Aku pun jadi lesu. Anakmu ini bukan tidak ingin pacaran Bu, justru aku bingung … siapa yang mau denganku. Keluargaku memang bukan keluarga yang melarang anaknya pacaran, kakakku saja gonta ganti terus. Tapi bukan berarti ayah dan ibu setuju juga, habisnya kalau kakakku sulit diatur dan dia juga tentunya lebih cantik dariku. Makanya gonta ganti pacar juga karena banyak lelaki yang mau dengannya. Ayu sering bilang, katanya kalau aku diet … aku akan lebih cantik dari kakakku.
Kami seperti langit dan bumi, sangat jauh berbeda. Kemiripan hanya dari senyum dan bibir saja, selebihnya? Ya … kakak akulah yang juara, akumah apa? Hanya butiran debu yang terhirup ke paru-paru dan bersemayam di situ. Jadinya asma deh, menjadi penyakit saja. Eh … nggak gitu jugalah. Pokoknya aku selalu minder kalau orang sering bling enggak nyangka kalau aku adiknya kak Salwa, separah itukah wajahku?
Kakakku adalah satu-satunya anak yang apa-apa selalu dituruti ibu karena kalau enggak dia pasti merajuk dan mogok makan. Tapi, bukan tanpa sebab ibu memperlakukannya berbeda. Katanya, dulu kak Salwa sering sakit-sakitan ... dan bahkan hampir meninggal hingga entah bagaimana kak Salwa jadi sehat setelah berobat ke sana ke mari. Jadinya, kak Salwa juga dimanja sampai sekarang.
Terkadang juga kalau apa-apa justru aku yang mengalah, sedang dia boro-boro ngalah pokoknya apa-apa dia harus diistimewakan dan paling dimuiakan. Di keluarga, mungkin hanya aku saja yang apa-apa mandiri, mandi sendiri, beli barang keinginan dengan duit sendiri, tanpa rengek sana rengek sini. Sesudah kak Salwa, yang suka manja ada adikku—Nazwa. Orang kedua yang apa-apa tuh harus banget dibeliin.
Nazwa dari sekolah dasar udah ngerengek minta dibeliin motor, ngelunjakkan dia? Aku saja sudah segede gini belum dikasih motor. Tapi kalau Nazwa masih mending, dia tidak separah kak Salwa. Dan jangan lupakan saudara lelaki di keluargaku, ada kakak pertamaku. Namanya Lutfi. Dia sudah menikah dan tinggal bersama istrinya, kalau aku sedih atau butuh apa-apa –aku lebih sering ngadu ke kak Lutfi. Istrinya kak Aminah pun baik, jadi aku juga enggak segan kalau sengaja nelpon kak Lutfi hanya sekadar minta uang jajan. Mungkin di antara yang lainnya hanya aku saja yang manja padanya.
Aku dan ibu masih tertawa, hingga tiba-tiba terdengar suara Ayu memanggil-manggil namaku.
“Mita, Mita, kamu di mana?!”
Aku dan ibu saling menoleh. “Iya Yu, aku lagi di dapur sama Ibu.”
Aku pun segera berjalan ke luar dari dapur, dan saat ingin menuju ke ruang tengah, Ayu sudah ada di hadapanku. Tas gendongnya sudah dikaitkan ke bahu tangan kanannya –hanya sebelah saja, dengan wajah yang terlihat sudah menangis, Ayu menggosok matanya sendiri. Mungkin dia masih ngantuk.
“Aku pulang ya,” kata Ayu berbarengan dengan suara azan terdengar.
“Enggak mau salat dulu di sini?” tanyaku.
Ibu pun datang dari arah dapur, berdiri di sampingku. “Eh Ayu, nyenyak tidurnya?” tanya ibu dan yang ditanya pun tersenyum, “kita makan bareng aja, yuk!” Ibu tampak ramah seperti biasa pada temanku yang terkadang lucu kalau terlihat bego seperti sekarang.
“Aduh Tante makasih, tapi lain kali aja ya. Sekarang udah sore, Mama Ayu nanti marah kalau pulang hampir magrib, hehe.” Ayu beralasan. Memang benar sih, dia kalau main dibatas sama seperti aku. Tapi sebenarnya Mamanya Ayu enggak marah kok, orang sudah tahu Ayu berkunjung ke rumahku, toh kita sudah pada saling kenal juga. Mungkin Ayu memang lagi enggak mood, maklum kan jatuh cinta berjuta rasanya makanya putus pun sakit sekali rasanya. Ayu lagi butuh menyendiri agar sakit hatinya pulih.
“Ya udah, hati-hati di jalan ya. Bawa motor?” tanya Ibu.
“Iya, Tan. Ayu pamit pulang ya.” Ayu kemudian meraih tangan ibuku, ia menyalaminya.
Kemudian, dia meraih tanganku yang juga disalami olehnya. Aku pun tertawa kecil, Ayu sudah oleng deh kayaknya. Dia seketika pun mengernyitkan dahi, baru sadar dan langsung menepuk bahuku. “Ih, Mita kamu ya!”
Aku dan Ibu pun tertawa. “Eh, kok aku? Kamu yang raih tanganku Yu.”
Ayu cemberut, bibirnya menyamping dan matanya juling. “Enak aja mau disalamin juga, harusnya kamu yang salam ke aku.” Ayu pun memaksa, meraih tanganku dan digerakkannya biar menyentuh dahiku.
“Udah pulang sana! Kamu aku usir dari kerajaan ini.” Aku bercanda pada Ayu. Dia semakin terlihat lucu kalau kubercandain seperti itu. Bibir tipisnya tampak semakin tipis karena ekspresi konyol yang dia perlihatkan.
“Ya udah, aku akan kabur dari kerajaan ini dan bikin kerajaan baru. Assalamu’alaikum.” Ayu pun ke luar, aku dan ibu juga menggiringnya. Dia memakai helm dan menaiki motor maticnya. Dinyalakannya motor dan kemudian pergi.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku dengan ibu serempak.
“Hubungan juga harus baru ya.” Aku meneriaki Ayu sambil tertawa.
“Berisik!” balas Ayu teriak tak ingin kalah.
Ibu mencolek bahuku. “Eh, enggak boleh gituh, Mit.
“Hhehe, maaf.”
Ibu pun kemudian masuk ke dalam, aku masih tersenyum karenanya. Senang sekali menggoda Ayu, tapi aku juga malu karena ditegur sama ibu.
***
Malam hari, selalu menjadi moment bagiku untuk ikut larut dengan keheningan.
Rumahku yang tidak terlalu besar, berisi empat kamar, dua di bawah dan dua di atas adalah tempat paling nyaman untukku. Kamarku yang satu tembok dengan kak Salwa, adalah salah satu sudut yang paling bisa membuatku jadi diriku sendiri. Kamar, adalah tempat di mana kita bisa melakukan apa saja. Joget-joget misalnya, walaupun di hadapan orang lain aku tidak suka melakukannya, nyanyi sekeras mungkin sampai kak Salwa datang dan melempar guling ke kepalaku, haha. Ngupil, kentut juga sering sekali tersaksi di sini.
Ah, kamar memang saksi bisu segudang privasiku. Tak lupa, selalu kutuliskan perasaan, kejadian yang sudah terjadi di setiap hariku di atas kertas binder, buku Diary. Mungkin sudah jarang orang yang menulis diary, tapi aku termasuk salah satu orang yang masih memegang kebudayaan literasi diri ini. Hmmm, setidaknya aku bisa mencurahkan semua hal yang tidak bisa kuceritakan pada orang luar.
Termasuk Ayu dan Reni, sahabatku sendiri. Aku lebih nyaman menjadi pendengar mereka ketimbang harus membuih bercerita pada mereka. Menjadi pendengar yang baik, sudah membuat hatiku damai bisa menjadi tempat curahan sahabat-sahabat terbaikku. Bukan hanya mereka, kadang ya … teman-teman yang lain, sesekali. Semisal Sekar dan Lilis.
Kutulis:
“Mengingat kebodohanku waktu itu, hari ini rasanya aku bersyukur. Alloh Maha Baik. Dia tidak mengizinkan perasaanku tercabik-cabik. Siapa yang tahu kan? Kalau Alloh dekatkan aku dengan dia, mungkin bisa jadi aku bernasib sama dengan temanku.” Hari selasa, 28 september 2021.
Kurebahkan badanku, menatap langit-langit kemudian kuraih handphone yang tergeletak di samping badan. Diangkatnya ke atas, dan segera kugerakkan layarnya, discroll, kucari aplikasi Instagram. Kali ini aku tidak ingin membuat kata-kata di ig story. Hanya ingin membuka akun saja, tapi … aku terkaget saat ada tanda DM masuk. Dari siapa? Karena memang aku sangat jarang sekali menerima pesan dari seseorang lewat Instagram.