Menjadi salah satu makhluk yang tidak dikenal dan tidak punya banyak teman, menurutmu gimana? Enggak asik, ya? Terasa sepi? Haaa, dunia hambar rupanya. Kita seringkali lebih nyaman dengan dunia fantasy kita sendiri. Lewat film, buku dan bahkan teman dalam mimpi yang membuat kita merasa hidup dan dihargai. Tapi ketika kita terjun ke dunia nyata, semua memandang kita asing –penuh penyudutan dan pertanyaan. Kamu siapa? Seperti itu, kan? Kita tidak penting! Mati pun, sepertinya semua orang tak peduli. Jangankan rindu, kenal saja lupa-lupa ingat … kita siapanya mereka?
***
Lah, si Mita kegeeran ya? Bukan hanya lewat Instagram doang kok, dari media sosial lain juga. Baik whatsaap yang lumrah saja tidak ada. Tidak ada yang melayangkan pesannya terkecuali beberapa orang yang memang punya kepentingan saja. Itu juga masih bisa terhitung oleh jari. Yang paling sering hanyalah si Ayu doang. Udah. Paling juga si Reni, tapi masih seringan si Ayu sih.
Kulihat sekali lagi, tidak salah lihat. Dia adalah si Dinosaurus itu. Si akun enggak jelas yang suka gercep (gerak cepat), membuka Ig Story milikku. Tumben dia nge-chat? Hari ini, untuk pertama kalinya. Ter-tanggal 28 September 2021, tepatnya di hari selasa.
“Mbak lagi galau, ya?” tanyanya so kenal.
Yeee, apaan sih tanya-tanya lagi galau atau enggak? Kutebak dia enggak punya temen dan iseng-iseng saja nge-chat. Apa jangan ditanggapi saja, ya? Lagi pula aku tidak kenal dia siapa.
Eh ya Alloh Mita, kamu enggak boleh gituh. Meskipun akunnya enggak jelas, siapa tahu dia sama seperti kamu yang memang tidak suka menampakkan diri di media sosial. Ya sudah, kubalas saja dia.
Kuketik pesan untuknya, singkat. “Enggak. Enggak ada kata galau, yang ada kata kalau … hehehe.”
What? Apa? Dia langsung membalas pesanku.
“Kalau kita jadian? Gituh maksudnya? Ehehehe,” balasnya dengan tiga emot tawa terjungkir.
Kujawab tidak pake lama juga. “Salah, yeee. Maksudku kalau aku jadi orang sukses, maka aku akan ….” Aku sengaja menggantungkan ucapanku.
Dia langsung menjawab, “akan keliling Eropa? Dan ketemu aku?”
Ish, apaan sih nih orang? Gaje banget.
Kubalas dia lagi. “Enggak ah, akum au keliling Indonesia dulu baru nanti ke Eropa. Lagi pula ke Eropa bukan ingin ketemu kamu.”
“Ya iyalah, orang aku orang Indonesia. Ngapain ketemuan di Eropa? Di alun-alun kota Bandung kan juga bisa?”
“Haha,” balasku singkat.
“Hihi,” balasnya meniru.
“Hhoho.” Kupermainkan dia dengan hal yang sama.
“Hehehehe.” Dia semakin sengaja.
Beuh! Apaan sih ini orang? Apa dia kenal aku, ya? Tapi, ahhh mungkin dia orang aneh saja yang suka jahilin akun orang lain. Aku pun tidak membalasnya lagi dan bersegera tidur. Kumatikan handphone dan menyimpannya di meja belajar. Ngantuk banget! Besok aku harus kembali menjalani rutinitasku sebagai seorang pelajar. Kok, tiba-tiba pikiranku jadi melayang ke masalah Ayu, ya? Mmmm, apa Ayu akan berangkat sekolah? Kurasa permasalahannya dengan Rizky tidak akan membuat Ayu sampai bolos atau pura-pura sakit hanya untuk menghindari Rizky, kan?
***
“Yu! Ayu? Kenapa, sih?” tanyaku padanya. Ayu sedari tadi hanya tertidur di kelas dan menyimak materi pun terlihat tidak berselera sedangkan si Rizky tampak tak punya dosa apa-apa. Dia cekikikkan seperti sengaja menunjukkan diri kalau dia baik-baik saja meskipun sudah putus dengan Ayu. Ah, dasar laki-laki! Awal saja baik, awal saja peduli, awal saja perhatian, eh ketika sudah punya yang lebih, si perempuan yang dulu katanya amat ia sayangi dibuang saja tanpa pernah dihiraukan bagaimana keadaannya. Ini lagi si Ayu, kok lemah banget sih? Dia enggak boleh nunjukkin kegalauannya, yang ada si Rizky tambah sombong lagi.
“Ah, aku lagi enggak mood ah. Jangan ganggu!” jawab Ayu terdengar parau. Aku tahu, mungkin semalaman Ayu menangis karena memikirkan hubungannya bersama Rizky yang sudah kandas. Padahal, Ayu selalu mengkhayal kalau suatu saat dirinya dan Rizky bisa menikah dan punya anak, hidup bahagia. Sesederhana itu harapan Ayu terhadap hubungannya bersama Rizky. Si Rizky dulu juga sering membicarakan perihal kehidupan rumah tangga bersama Ayu. Ingin inilah, ingin itulah, akan inilah, akan itulah. Ah berbelit, yang ternyata hanya modus si Rizky doang agar Ayu percaya kalau dia serius padanya. Sebenarnya ingin sekali tangan ini memukul si Rizky dengan keras sampai wajahnya penyok. Beran-beraninya si Rizky udah sakitin sahabatku.
Tapi, apalah daya. Aku juga tidak ingin mengambil resiko nantinya. Bagaimanapun, Rizky laki-laki dan aku perempuan. Kita berbeda. Sekali tonjok, mungkin nyawaku akan melayang olehnya. Tapi kalau aku yang nonjok Rizky, mungkin tanganku yang keram dan bisa jadi patah. Lagi pula, tidak ada gunanya. Ayu dan Rizky lebih baik putus. Untuk apa mertahanin hubungan dengan lelaki yang sudah berselingkuh? Dipikir dia bakal insaf, gituh? Kurasa enggak.
Sekar dan Lilis sudah tidak sabaran ingin pergi ke kantin. Tapi aku masih enggan untuk meninggalkan Ayu sendirian di kelas. Bukan sendirian sih, ada beberapa orang yang stand by di kelas. Tapi kan sehari-hari si Ayu hanya bersamaku, Sekar dan Lilis saja. Dengan yang lain hanya say Hallo doang.
“Yu, aku pergi ke kantin dulu ya! Kamu mau titip apa?” tanyaku lembut. Ayu harus dilembutin agar suasana hatinya juga tidak semakin buruk.
“Enggak mau apa pun. Mau tidur aja!” jawabnya sembari menggeram.
Sekar dan Lilis menatapku. Mereka seolah memberi sinyal kalau dugaan mereka benar. Seperti bilang, ‘kata kami juga apa, si Ayu keras kepala! Pasti enggak akan mudah dibujuk. Ayo pergi!’. Hahaha, aku sudah paham betul teman-temanku.
“Ya udah, aku tinggal ya.” Aku pun pamit dan keluar dari himpitan bangku. Ayu tidak menjawabku sama sekali. Dia masih menelungkupkan wajahnya di balik kedua tangannya yang melindungi kepalanya, dan menempelkan wajahnya ke meja. Entah benar-benar tidur atau menutupi tangisannya. Aku tidak tahu. Tapi, kurasa Sekar dan Lilis benar. Ayu hanya butuh sendiri dulu sebelum dia benar-benar menerima kebenaran soal kandasnya hubungan dia dengan Rizky.
Aku pun berjalan menuju Sekar dan Lilis yang sudah menunggu dekat lawang pintu.
“Yuk, ah! Si Ayu nanti kita beliin aja makanan. Aku yakin dia laper kalau udah nangis.” Lilis memberi saran.
Aku dan Sekar pun hanya mengangguk dan pergi bersamaan ke luar. Aku melihat Ayu dari kejauhan sebelum benar-benar meninggalkan kelas. Ayu tetap tak berkutik dan bahkan mirip mayat. Tak bergerak! Kalau di sore hari, menjelang malam dan sendirian seperti itu, Ayu mungkin lebih mirip tante Kunkun deh. Serem! Rambutnya yang panjang menutupi wajahnya. Ayu Ayu, lagi sedih pun bagiku yang melihatnya tetap saja terkesan kocak. Hehehe.
Setiba di kantin, seperti biasa terpantau padat merayap. Padahal, sudah jelang sepuluh menit kami telat datang ke sini. Tapi penghuninya masih banyak dan beberapa mungkin belum terlayani.
“Mau beli bakso dan makan di sini?” tanya Sekar. Lilis masih sibuk memilih-milih cemilan dengan lirikkan matanya, dan aku yang masih bengong juga bingung. Di sisi lain aku memang lagi pengen makan bakso, tapi di sisi lain aku kasihan sama Ayu. Pastinya, Ayu kesepian di kelas dan perutnya yang kayak karet itu pasti lapar.
“Aku beli bakso ikan saja dan makan di kelas. Kasihan Ayu. Kalian makan di sini aja,” jawabku pada Sekar.
Lilis dan Sekar pun saling berpandangan dan mengangguk setelahnya. “Oke,” balas mereka serempak. Kami pun berpencar. Sekar pesan bakso dan memesankan pesanan punya Lilis sedangkan si Lilis pergi ke warung untuk membeli cemilan. Aku berjalan ke tukang bakso ikan langganan. Hehe, memang satu-satunya penjual bakso ikan di sini ya si Mang Mumun.
Saat aku ingin melangkah, pandanganku teralihkan pada seorang lelaki. Lelaki itu … lelaki itu tampaknya tidak asing bagiku. Dia, ya Alloh dia ….