way out. Either way works.

Where is Jefferson? Never mind that, where is Rutherford? He is nowhere near the tunnel. I guess he ran to this door. Hm.

Aku membuka pintu pelan-pelan, sambil menenteng senapanku rapat-rapat. Aku melihat ke dalam melalui celah pintu yang sempit. Ada seseorang. Dia merayap ke tanah. Seems like that's Rutherford. Whoops, he's looking at me. Aku langsung menutup pintu sambil berjongkok. 'Bang!' 'Clank!' Bunyi peluru pistol menghantam pintu besi ini. Hm. Tidak bolong. As I said, reinforced steel. These politicians spent their tax money well.

Aku membuka pintu sedikit untuk memasukkan moncong senapan. 'Ratatatatatata!' "Fuck!" Ah. What a pleasant voice to hear. Aku mengisi ulang senapanku dan langsung masuk. Rutherford yang terkapar masih saja mampu memegang pistol. Aku menginjak telapak tangannya.

"Ah! Fucking hell!" katanya mengerang kesakitan. Yeah, I thought so. "Rutherford, Rutherford." Kataku sambil menginjak telapak tangannya lebih dalam dan menaruh moncong senapan di pelipisnya. "I want answers. Let's start with..." kataku serius, "What in the bloody hell is this thing that you're getting me into? Rutherford tertawa. Aku mengangkat kakiku dan menginjaknya lagi – lebih keras.

"Ah! You son of a bitch!" katanya. "Ayolah, Rutherford. Marilah saling membantu di sini." Kataku pelan. "I helped you getting into this place, and you need to get me out of my head."

Rutherford menghela napas. "You were played. All along."

Yeah. I noticed that. But how? How could anyone know about my past? About how that will affect my job with Francis Dean? Aku berpikir keras. "Sebenarnya, William," kata Rutherford memecah pikiranku, "We have been watching you for so long. Long before the funeral."

Funeral? He was there with Christ?

"Wait." Kataku bingung. "Why did you know about that? Whose funeral is that?" kataku sedikit tergesa. Rutherford tersenyum.

"You totally forgotten everything, don't you?" kata Rutherford, sedikit lebih santai dari sebelumnya. "William, semua jawaban yang kamu cari," lanjutnya, "Mungkin bisa kamu temukan dari balik bilik pintu itu." Aku menoleh. Hanya ada dua pintu di sini. Salah satunya adalah pintu tempatku masuk.

"Go on. Jefferson is inside."

Aku semakin bingung. Mungkin benar, semua jawaban yang aku cari ada di sini. Tapi bagaimana dengan Rutherford? I couldn't just let him off the hook. "I should kill you first." Kataku serius.

Rutherford mengangguk. "Fair enough. Pull the trigger."

'Ratata!'

Darah mengucur deras dari kepala Rutherford. 'Warning! Warning! Code Zero!' Ah. Akhirnya alarm berbunyi. Semua lampu berbuah warna menjadi merah menyala. It doesn't really matter, I guess. I am close to the end of the tunnel. Aku berjalan kecil dan membuka pintu menuju jawabanku.

Sinar membutakan menyilaukan mataku sebentar.

"William?"

Wait. What the fuck? Christ?

[1] Gedung Representasi MPR di North Suisse.