webnovel

Airlangga Sang Maharaja

Airlangga adalah pangeran penakut yang mengasingkan diri ke hutan setelah dikhianati orang yang ia percaya. Suatu hari seorang gadis mendatangi pertapaannya untuk meminta (sebenarnya memaksa) Airlangga merebut kembali tahtanya, demi menyatukan Tanah Jawa yang terpecah-belah. Meski awalnya terpaksa, inilah perjalanan Airlangga menjadi maharaja yang terus dikenang bahkan setelah seribu tahun berlalu. Peringatan : Ini adalah cerita fiksi yang diangkat dari sejarah Airlangga. Sebagian besar dari cerita ini adalah fiktif karangan penulis. Apabila anda tertarik dengan kehidupan Airlangga yang sesungguhnya, dapat membacanya melalui sumber-sumber sejarah yang akurat.

Sun_1 · 歴史
レビュー数が足りません
28 Chs

Bab 15

Tujuan ekspedisi militer berikutnya adalah Wengker yang dikuasai Wijayarama. Kali ini bala tentara Airlangga jauh lebih besar setelah ditambah bekas prajurit Wuratan.

Namun, perjalanan tidaklah mudah karena sebagian besar wilayah Wengker masih diselimuti hutan alas yang lebat. Hanya ada jalan kecil yang menghubungkan tiap desa, yang terkadang tak lebih dari jalan setapak. Rawa-rawanya dipenuhi buaya dan ular besar. Rasanya seperti memasuki kerajaan makhluk halus ketimbang negeri manusia.

Kesabaran Airlangga dan pasukannya terbayar kala mereka tiba di sebuah desa yang berada di kaki Pegunungan Halimun. Pegunungan itu terbentang mengelilingi daerah ibukota Wengker sebagai benteng alam.

Tapi tak ada satu jiwa pun yang terlihat di desa tersebut. Seolah puluhan rumah bilik bambu itu sudah ditinggalkan penghuninya.

Rombongan hampir melewati desa saat seorang pria tua akhirnya beranjak keluar dari rumahnya.

Pria itu memperhatikan panji-panji yang dibawa pengawal di baris terdepan, lalu mengejar dengan tergopoh-gopoh, "Ma—maaf Tuan… Apakah—apakah Tuan adalah bala tentara Sri Raja Airlangga?"

"Benar, Pak Tua!" jawab si pengawal.

"Boleh—boleh saya bertemu dengan Sri Raja?"

"Untuk apa? Kau mata-mata Wijayarama, ya?!" Pengawal itu mengacungkan tombaknya.

"Ampun beribu ampun, Tuan. Saya hanya ingin meminta tolong pada Sri Raja!" Pria tua itu membungkuk, memohon-mohon.

"Hentikan! Biarkan Bapak ini bicara!" seru Airlangga seraya memacu kudanya ke depan.

Hasin pun memberi aba-aba agar seluruh barisan berhenti.

Airlangga turun dari kuda, lalu memberi salam. "Apa yang bisa saya bantu, Pak?"

Begitu melihat sang raja dengan mata kepalanya sendiri, si pria tua spontan bersimpuh. "Maafkan… maafkan kelancangan hamba. Tapi hamba tak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Sebab anak-anak gadis kami diambil oleh Sri Raja Wijayarama."

"Diambil? Coba jelaskan lebih detail?"

"Kabarnya Sri Raja Wijayarama sangat menyukai perempuan. Patihnya selalu berkeliling untuk mengambil gadis-gadis perawan dari seluruh negeri. Tetapi semua yang dibawa ke ibukota tak pernah kembali. Keluarganya pun tak diperkenankan untuk menemui mereka. Tapi hamba cuma memiliki anak semata wayang. Cuma Gendis satu-satunya yang hamba miliki di dunia ini. Dan beberapa hari yang lalu utusan Wengker datang membawanya."

"Sungguh tega," Airlangga menggeleng-gelengkan kepala. "Tenang saja Pak, saya akan menyelamatkan putri Bapak."

"Terima kasih Sri Raja! Terima kasih!" Pria tua itu hendak mencium kaki Airlangga, tapi sang raja mencegahnya. Airlangga masih tidak terbiasa dengan kelakuan orang-orang yang suka mencium kaki pejabat.

Pemuda itu kembali ke atas kudanya untuk melanjutkan perjalanan. Namun, sebenarnya kejadian barusan tidak membuatnya terkejut. Berdasarkan penyelidikan yang dilakukan Rakryan Kanuruhannya, Wijayarama memang memiliki tabiat yang buruk. Pria itu gemar memperkosa rakyatnya sendiri. Meski ironisnya, itu adalah hal baik bagi bala tentara Medang.

Dalam setiap peperangan biasanya ada tiga tahap strategi. Yang pertama adalah sama, yakni proses pencarian sekutu. Sebelum menyerang suatu kerajaan, ada baiknya menjalin kerjasama dengan kerajaan lain. Atau paling tidak meminta kerajaan-kerajaan lain bersikap netral saat pertempuran berlangsung. Dan jika lawan mereka adalah orang yang dibenci, tentunya lebih mudah untuk mencari sekutu.

Benar saja, banyak adipati dan kepala desa yang sepertinya tak menyenangi pemerintahan Wijayarama. Mereka sama sekali tak menghalang-halangi bala tentara Medang, sampai-sampai Narotama mengira mereka sedang membuat jebakan. Tapi nyatanya tak ada jebakan. Perjalanan sangat mulus.

Tapi tetap ada hal yang membuat hati Narotama was-was. Walau tak menghalangi, para adipati dan kepala desa juga tak berani menawarkan bantuan. Mereka terlihat begitu takut terhadap Wijayarama. Pasti ada alasan kuat di balik sikap semacam itu.

Menjelang malam, bala tentara membangun tenda di bawah kaki gunung. Mereka akan beristirahat sebagai persiapan menyebrangi gunung esok hari.

Hanya saja Airlangga tak bisa tidur. Ia sangat berdebar-debar. Adrenalinnya terus memompa tak berkesudahan. Jadi ia memutuskan untuk bergabung dengan beberapa jendral dan para prajurit di sekitar api unggun. Narotama berkata aksi-aksi berbaur yang demikian bagus untuk meningkatkan moral pasukan. Meski Airlangga tidak pandai membuat obrolan kecil, ia cukup menyimak dan tertawa saat seseorang membuat lelucon. Maka orang-orang itu akan menganggap dirinya berhasil menyenangkan sang raja sehingga menumbuhkan kedekatan emosional.

Saat malam semakin larut, akhirnya kantuk menyerang. Airlangga memejamkan mata. Tapi baru sebentar saja, tiba-tiba Sri Dewi membangunkannya.

"Sri Raja! Sri Raja! Kita diserang!"

"Apa?!" Kepala Airlangga masih agak linglung. Ia bangkit lalu berlari keluar tenda. Kemudian ia berputar-putar melihat sekeliling. Semua orang tampak sibuk. "Siapa yang menyerang?"

"Babi hutan!" jawab Sri Dewi.

"Hah?"

Airlangga tak percaya ia dibangunkan karena babi hutan. Sudah sewajarnya di alas seperti ini banyak babi, dan prajuritnya pasti bisa mengatasi.

"Babi-babi itu merusak persediaan logistik pasukan!"

"…hah?"

Airlangga mengumpulkan nyawa sampai kantuknya hilang. Saat kesadarannya kembali, ia bisa melihat kekacauan di depan mata. Beberapa prajurit sibuk menguber-uber seekor babi hutan yang sangat besar, yang rambut hitamnya menyatu dengan gelapnya malam. Sementara di sisi lain ada prajurit yang lari tunggang-langgang dikejar-kejar babi. Taring mereka panjang dan mengerikan.

"Kenapa bisa ada banyak babi?!" Airlangga terheran-heran.

"Saya juga tidak tahu! Tapi mereka memakan dan merusak karung-karung beras!"

Hasin berlari-lari sambil membawa obor besar. Ia mengayunkannya untuk mengusir sekelompok babi yang mengelilingi tenda logistik. Tapi karena gelap, kakinya tersandung. Lalu obor yang dibawanya jatuh ke tenda logistik, melalap habis semuanya.

"Dasar babi ngepeeet!!!" Ia berteriak frustasi. "Tangkap babi-babi itu, kita jadikan babi panggang!"

Saat pagi tiba, semua kelelahan. Para babi menghilang kembali ke hutan meninggalkan kerusakan dan kotoran.

Airlangga tak habis pikir. Benar-benar tak habis pikir. Ia duduk merenung memperhatikan beras yang berserakan. Sebagian besar sudah tak bisa diselamatkan karena terinjak-injak dan bercampur tanah. Para prajurit berupaya keras mengumpulkan apa yang tersisa.

"Sial…" gumamnya dalam hati.

Ia merasa kalah. Dikalahkan oleh babi hutan!

"Kenapa bisa begini?!" Hasin marah-marah mewakilinya. "Apa kalian tidur seperti orang mati?! Kenapa tidak ada yang mencegah babi-babi itu?!"

Para prajurit pun terlihat kebingungan. Saat itu sebagian besar sudah tertidur. Gerombolan babi keluar begitu saja dari dalam hutan, langsung menyerbu tenda-tenda perbekalan.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan, Sri Raja?" tanya Mpu Niti, salah satu jendral.

"Maju terus!" Hasin menghantamkan bogemnya ke bumi. "Wengker sudah di depan mata. Kita tinggal menyebrangi gunung ini."

Airlangga mengangguk setuju. Ia teringat betapa melelahkannya ekspedisi kali ini. Berminggu-minggu ia harus menembus hutan yang lebat. Dan apakah ia rela pulang dengan tangan kosong, lalu mengulang ekspedisi dari awal?

"Tapi Senapati, akan sulit melanjutkan ekspedisi ini tanpa dukungan logistik," ucap Niti. Pria kurus berjanggut kambing itu sama sekali tak gentar menentang Hasin.

Airlangga mengangguk lagi. Pendapat itu juga masuk akal sebenarnya.

"Beri kami pencerahan, Sri Raja," pinta Hasin.

"Uh… Mpu, bagaimana pendapat Mpu?" Airlangga merujuk pada Narotama.

"Menurut saya…" Pria itu berpikir sejenak. Ia setengah yakin jika serangan babi-babi semalam adalah tidak wajar.

Tapi mengenai Wengker, sebelumnya ia tak pernah mendengar Wengker memiliki bala tentara yang kuat. Tidak seperti Wisnuprabawa ataupun Aji Wurawi, raja-raja Wengker lebih memilih hidup aman di balik benteng alam. Apalagi jika memperhitungkan para adipati yang tidak simpati terhadap sang raja, kemungkinan Wijayarama hanya memiliki sedikit pasukan. Jika mereka bisa melewati gunung, harusnya perang bisa diselesaikan dengan cepat.

"Maju terus," jawab Narotama akhirnya.

Airlangga mengangguk, lalu pura-pura berpikir sejenak agar tak dibilang ikut-ikutan. Saat bicara, ia melakukannya penuh keyakinan. "Kita sebrangi gunung ini."

***

Jalan pegunungan yang mereka lalui sebenarnya cukup lebar untuk dilewati dua ekor kuda yang menarik pedati. Namun, permukaan tanahnya tidak rata. Selain karena terus menanjak, ada banyak batu besar dan juga jeglongan. Para prajurit harus melangkah dengan hati-hati agar tidak terpeleset.

Pohon-pohon besar menciptakan kanopi yang rindang. Suara burung, monyet, dan binatang-binatang hutan lainnya terus terdengar seolah mengiri. Kadang ada jurang dalam yang membuat jalanan menyempit, sehingga mereka terpaksa melewatinya satu-satu.

Terdengar gemuruh guntur. Langit semakin gelap ditutupi awan kelam. Aroma-aroma hujan merebak.

Lalu Airlangga menangkap suara dengusan babi hutan. Awalnya samar-samar. Ia melihat sekeliling, menyapu batang-batang pepohonan lebat di sekitarnya. Sesuatu terasa sedang mengawasi dari balik hutan.

Kemudian muncul seekor babi yang sangat besar dari semak-semak. Ia berdiri diam menatap Airlangga. Kilat di matanya tampak berbeda, seolah ia memiliki pikiran. Kemudian ia berlari, diikuti puluhan babi yang serentak menampakkan diri.

Para pengawal di sekitar Airlangga lekas bersiap untuk menghalau binatang-binatang liar tersebut. Beberapa ingin membalas dendam atas kelakuan mereka semalam.

Namun, tiba-tiba saja, babi-babi itu berubah wujud. Perutnya mengecil dan bulu-bulu di tubuhnya rontok hingga memperlihatkan kulit kuning langsat. Badannya menjadi tegak, dan kuku kakinya berubah menjadi lima jari yang lengkap. Wajahnya melesak, jadi menyerupai manusia meski terlihat kasar—masih menyisakan sepasang taring mengerikan.

Mereka melompat menyerang para pengawal. Tenaganya bukan main-main, tinjunya langsung mementalkan prajurit hingga bertombak-tombak.

"Kita diserang! Kita diserang!"

Narotama lekas mencabut kedua pedangnya. Rupanya babi-babi semalam memang bukan babi biasa. Mereka adalah siluman jadi-jadian.

"Sri Dewi, lindungi Sri Raja!" serunya seraya menyabetkan pedang pada seekor manusia babi di dekatnya. Tetapi kulit makhluk itu sangat tebal, sehingga bilah pedang Narotama cuma memberi luka dangkal.

Sri Dewi mengikuti instruksi Narotama. Ia mengangkat perisai untuk melindungi Airlangga di belakangnya. Pengawal-pengawal yang lain pun membentuk formasi mengelilingi sang raja.

Sementara seluruh pasukan mulai kacau akibar serangan mendadak itu. Barisan yang memanjang membuat mereka kesulitan bertempur. Manusia-manusia babi itu memotong barisan, lalu melawan para prajurit satu-persatu di jalan yang sempit. Taktik mereka adalah mencengkram lalu melempar para prajurit ke jurang.

Posisi Airlangga semakin terdesak. Di belakangnya jurang, dan di depannya adalah dataran tinggi tempat lawannya menyerang. Tiba-tiba seekor manusia babi yang sangat besar—tingginya nyaris dua meter—muncul. Ia menghancurkan seorang prajurit dengan sekali tinju. Para pengawal segera menghunuskan tombak ke arahnya, tapi mata tombak mereka tertahan oleh kulitnya. Ia menangkap batang-batang tombak itu kemudian mematahkannya semudah mematahkan ranting.

Airlangga pun turun dari kudanya. Ia bermaksud menerjang si manusia babi.

Sri Dewi yang terkejut melihatnya berusaha mencegah.

"Tidak apa-apa," ucap Airlangga.

Ia memasang kuda-kuda, lalu mengerahkan segenap ilmu kanuragan untuk menyerang. Ia melesat dan tinjunya bersarang di ulu hati makhluk itu, membuatnya tersentak. Sayangnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan.

Manusia babi itu membalas dengan tinjunya. Airlangga mengelak dengan merundukkan badan, tapi tendangan makhluk itu berhasil menghantam perutnya. Sang raja pun terhempas.

Si manusia babi tak memberi ampun. Ia menerkam saat Airlangga masih berusaha bangkit. Sri Dewi segera menghalangi, lalu menyerang makhluk itu menggunakan tombaknya—yang langsung dipatahkan dengan satu kibasan tangan.

Manusia babi meninju. Sri Dewi mengangkat perisai—yang juga langsung begitu terkena hantaman. Kemudian makhluk itu mengibas Sri Dewi hingga terlempar.

Ia kembali mengarah ke Airlangga. Tapi sang raja sudah siap dengan keris di tangan. Meski si manusia babi memiliki kulit yang tebal, Airlangga yakin ada bagian yang bisa ditembus dengan mudah—seperti mata. Jika ia menyalakan Asto Broto, bukan perkara sulit mengarahkan ujung bilah kerisnya ke mata makhluk tersebut.

Namun, yang Sri Dewi lihat adalah sang raja sedang berada dalam bahaya. Ia lekas mengenyahkan nyeri di tangannya, lalu menggunakan sebuah ajian yang belum lama ini berhasil ia kuasai. Ajian Lembu Sekilan. Ia mengerahkan tenaga dalam untuk mengeraskan otot-otot di tubuhnya, sehingga sama tebal dengan kulit si manusia babi.

Gadis itu melompat lalu menyerang pinggang makhluk itu dengan tinju cakar harimau. Tak berhenti di sana, ia lanjut menendang, kemudian meninju lagi. Hantaman-hantaman itu membuat si manusia babi bergeser beberapa langkah.

Sri Dewi meneruskan upayanya. Namun, setelah beberapa jurus, ia sadar tidak berhasil memberi kerusakan berarti. Serangannya cuma menahan pergerakan, tak melukai. Maka sebuah ide gila terlintas di benaknya. Ia menubruk makhluk itu, lalu menjejakkan kakinya kuat-kuat. Menarik si manusia babi ke jurang bersamanya.

"Oe—oe—oei!" Airlangga terbelalak menyaksikan gadis itu jatuh berguling-guling ke bawah sana bersama lawannya. Ia terbengong-bengong. Padahal ia yakin bisa menyelesaikan pertarungan seandainya tak diganggu.

Refleks ia ingin ikut melompat. Para pengawal buru-buru memeganginya agar sang raja tidak berbuat nekat.

"Lepas! Lepaskan!"

"Jangan, Sri Raja!"

Entah kenapa Airlangga merasa takut sekali, apalagi saat sosok Sri Dewi tak terlihat lagi.

"Sri Raja, biar saya yang mengejarnya!" Seorang prajurit muda bergegas terjun ke jurang. Tapi ia tidak jatuh. Ia melompat dari dahan ke dahan dengan lincahnya, seperti seekor kera. Ia adalah Mapanji Tumanggala, adik dari Sri Dewi.