Ayu, aku tahu apa yang kamu rasakan. Meskipun aku belum pernah pacaran dan hanya menjadi penikmat cerita novel kesedihan. Aku tahu ini pasti sakit. Tapi apa yang aku rasakan hanya sebatas iba, tanpa pernah merasa dan semoga saja jangan pernah. Pastinya rasanya akan lebih sakit daripada mendapatkan penolakkan.
Seperti berangkat naik pesawat dan di tengah jalan kamu kecelakaan, sampai tidak … banyak tangisan iya. Namun, yang pastinya akan banyak hikmah setelahnya. Aku yakin.
Saat putus cinta karena diselingkuhi, pikiran kita memang semrawut ke mana-mana. Kenangan seperti film yang diputar tanpa jeda iklan, DUG DUG DUG DUG! Talu-taluan bunyi di dada seakan berbunyi keras bersamaan seperti ada yang meremas begitu kencang. Usus di perut terasa terlilit, leher tercekik dan mata berubah menjadi air terjun yang ketinggiannya begitu curam. Sang air memburu batu di bawahnya terus-terusan sampai meninggalkan bekas terpaan. Berharap hari ini tidak pernah terjadi, dan waktu bisa diputar kembali.
Menangislah! Ini pelajaran, ini peringatan, dan ini akan menjadi pengalaman agar nantinya ketika kamu berjalan lagi –si kisah ini akan menjadi Warning tersendiri.
***
Ayu terus menelungkup wajahnya dengan bantal, menangis sepuasnya. Tapi, suara Ayu tidak akan terdengar ke luar kamar karena bantal meredam suara itu timbul. Kuharap, Ayu tidak sesak napas dan mati konyol karena putus cinta.
Aku tidak bisa banyak berkata-kata, menasehati percuma, mendengarkan semua keluhnya juga sudah. Sekarang, aku biarkan saja Ayu mengerang dengan kesakitannya dan aku lebih tertarik dengan media sosial—Instagram untuk mencairkan suasana.
Membuka akunku yang tidak tampak postingan wajah karena aku tak berani memampangnya. Untuk apa? Di dunia nyata saja, orang-orang sudah tak tertarik melirik, apalagi di dunia maya –-tempat berkuasanya para Netizen yang banyak menjadi Haters. Aku lebih suka memotret alam, kaki yang tengah santai, makanan atau minuman yang sengaja dipotret dulu sebelum dinikmati, dan hal-hal lain yang membuat orang lain yang tidak mengenaliku nantinya bisa jadi penasaran siapa si pemilik akun yang seperti mati ini. Tapi bukan itu sih niatnya, karena memang aku enggak bisa nge-ekspos diri saja.
“Hubungan kandas, itu takdir bukan? Tapi untuk bangkit setelah kecewa itu pilihan, dan untuk membuka hati setelahnya tanpa alasan TRAUMA, itu tantangan!” ketikku dengan tambahan foto yang belum kuumbar –-foto dua pasang kaki anak sekolahan, foto kakiku dan kaki Ayu tapi tidak ku-tag orangnya dan kemudian langsung kubagikan ke IG Story.
Terdengar suara tangisan Ayu mulai mereda, tapi tidak buru-buru kulihat dia –-justru aku langsung mengecek siapa yang sudah melihat story-ku, dan ternyata seperti biasa. Si akun yang enggak jelas bernama ‘Dinosaurus’ adalah akun yang selalu menjadi sosok pertama yang melihat. Entahlah. Entah dia hanya kepo atau dia adalah mata-mata, tapi sepenting apa aku di lingkunganku sampai ada orang yang bersembunyi untuk mengawasiku? Selalu kutepis pikiran geer itu.
Aku bukanlah Tokoh Utama Cerita, aku hanyalah peran pembantu yang menjadi tambahakn skenario Alloh saja. Tak lebih, dan banyak kurangnya. Eh, astagfirullah ... aku tidak bermaksud kufur nikmat, hanya saja memang harus kuakui aku menganggap diriku tidak istimewa dan tidak lebih dari yang sedang-sedang saja. Tidak selalu aku bisa menerima diri ini, aku manusia biasa yang memang seringkali bertanya ‘mengapa?’.
Ya Alloh, saat aku menoleh pada Ayu. Ternyata dia ….
“Ampun ni anak, kayak bocah aja udah nangis langsung tidur. Mangap lagi, Ayu … Ayu. Rumahku memang sudah sangat nyaman sepertinya untuk jadi tempat pelampiasan gundahnya.” Lantas, kulepas bantal dari dekapannya dan menyelimuti kaki Ayu dengan selimut. Dia masih mengenakan baju seragam, tapi aku sudah mengganti baju seragamku lebih dulu.
Dengan tidak terus memikirkan siapa si Dinosaurus itu, aku lebih memilih pergi ke luar kamar untuk membantu ibu yang sedang masak dan menaruh handphone-ku. Sekarang udah jam setengah tiga, mungkin ibu sudah menyalakan rice cooker-nya.
Saat aku ke dapur, ibu tampak melongo melihatku.
“Si Ayu udah pulang?” tanya Ibu sembari tangannya sibuk ke sana ke mari.
Aku menggeleng. “Belum Bu. Ayu tidur,” balasku tidak menyertakan kenapa Ayu sampai bisa tertidur di kamarku, “ada yang belum beres? Sini Mita bantu!” tawarku sembari tengok sana tengok sini. Tapi tampaknya semua sudah kelar, cucian piring pun kosong melompong.
“Kamu juga tidur siang lagi sana! Udah beres kok.” Ibu sibuk dengan aktifitasnya hingga dia lupa jam berapa sekarang.
“Bentar lagi asar, Bu. Tidur sore dong? Bukannya Ibu suka marah ya kalau Mita tidur sore?” Wajahku kupasang seperti lengkungan tanda tanya. Bulat di atas dan titiknya itu adalah bibirku yang bengong.
Ibu menepuk jidatnya sendiri. “Aduh iya, ibu lupa. Maklum udah tua, jadi pikunan.”
“Hmmm.” Aku berdeham sambil melangkahkan kaki mengambil segelas air minum.
Ibu pun kembali bertanya, “si Ayu kenapa enggak langsung pulang? Ada kerja kelompok?”
Aku masih meneguk air yang baru saja sampai ke tenggorokan. Setelah sampai ke perut, baru kulanjut untuk menjawab pertanyaan ibu.
“Enggak Bu, Ayu lagi putus cinta,” jawabku dengan mudah. Sudah biasa lagi menceritakan masalah si Ayu ke ibu. Si ayu juga tidak keberatan dengan itu karena dia pun juga selalu membicarakanku pada orang tuanya.
“Sama si Iky anak pak Engkos?” tanya Ibu tampak syok.
Aku pun mengangguk. “Heem Bu, aku juga enggak percaya kalau si Iky selingkuh.”
Ibu membereskan perabot dapur karena masaknya sudah selesai, kulangkahkan kaki untuk mengambil nugget yang sudah digoreng ibu. Ibu kemudian dengan cepat memukul tanganku, tapi aku berhasil mengambil nugget sambil terkekeh melihat tatapan tajamnya.
“Satu kok Bu,” ucapku tanpa rasa bersalah, ibu memang tidak suka kalau aku maen comot seperti itu. Katanya tidak ada sopan santunnya. Entahlah, menurut kalian gimana?
“Kebiasaan, belum cuci tangan belum apa maen comat comot aja. Kalau ambil makanan yang disatu piring untuk bersama pakai pake sendok ngambilnya, sebagian orang jijik lihatnya. Kayak yang enggak dididik aja.” Ibu kembali menceramahi.
Tapi aku acuh dan mengunyah nugget yang dibeli di toko swalayan langganan ibu.
Karena aku sibuk mengunyah, ibu pun kembali bertanya. “Tapi itu serius Mit? Sama siapa? Kok bisa-bisanya ya si Iky gituin si Ayu padahal … si Ayu manis, pinter lagi, anak orang kaya juga. Kalau ayahnya—pak Engkos dulu tipe orang yang setia loh.” Ibu terdengar memuji mantannya itu.
“Hem, hem.” Aku berdeham, karena tiba-tiba tenggorokkanku tampaknya begitu serak setelah ibu memuji kesetiaan pak Engkos. “Puji terus,” ledekku pada ibu. Ibu memang terkadang selalu memuji pak Engkos juga di hadapan ayah kalau mereka sedang bercanda, tapi kalau ibu dan ayah sedang serius mana mungkin ibu berani menguntit mantannya. Bisa-bisa perang ketiga mengancam rumah tangga.
Tapi, yang lucu dari kisah ibu dan pak Engkos adalah karena katanya kalah cepat dari ayah. Kata Ibu, dulu pak Engkos udah bilang mau ngelamar ibu tapi seminggu sebelum jatuh tempo di tanggal yang sudah disepakati mereka, ayahku—pak Mimid lebih dulu melamar ibu. Kalau perempuan zaman dulu katanya lebih baik milih yang pasti dan juga karena ayahku terkenal baik jadinya ibu pun mau.
Tapi, hal yang membuatku takjub adalah ayahku dan pak Engkos itu akrab loh sampai sekarang. Kata ibu juga, kalau zaman dulu beda dengan zaman sekarang. Kalau dulu ya udah gituh enggak diambil pusing, sakit hati ya … pastilah orang hati manusia pasti gampang baperan, enggak peduli dengan zaman yang sudah berubah seekstrim apa pun. Karena manusia memang akan selalu menjadi makhluk emosional yang apa-apa suka dikaitkan dengan hati, dendam juga karena hati merasa tersakiti kan?
“Ibu berkata jujur Mit, tapi ya mungkin zaman kamu sama zaman ibu berbeda. Makanya, Rizky juga beda. Eh, iya siapa selingkuhan si Iky? Ibu nanya nggak dijawab.”
“Lagian kalau ibu tanya juga ibu enggak bakal tahu Bu.”
“Ya, setidaknya tahu nama dan karakternyalah.” Ibu tersenyum.
Aku pun jadi tersenyum karena ucapannya barusan, ibu-ibu memang lebih kepo ternyata makanya banyak ibu-ibu disebut ibu-ibu rempong karena kalau dengar gossip pastinya suka menyundul terdepan. Grusak-grusuk dan lebih mudah nyebar deh jadinya.
“Cantik Bu, makanya Rizky kepincut juga, terkenal lagi orangnya. Dia anak OSIS, beda sama aku dan Ayu yang enggak ikut organisasi. Tahu ah, laki-laki mungkin emang semuanya playboy.” Aku kemudian meminum setengah gelas air sisa tadi.
“Eh, enggak semua kok Mit. Terkadang takdir memilih kita untuk merasakan apa yang namanya sakit hati, biar tahu, biar belajar supaya kita nantinya bisa menjaga perasaan orang lain.”
Mmm, ibu memang jagonya kalau soal perasaan anak modern. Meskipun ibu sudah berkepala tiga dan bukan ABG di masaku.
“Mmm, iya iya,” jawabku dengan mulut masih menggantung di bibir gelas.
Ibu kemudian mendekatiku. “Terus kamu kapan?” tanyanya dengan wajah meledek hingga air yang masih di dalam mulutku muncrat ke wajah ibu.
“Innalillahi, astagfirullah, subhanallah.” Saking terkejut juga karena nggak sopan nyembur ibu sendiri jadinya aku bingung mau bilang innalillahi, astagfirullah atau subhanalloh. Untung karena aku tidak terbiasa kasar jadi yang keluar adalah kalimat-kalimat islam, hehe meskipun apa yang sudah kulakukan hingga wajah ibu basah adalah tindakan yang entahlah aku tidak tahu ini dosa atau tidak karena aku tak sengaja dan ibu juga yang buat ulahnya.
Segera kuusap wajah ibu dengan bajuku dan tanganku.
“Mita!” ibu membentak tapi setengah tertawa.
Aku pun terkekeh, tak tahan sebenarnya ingin menyemburkan gelak tawa yang menggelitik perutku. “Ibu sih, mancing-mancing kekagetanku.”
Ibu kemudian menjaga jarak denganku. “Lah, kok kaget? Awas ya kalau kamu enggak normal. Atau kamu sembunyi-sembunyi pacaran dari ibu?”
Si Mita ada-ada saja ya. Kalau kalian nyembur wajah Ibu kalian gimana akhirnya tuh? Auto langsung ditempeleng nggak? Hahaha.