webnovel

Assassin of the Modern World

William Francis adalah pembunuh berkewarganegaraan North Suisse. William adalah orang misterius dengan masa lalu yang cukup keras. Namun kepiawaiannya dalam membunuh target tak dapat diragukan lagi. Politisi, bintang metal, seniman, bahkan presiden semua bersimbah darah bersinggungan dengannya. Lama bersinggungan di dunia ini membuat William mempelajari banyak mengenai watak manusia, yang egois, yang bengis, yang menjijikkan, yang gelap. Akankah jalan ini akan menjadi jalan yang dilalui William selama-lamanya? Atau sesuatu, seseorang akan menyusup dalam hidupnya, menjanjikan hidup yang lebih baik ketimbang bersimbah darah menutup mulut orang-orang besar?

Alessandro_Mulya · Action
Not enough ratings
14 Chs

The Musician of Our Times

Ecclesiastes 7:15

I have seen everything in this meaningless life, including the death of good young people and the long life of wicked people.

'Riinngg!!' Ugh. Kenapa alarmku berbunyi? Sekarang harusnya menjadi hari liburku setelah semua aksi kemarin. Tunggu. Kenapa jam wekerku berpindah tempat?

Aku mengambil pistol dari meja di samping kasur. Perlahan aku meninggalkan kasur dan keluar melalui tangga fire escape.

"Quick thought, William. I really mean it." Sesosok laki-laki berbusana serba hitam menyapaku sambil merokok. Goddamn it, Church.

"Come on, mate. Let me have a beautiful, much-needed sleep. I've been up all night shooting those wankers and not to mention, your target." Kataku menaruh pistolku di belakang celana boxerku.

"Aku baru saja mendapat kontrak, William." Katanya mengisap rokok. Dia bahkan tidak menggubrisku sama sekali. That's very snob of you, mate.

"Musisi. Francis Dean. Heard of him?" katanya akhirnya menoleh sambil menenteng amplop coklat. "Can't say that I do." Aku menghampirinya.

Mr. Church memberikan amplopnya. Aku membukanya pelan-pelan, membuka sebuah binder berisikan profil orang ini. Oh, he's really famous. Then how come I have never heard of this lad before?

Seorang musisi dengan penghasilan jutaan dolar per tahunnya. Aku tidak mengerti kenapa orang seperti ini harus dbunuh oleh seorang pembunuh profesional. Namun dari pengalamanku, biasanya orang seperti ini mempunyai kelainan jiwa.

"He has a mental disorder." Kata Mr. Church menghisap rokoknya. Aha! I knew it! "Kelainan jiwanya adalah dia seorang yang sangat-sangat gila."

Wait, what? Come again? "Aku tidak mengerti." Kataku menaikkan kedua alisku, bingung. "Kenapa aku harus menerima kontrak untuk seseorang yang jelas-jelas gila?"

"Because he is rich. And you are poor." Oh, wow. Talk about hurting one's feelings right here. Aku tersenyum kecut. "Terimakasih banyak atas pengertiannya."

"I am sorry if I made you angry, William." "Tidak apa-apa, Christ." Kataku masih melihat-lihat binder.

"Good. You'll be driving to Prodeo Street four hours from now." "Said what now?" aku sampai hampir merobek halaman binder.

"Time is of the essence, William. He lives there, you find out his weak link, you capitalize, you shoot him at his bloody head." Kata Mr. Christ menghabiskan sisa rokoknya, lalu menoleh ke arahku. "Am I right?" katanya serius. Aku menaikkan kedua bahu.

"Go home and prepare accordingly." Katanya membuang puntung rokok ke selusur tangga dan beranjak turun. Huh. Guess the renowned jazz musician did not have much time on his hands. I hope he said his grace already. Aku mengikutinya beranjak turun, dan pulang ke apartemenku.

My bag is all good, except for the ammunition I spent for Mr. Golden bodyguards. Hmm. Apakah aku harus pergi membeli beberapa? Aku bahkan tidak tahu tipe jalanan Prodeo Street seperti apa.

Apa itu? Seseorang meninggalkan post-it di jendela. 'Sniper rifle and pistol. All silenced. Mr. Christ.' Untungnya kedua benda itu tidak aku pakai sama sekali sebelumnya. Much thanks, Mr. Christ.

Okay, let's wrap things up, shall we? Aku mengambil tasku dan segera meringkasi "peralatan" yang diperlukan. Masih ada sekitar tiga setengah jam lagi. Aku membuka-buka lagi binder Francis Dean.

'Krrtt,' bunyi kertas-kertas binder yang kubuka-tutup. Ada banyak sekali intel terkait orang ini. Mari kita mulai dari yang paling awal. Francis Dean, 30, laki-laki, berkebangsaan Wales. Berambut ikal panjang dan jenggot yang tidak kalah tebalnya. Ginger, of course. Musisi jazz terkenal, mempunyai banyak kenalan orang-orang berkedudukan. Aku yakin Mr. Golden dulunya juga merupakan koleganya. This is where it gets interesting. Intel ini mengatakan kalau Mr. Dean senang – bahkan thrilled – menghabisi lawan-lawannya dengan cara-cara ala American Psycho. I guess I can call him 'Wales Psycho'.

Berbagai cara, mulai dari menyetrum aki ke badan lawannya sewaktu basah, waterboarding, and even bloody whips. For Pete's Sake, he's using whips at his own lads! This lad is mad.

Di sini disebutkan kalau dia sangat pintar menyembunyikan tindakannya dari mata publik. Seorang psikopat, aku yakin. Tidak banyak fotonya menyiksa lawannya, hanya kebanyakan testimoni. Berarti dia adalah orang yang sangat menutup rapat-rapat kehidupan "pribadinya". Dia menutup rapat mulutnya kepada orang-orang yang tidak dia kenal, dan sangat berhati-hati.

Pernah diindikasikan melakukan beberapa kejahatan, namun kesemua kasusnya ditutup karena kurangnya brang bukti. Fuck, this lad is a creep, but on top of that, he is smart as a bloody rat. Sepertinya semua intel setelahnya hanya menjelaskan yang sudah-sudah. Kejahatannya, ketertutupannya, dan watak Francis Dean itu sendiri.

'Honk! Honk!' Oh. Itu dia mobilku, sepertinya. Aku mengintip dari kaca jendela. Supirnya seperti supir biasa, dengan kedua tangan di kemudi. Berarti dia tidak membawa senjata. Aku harus ekstra hati-hati kali ini. Karena siapa yang tahu, Francis Dean sudah menaruhku di daftar orang-orang yang harus dihabisi, pikirku sembari turun menenteng tasku.

"Mr. William?" kata supir cab itu. "Aye. That's me name right there." Kataku melihat-lihat seisi mobilku dengan kacanya yang terbuka sedikit. Aman, sepertinya.

"Alright, hop on then, mate." Katanya ramah. Sepertinya hanya supir biasa yang dipanggil Mr. Christ. Alright. I have been overthinking it, I guess. Prodeo Street, here I come. Dammit, I missed Ruby Avenue already. Supir cab menginjak pedal gasnya, meninggalkan sekali lagi apartemenku yang jarang sekali terlihat dengan diriku di dalamnya.

Aku menutup pintu dan bernapas panjang. Aku tahu supir sudah tahu tujuanku, jadi aku rasa aku akan beristirahat saja. Toh, supir ini kelihatannya aman.

Mobil berhenti. Rem berdecit cukup kencang karena lumpur di jalanan. "Mate, we've reached Prodeo already." Kata supir cab mengguncang-guncang badanku. "Wait, wha—what? What rodeo already?" kataku setengah terbangun setelah perjalanan yang cukup panjang.

"I think you need a good night's sleep, mate." Kata supir cab bergurau sembari aku mengusap kepalaku. "Yeah, you're right. Thanks mate." Aku turun sembari menenteng tasku. 'Splash!' Oh fuck. Aku menginjak lumpur.

"Do be careful, sir. There's a lot of mud here. After all, it is a slums." Kata supir cab sambil membuka kaca jendelanya. Yeah, I fucking guess so.

"Oh, and sir," katanya lagi, membuatku menoleh. "Do enjoy your stay. Remember God, as the church is watching." Katanya tajam. Aku balik menatapnya dengan tajam sambil meraih pistolku. "Stay safe, sir." Katanya kembali dengan muka tersenyumnya seraya pergi dengan cepat, knalpot mobilnya nyaris memekakkan telinga.

So you are watching, Mr. Church. No dobut in that, I guess. And this is where I live then. 1339 Dermont Alley, Prodeo Street. Aku menjinjing tasku dan menapaki tangga tiga langkah menuju sebuah pintu hijau tua dengan kayu ek yang rapuh, beserta eksterior yang tidak kalah tuanya. Bahkan nomor 1339 nya sudah karat dan jelek. Well, I guess this one's similar to mine then.

Aku harus beristirahat. Hari esok menungguku dan aku punya banyak pekerjaan mengintai yang harus dilakukan, kataku masuk ke pintu ditengah suara anak-anak muda bermesraan di gang belakang. This is going to be a long night.

'Ring! Ring!' Oh. Alarmku berbunyi. Aku duduk di tepi ranjang untuk mematikannya. Aku melihat cerminan wajahku di kaca jam weker. Fucking hell, my eyebags are so black. Aku tidak bisa tidur. Siapapun pasti tidak bisa tidur di ranjang yang kotor, digigit anjing dan kapuknya hilang seperti ini.

Aku menaruh jam weker dan meletakannya kembali. Di sebelahnya ada sebuah tiket konser untuk acara Francis Dean. It's located uptown, at the Mount Clarity, all the way uphill from here. I guess the riches never have to worry about being nauseous down here.

Hm. Konser dimulai jam 9. Sekarang sudah jam 7 pagi. Aku harus segera menyiapkan diri, karena perjalanannya sendiri saja menempuh waktu puluhan menit, pikirku sambil mengambil handuk yang tergantung lemas di lemari.

Sepertinya segala sesuatu yang ada di sini berada dalam kondisi yang menyedihkan.

Aku melihat ada sebuah foto keluarga yang terselip di sela-sela laci paling bawah di lemari.

Aku membuka lemari lebar-lebar. "Whoa! What the fuck?!" Aku berteriak keras-keras. Ada banyak – luar biasa banyak – foto anak perempuan kecil berponi panjang yang wajahnya dilingkari dengan spidol merah. Beberapa di antaranya terdapat banyak kerut bekas dikepal di bagian wajah. Foto ini banyak sekali. Hampir dari ujung atas ke bawah. Lalu aku melihat hanya ada satu foto keluarga di lemari ini.

Yaitu foto keluarga yang tadi. Aku memegangnya. Ada seorang ibu, ayah dan dua anak. Salah satu anaknya adalah anak perempuan yang dilingkari wajahnya. Hmm. Apakah anak ini target? Tidak mungkin. Karena penyusunan foto ini berantakan dan sama sekali tidak memuat info penting tentang anak perempuan ini. Pedofil? Sepertinya begitu. Ya. Itu kemungkinan yang paling besar. Aku melihat dalam-dalam lagi semua foto yang dipajang di sekujur lemari. Beberapa di antaranya adalah fotonya menenteng piala.

Aku mendekat dan melihatnya lebih dalam. Hmm. 1st Place – Jazz Competition National. North Suisse Jazz Saxophone Clean-Up Winner. Tunggu dulu. Jangan-jangan...

Jam wekerku berbunyi lagi. Rupanya aku lupa mematikannya. Ternyata sudah jam 8. Lupakan mandi. Aku harus segera pergi ke Mount Clarity sekarang.

Aku menutup lemari dan menguncinya rapat-rapat, menaruh kuncinya dalam di kantongku. Rumah siapa ini sebenarnya? Kenapa aku tinggal di sini? Begitu banyak pertanyaan, tapi aku harus pergi.

Aku mengambil jaketku dan menyelipkan sebuah revolver ke bagian busa di sepatu botku. Oke. Mari kita pergi dan mencari celah Francis Dean. Aku ingin tahu lebih banyak lagi tentang orang ini.

"Thank you, sir." Kataku memberikan selembar uang 10 dollar kepada supir cab. Fyuh. Perjalanan ke sini sungguh sangat sulit, melalui berbagai jalanan yang rusak. God, I misses Ruby Avenue. Well, I guess we don't really appreciate things until it gets lost. In this case, a nice and smooth road.

Oke, mari kita cari Francis Dean, kataku lirih sambil melangkah menuju pintu depan. Ada seorang bouncer. Aku mengantri di barisan orang-orang – sepertinya aristokrat – yang mengantri dengan jas-jas mewah mereka, selagi antrian paling depan digeledah badannya. Hm. Sepertinya mereka tidak mengecek sepatu bot. Untunglah.

Aku mengantri di belakang dengan sabar, sembari melihat keadaan sekitar. Dibanding seorang politisi, seorang musisi jazz tentu saja tidak mempunyai sebegitu banyak pelindung badan. Namun, tetap saja Mr. Church menyuruhku untuk berhati-hati dengan orang ini.

Oke. Sekarang tinggal giliranku untuk digeledah. "Ticket, sir." Say what now? Aku tertegun dan terdiam. "I left it at my house, my good sir. My name should be on the list." Kataku mengarang sesuatu. Bouncer memberiku pandangan tajam. "Please step away then, sir." Katanya dengan nada dalam. Fucking hell. If there is no one here, I could have shot your bloody brain and made my way in. Tunggu sebentar.

Memang tidak ada orang di jalanan. Lengang sekali. Maybe I really do have to put this lad down to sleep.

"Then I guess I have to go home?" kataku kepada bouncer itu. "You're damn right it is, son." What the fuck? He's an American. And that accent is pure trash. Adding that to the list of already long reasons about how I should have bloody killed you.

Aku menyeberang jalan dan melihat ada banyak sekali toko yang tutup. Hm. Semuanya pasti terkunci. Namun di seberang convenience store ada sebuah gang kecil, tertutup oleh tempat sampah besar.

Aku menuju ke gang itu dan masuk. Benar saja. Ada tangga fire escape dari apartemen sebelahnya. Aku mengambil silencer dari jaketku dan memasangnya ke revolver. 'Tick!' bunyi peredam, mengeluarkan asap dengan cepat. Peluruku menembus salah satu rivet di railing tangga, membuatnya terpelanting turun.

Aku mengambil railing itu sebelum jatuh ke tanah, lalu memanjatnya pelan-pelan. "Hoop!" aku menaruh tangan kananku di selasar lantai fire escape. Lalu tangan kiriku. Lalu beranjak naik. Aku menaruh revolverku di saku jaket.

Aku berdiri pelan-pelan. Now, I just need to get to the top of this goddamned apartment. Semua hal di sini sudah rusak dan berkarat. Prodeo Street memang benar-benar kumpulan sampah masyarakat yang dijadikan satu. Aku memegang revolver ku dengan posisi siaga.

Setelah beberapa lantai, aku sampai di rooftop. Aku memegang revolver di depan dada dan mengecek semua sisi. Semua aman. Aku berjongkok menuju salah satu sisi di ujung rooftop.

Aku memosisikan revolver di depan mataku. Mari kita lihat kemampuan tembakanku. That American bastard is standing twenty, thirty meters below. Like every shot on an aware target, I only got one shot on this. Aku menambil napas panjang, lalu menahan napasku.

The bouncer tilted his head. He looked on his right. Wait. Fuck! That's Mr. Dean right there! He's leaving already? Is he taking a fucking piss on me eyes? Aku mengeluarkan napasku dan berputar membelakangi sisiku menembak. Aku mengecek jam. Hm. Jam 12 malam.

He's going for something. After all, who left their time at the club so early? 12 at night? That bastard probably's off going to do something, I bet. Aku berada dalam sebuah dilema. Apakah aku harus mengecek klub itu? Atau mengikuti Francis Dean? Think, William. Think.

Mungkin aku harus pergi ke dalam. Toh, tidak ada cab di sekitar sini. Tidak mungkin aku bisa mengejarnya. Okay, because I'm not exactly rushing, it might never hurt to do a little recon.

Aku beranjak turun melewati fire escape lalu masuk ke dalam melalui jendela. Aku melihat semua kamar sambil menaiki tangga di dalam pelan-pelan.

Sesampainya di lantai ketiga, aku menemukan apa yang aku cari. Sebuah kamar tanpa satupun sandal atau sepatu di luarnya. Pasti kosong. Aku menekan revolver ke lubang kunci lalu menembaknya. 'Clank!' bunyi batang besi pintu terbanting ke lantai dalam. Aku membuka pintunya dan menutupnya kembali dengan mengganjal kursi.

Aku akan aman setidaknya sampai besok pagi. Aku harus mengecek setiap beberapa menit jika saja Mr. Dean kembali. Aku merogoh kantongku dan mengambil sebungkus rokok. Aku mengambil satu batang dan mengarahkannya dekat dengan pemantik api.

Ada orang di belakangku. Aku mendekatkan pemantik api ke mulutku yang sudah menggigit rokok, sembari mengambil revolver di balik saku jaket.

Aku langsung membanting badan ke depan sembari memutar seluruh badanku. Revolver yang mengarah tajam ke jantung langsung kupelatuk. 'Bang!' Tepat di jantung. Orang itu tersungkur ke tanah.

"Who is it up there?!" Fuck. I blew my cover. Aku menembak penguntit tadi di kepala. 'Bang! Bang!' Okay. Time to get out of here. Aku mengambil pistolnya dan meninggalkan mayatnya bergelimang darah. Aku harus pergi cepat – mereka sudah tahu keberadaanku.

Aku masuk ke dalam apartemen dan melihat banyak bayangan menuju ke atas. Fucking hell, guys. Aku langsung memasuki satu ruangan yang tidak dikunci.

Aku menutup pelan pintunya dan melangkah menuju jendela. Jika saja aku membawa granat dan memasangnya di pintu itu – those wankers would not stand a chance. Pikirku geram karena tidak membawa banyak peralatan.

Apakah Mr. Dean tahu tentang pembunuh bayaran mengejarnya? Atau aku masih punya jeda waktu yang tepat untuk membunuhnya? Pikirku melihat ke bawah. Four or five stories high, and only a dumpster down below. Nope. This is not Hollywood, William. Fucking wake up.

"Where that wanker gone?!" Wah. Percakapan di belakang sudah mulai panas. Aku mengambil ancang-ancang. "There he is!" 'Swish!' Bunyi salju yang terserak ke belakang karena lompatanku mengaburkan pandangan mereka – sebentar.

Aku mengudara cukup lama. Bak sampah itu semakin dekat menuju badanku. 'Clank! ' "Fuck!" kataku menyumpah saat batang hidungku menerjang mulut bak sampah. Untungnya pendaratan ini nyaris sempurna – selain retaknya hidungku, tentu saja.

"He jumped!" kata para teman penguntit itu di atas. Aku yang terhuyung keluar dari bak sampah dan berlari ke belakangnya. Terdengar bunyi railing yang bergetar keras.

Aku menoleh. What the fucking fuck. Para bedebah ini memutuskan untuk melompat juga? Ternyata mereka lebih bodoh dari yang aku bayangkan.

Beberapa dari mereka melompat, membuat lebih banyak salju turun dari lantai atas. Aku memegang bak sampah dan mendorongnya sekuat tenaga.

Aku berdiri. Dan langsung memberondong mereka dengan revolver, sebelum mereka sempat mengambil senjata mereka. 'Bang!' 'Bang!' 'Bang!' 'Bang! Bang! Bang!' Six bullets. Aku berlari menjauhi mereka dan mencekoki amunisi di revolver.

Apakah mereka mati? Atau tidak? Hanya Tuhan yang tahu. Aku berlari sekuat tenaga menuju bouncer tadi. Semua penyamaranku terbongkar. Here goes nothing.

'Whoosh!' Sebuah kepalan tangan melayang ke kepalaku. Aku refleks mengangkat kedua tanganku. Bouncer tadi.

"You ain't no ordinary citizen, ain't ya momma boy?" Ugh God. This cowboy hilbilly is so fucking irritating. Dia memasang kuda-kuda bertinju.

Aku mengambil revolverku, berusaha menyelesaikan ini secepat mungkin. Tapi tinjunya melayang lagi, membuatku menekan pelatuk. 'Bang!' bunyi revolver. Namun moncongnya terangkat ke udara karena hadangan monyet Amerika ini.

"You're good." Katanya tersenyum. Well, thanks. I was thinking—'Pow!' Dia memukulku sampai aku terangkat ke udara. 'Shrump!' salju yang berserakan di tanah meredam suaraku yang terjerembab di tanah. Untungnya aku masih memegang revolver.

'Bam!' si Amerika sialan ini meninjuku lagi di muka. My revolver got thrown away. Shite. The only thing I can do now is old-school brawl. "Show me what you got, cowboy!" kataku mengepalkan kedua tinjuku.

'Crack! Crack!' this cowboy acting all hard, cracking his muscle. Lalu dia maju perlahan, dengan kakinya yang berat...

'Bang!' suara mesiu berat terdengar di udara. Tiba-tiba koboi ini tersungkur di tanah dengan sebuah lubang di kepalanya. Hmm. Pasti peluru kaliber berat. Hanya ada satu orang yang aku tahu punya koneksi untuk senjata seberat ini. Fucking Christ.

Sesosok pria botak di rooftop memberikanku jempolnya. Aku membalasnya dengan jari tengah. Okay. Karena bedebah Amerika ini, jendelaku untuk menghabisi Mr. Dean sudah habis. Harapanku hanyalah mencari sebuah celah di klub itu. Aku menoleh. Nama klubnya; The Black Stallion. Ew. Guess I had no choice.

Aku masuk. Dan aku tidak akan keluar sebagai orang yang sama sebagaimana aku masuk.

Aku menembak gembok pintu. 'Bam!' gembok itu pecah dan langsung jatuh terserak ke lantai bersama dengan rantai yang mengelilinginya. Aku memegang gagang pintu yang besar ini. "Urgh! Bloody hell!" kataku menyumpah sambil mendorong masuk pintu klub yang berat ini.

Ruangan yang gelap. Bola disko masih berputar dan menyinari beberapa tempat di sini. Semua orang sudah pergi sepertinya. Sepi sekali. Hanya berserakan bekas muntahan, gelas-gelas yang pecah dan tisu-tisu kotor. Bahkan Meja DJ pun kosong. Di tengah ada panel untuk berjoget ria. Lampu lantai yang bewarna-warni masih juga menyala.

Kenapa sepertinya semua orang pergi terburu-buru dari sini?

Aku mengubah posisiku, dan menggenggam erat-erat revolver di depan dada. Aku benar-benar tidak memahami kondisi klub ini. Sepertinya aku harus menuju lantai dua, pikirku sambil melangkahkan kakiku menuju tangga di ujung sana.

Hm. Di sini juga hanya ada tanda-tanda orang sehabis mabuk berat. Tapi kenapa tidak ada seorangpun di sini? Janitor pun tidak ada. Ada sesuatu yang tidak beres di sini, aku yakin. Aku semakin berhati-hati dalam langkahku.

Di kanan hanya ada meja-meja VIP, lengkap dengan whisky dan minuman lainnya yang tinggal separuh. Aku menyentuh sofa. Masih hangat dan bau rokok. People urgently left. But there is no way they would have heard my gunshots.

Someone told them I was coming.

Ada pintu di ujung sana. Aku harus lekas ke sana untuk mencari petunjuk semua ketidakjelasan ini, kataku sambil berlari kecil. Keringat dingin menetes di hidungku. Aku tahu pasti, ini adalah sebuah jebakan. Aku yakin sekali. Aku harus sesegera mungkin menemukan celah keluar.

'Creak... ' bunyi pelan pintu besi ini terayun ke samping, menyisakan tangga turun yang gelap. Aku masuk sambil menyalakan senter dari handphoneku. Hm. Hanya ada lorong lurus ke depan. Di depan ada pintu berwarna hitam. Aku melangkah perlahan, semakin bingung dengan semua ini.

Aku membuka pintunya. Ada banyak gambar perempuan kecil yang ada di apartemenku! Apa maksud semua ini?! Siapa yang melakukan semua ini? Seraya aku melihat lebih dekat, moncong pistol teracung menyentuh kepala belakangku.

Christ? No. It's bloody Francis Dean.

"What do you want, Mr. Dean?" kataku mengangkat tangan pelan-pelan.

"Why are you following me?" kata Mr. Dean mengambil revolver dari tanganku.

"Why do you care?" kataku pelan.

"I do not. I am the one asking questions here." Katanya dengan nada semakin tinggi. "William, am I right?" katanya lagi.

"Not even close." Kataku mencari celah. Aku mendongakkan kepalaku ke atas, melihat betapa banyaknya foto ini dipajang. Jesus Christ. This room is disgusting.

"You know why I can smell you, William?" katanya tenang. "I do my homework. I know that you are here for my career. My dreams. You are going to rob me blindly for it." Katany setengah berbisik.

���To be honest, Mister Dean. I do not bloody care about it. Sorry for being blunt." Kataku semakin emosional melihat tingkah laku bedebah ini. Aku harus mencari celah. Tapi bagaimana? Ruangan ini tertutup. Hanya bekisar dua kali tiga meter. Lebih sempit, bahkan. Keempat sisinya adalah tembok. Revolverku terserak di bawah kakiku. Dan orang ini membawa pistol. Aku pasti akan mati dalam hitungan detik.

"Do not apologize for your low life, William." Ugh. He is a complete asshole. "I killed my competitors. I killed my own family who disobeys me. So what if I kill a girl to ensure my career?" Wait, what?

"Yes, I raped her. I watched her scream every night. And when her tummy turned big and her hole turned red..." Please stop. Please fucking stop, you bastard. You bastard. You fucking bastard.

"I put a hole through her head." And I fucking snapped.

I hear a buzz through my head. I turned around and punch him right at the throat. I remember my mother smiling to me before they took her away. Everything seems blurry. I punch. And punch. And punch. I grab his pistol and put a bullet through his head like what he has done. And I pull the trigger again. And again. And again. I cannot stop. Blood is gushing everywhere and his face is full of holes. Pistol's empty. I bang the pistol to his head a couple of times. His skull broke. His jaw broke. His teeth fall apart. His face beaten to a pulp. The buzz in my head become louder. Louder. Louder. I scream out. I cannot contain myself. I punch him right in his already mauled face. Again and again. Then everything went black. I take one deep breath. My mother smiled again at me. Then her head gets shot. Her hollowed hole gushing blood at my face.

The memory I want the most to forget, they come again.