Airlangga mulai terbiasa menjadi seorang raja. Ia menyerahkan urusan militer sepenuhnya pada Hasin. Saat ini sang Senapati sedang sibuk mendoktrin sekaligus melatih bekas prajurit Wuratan yang menyatakan ingin setia terhadap Airlangga. Jumlahnya tak seberapa banyak sebab walau Wisnuprabawa memiliki bala tentara yang dahsyat, sebagian besar adalah garnisun dan bandit upahan. Pria itu cuma memikirkan kuantitas, sampai-sampai harus menambah prajurit dari golongan jin.
Sementara Narotama mengurus strategi. Ia memperhitungkan sumber daya yang dimiliki, lalu merancang siapa target penyerangan berikutnya. Ia juga melakukan koordinasi dengan para adipati di daerah kekuasaan Medang agar saat perang terjadi mereka bisa memberi dukungan penuh.
Tapi tetap saja, sebagai seorang raja maka Airlangga harus menjalankan perannya. Ia adalah penguasa Medang, maka kepadanyalah penduduk Medang mengadukan masalah-masalah pelik yang mereka hadapi.
Hari itu Airlangga duduk di Balai Witana yang megah, menanti orang-orang yang mau menghadap. Sebelah tangannya bertumpu pada lengan singgasana. Sri Dewi berdiri siaga di sisinya. Lalu sekelompok pria datang menghadap. Mereka bersimpuh seraya menangkupkan telapak tangan.
"Salam, Sri Raja," ucap pria terlihat paling tua dan berpengalaman. "Saya Brahmaputra, kepala desa Palinjuwan. Saya berbicara mewakili desa-desa lainnya yang berada di sekitar hilir Bengawan Brantas."
"Silakan bicara, Paman," ujar Airlangga.
"Terima kasih, Sri Raja. Desa-desa kami yang berada di hilir Bengawan Brantas selalu kebanjiran setiap tahunnya karena air sungai yang meluap. Banjir ini banyak merusak pertanian, ternak, rumah, bahkan tempat-tempat ibadah. Kami meminta petunjuk dari Sri Raja."
"Oh…"
Petunjuk… Hmm… petunjuk apa yang bisa kuberikan…
Banjir adalah kekuatan alam. Bagaimana cara manusia melawannya?
"Bisakah kalian pindah ke tempat yang tidak banjir? Yang jauh dari sungai?" tanyanya.
Para kepala desa tampak bingung.
"Maaf, Sri Raja," ucap Brahmaputa hati-hati. "Bukannya saya tidak menganggap petunjuk yang diberikan, tetapi sulit memindahkan pertanian ke tempat lain, terutama jika jauh dari sungai."
"Oh, benar juga." Airlangga malu bukan main. "Umm… bagaimana dengan raja sebelumnya?"
"Raja sebelumnya tak pernah memperhatikan kami, Sri Raja. Padahal kerusakan-kerusakan yang terjadi membuat kami kesulitan membayar pajak."
Airlangga mengangguk-angguk. Memang sebuah kerugian jika mereka tak bisa bayar pajak. Tapi ia juga tak tahu apa yang baiknya dilakukan.
"Maaf Sri Raja, boleh saya mengutarakan pendapat?" Sri Dewi sedikit maju ke depan.
"Ya! Ya! Silakan, silakan."
Sri Dewi maju sedikit lagi, lalu bertanya, "Apakah selama ini para kepala desa sudah membuat bendungan?"
Bendungan? Apa itu?
"Sudah, Nyi," jawab Brahmaputra. "Tapi cuma bendungan kecil buatan warga desa, dan seringkali rusak ketika banjir datang."
Sri Dewi mengangguk. "Mungkin kita perlu membuat bendungan yang lebih besar."
"Tunggu, Sri Dewi," Airlangga menepuk tangan gadis itu. "Bagaimana dan siapa yang akan membuatnya? Apa itu bendungan?"
"Bendungan adalah konstruksi untuk menahan laju air sungai, sekaligus bisa menyimpan airnya sebagai waduk atau danau," jelas Sri Dewi. "Bila saya boleh mengajukan saran—"
"Silakan."
"—Sri Raja bisa mendatangkan arsitek-arsitek terbaik untuk merancang waduk tersebut, dan konstruksinya dikerjakan oleh masyarakat di sekitar hilir Bengawan Brantas. Bendungan yang dirancang dengan baik tidak akan cepat rusak, dan masyarakat sekitar yang mengerjakannya sebab kelak mereka jugalah yang menikmati hasilnya."
Pintar sekali, pikir Airlangga. Jadi kerajaan tidak perlu mengeluarkan uang banyak-banyak untuk membayar pekerja.
"Lalu… boleh saya menambahkan?"
"Silakan."
"Saya ingin seluruh penduduk desa sekitar hilir Bengawan Brantas ikut berpartisipasi menjaga bendungan itu nantinya. Agar bendungan bisa tetap awet. Dan sebagai gantinya… Sri Raja, bolehkah saya memberi saran yang mungkin sedikit lancang karena terkait kebijakan?"
"Silakan."
Airlangga sendiri tak begitu paham soal macam-macam kebijakan. Paling nanti ia akan mendiskusikannya lagi dengan Narotama.
"Sebagai imbalan bagi penduduk desa yang menjaga bendungan akan dibebaskan dari pajak. Bagaimana, Sri Raja?"
Airlangga mengusap-usap dagunya sejenak. Jika Bengawan Brantas tidak banjir, tentu akan menguntungkan bagi kerajaan. Bisa dibilang pembebasan pajak itu adalah harga yang pantas. Tapi ia masih tidak yakin, jadi memutuskan untuk bertanya dulu pada Narotama.
"Akan saya pertimbangkan."
Para kepala desa tampak lega, lalu mengutarakan rasa terima kasihnya pada Airlangga. Walau sebenarnya yang memberi petunjuk adalah Sri Dewi. Tapi Airlangga mulai terbiasa. Ia memahami posisinya sebagai raja.
Airlangga tak lagi merasa rendah apabila Sri Dewi tampak lebih kompeten daripada dirinya. Toh raja juga manusia. Tugasnya adalah memilih orang-orang yang tepat untuk membantu pemerintahannya. Malah, hal ini membuatnya lebih santai. Yang terpenting adalah rakyat senang, kerajaan makmur, dan semua bahagia.
Para kepala desa itu undur diri, lalu pengawal memanggil orang-orang berikutnya yang mau menghadap. Di sela-sela waktu tersebut, Airlangga berbisik pada Sri Dewi.
"Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana kalau kau tak ada. Aku benar-benar hutang budi."
"Jangan, Sri Raja! Sudah sewajibnya saya melakukan semua yang saya bisa untuk membantu. Sri Raja tak berhutang apa-apa! Justru kami yang berterima kasih karena Sri Raja begitu memperhatikan rakyat!"
Selalu soal kasta.
"Sri Dewi," Airlangga menyandarkan diri ke singgasana. "Kadang aku berpikir seperti apakah kehidupan tanpa kasta? Dunia di mana kau bisa menyebut namaku tanpa gelar. Seperti bagaimana Wisnuprabawa memanggilku, hahaha. Tapi maksudnya bukan untuk menghina, melainkan karena kita manusia yang setara."
Sri Dewi tak mampu menjawabnya. Ia bahkan tak mampu memikirkannya. Ia kira semesta memang diciptakan demikian, dan melanggarnya berarti melanggar ketetapan semesta. Namun, hati kecilnya mau tak mau mulai bertanya semenjak pertemuannya dengan Airlangga di Gunung Penanggungan.
Setelah sesi pertemuan hari itu selesai, Airlangga bangkit dari kursinya lalu meregangkan tubuh ke atas, kanan, dan kiri.
"Adadadadaw, capek."
"Biar saya antar ke kamar," kata Sri Dewi.
"Boleh, sekalian temani aku di kamar ya."
"Eh..?"
Airlangga memperhatikan wajah Sri Dewi yang terkejut kemerahan, lalu tertawa. Entah sejak kapan ia tak segrogi waktu awal-awal berbicara dengan Sri Dewi.
"Bercanda," kekehnya. "Lagipula aku mau jalan-jalan saja, pinggangku sakit karena kebanyakan duduk."
Ia keluar dari Balai Witana, lalu berjalan mengelilingi taman bunga. Sri Dewi memberi aba-aba sehingga seorang prajurit bergegas mengikuti sambil memegangi payung yang besar.
"Walau capek, tapi aku juga senang," kata Airlangga sembari memperhatikan serangga yang terbang mengitari bunga cempaka.
"Kenapa, Sri Raja?"
"Ya senang saja, melihat penduduk senang."
Pandita Terep, dari kejauhan, melihat Airlangga yang tengah didampingi putrinya. Sang pandita telah diangkat sebagai pejabat keagamaan sehingga memiliki hak untuk tinggal di kompleks istana.
Ia mengamati sepasang muda-mudi itu, kemudian mendekat.
"Salam."
"Oh, salam, Pandita."
"Tak menyangka bertemu Sri Raja di sini. Apakah Sri Raja sedang sibuk?"
"Tidak juga."
"Jika demikian sudikah jika saya menjamu Sri Raja?"
"Boleh…"
Rumah Pandita Terep berada di sisi timur kompleks istana. Ia lekas memerintahkan pelayannya menyediakan jamuan makan siang. Sembari menunggu, mereka duduk di saung bambu yang terletak di samping kediaman sang pandita. Ada sebuah kolam kecil di bawah saung dengan ikan-ikan yang berenang bebas, menciptakan suasana asri.
Airlangga menempel di dinding saung, memperhatikan ikan-ikan berenang. Ia melambaikan tangannya, lalu ikan-ikan itu berkumpul.
"Hahaha, lihat itu, Sri Dewi. Coba lambaikan tanganmu."
Sri Dewi mengikutinya. Para ikan ganti berkumpul di bawah Sri Dewi.
"Ayo kita bingungkan ikan-ikannya, seolah kita mau memberi makan," lanjut Airlangga. "Nih, nih," Ia mengulurkan tangan. Saat ikan-ikan berkumpul, ia membuka telapak tangannya. "Yee ketipu!"
Airlangga dan Sri Dewi pun tertawa.
Pandita Terep memperhatikan untuk beberapa saat, lalu berdeham. "Bagaimana kabar Sri Raja belakangan ini?"
"Baik," jawab Airlangga, lalu memperbaiki posisi duduknya agar menghadap Pandita Terep. "Pandita sendiri bagaimana?"
"Sangat baik," jawab pria tua tersebut. "Ngomong-ngomong beberapa waktu lalu saya bertemu dengan beberapa pandita dari kadipaten-kadipaten bawahan Sri Raja. Rupanya ada pembicaraan yang mulai mengalir di daerah mereka masing-masing."
"Ya?" Airlangga memicingkan sebelah alisnya.
"Para adipati bertanya-tanya apakah Sri Raja ada niatan untuk mengambil selir. Ah, maaf bukannya saya bermaksud lancang. Saya tahu Sri Raja sangat setia terhadap Sri Ratu, dan tinggal menghitung waktu saja sampai Sri Raja menyelamatkan Sri Ratu. Namun, selama ini para adipati juga penasaran…"
Itu adalah bagian dari politik kerajaan. Setelah kemenangannya atas Wisnuprabawa, para adipati mulai mengakui keperkasaan Airlangga. Mereka juga tahu saat ini sang raja tidak memiliki ratu—setidaknya yang berada di sisinya—dan menginginkan sang raja menikahi putri-putri mereka.
Namun, hal itu malah mengingatkan Airlangga pada gadis yang pernah menjadi cinta pertamanya. Sri Laksmi. Dulu ia selalu minder berhadapan dengan gadis sesempurna Sri Laksmi—yang memiliki kecantikan paras maupun hati. Ia juga lemah. Ia lebih memilih mengasingkan diri daripada mengkonfrontasi Aji Wurawi.
Tapi Airlangga yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Kini ia adalah raja yang memenangkan tahta dengan perjuangan gigih. Ia mengalahkan begundal, raksasa, jin, bahkan si titisan Wisnu. Sampai ia diakui sebagai titisan Wisnu itu sendiri.
Airlangga yang sekarang sudah pantas bagi Sri Laksmi.
"Bagaimana mungkin hati saya bisa dibagi-bagi seperti itu?" ujarnya, dengan tatapan yang sangat menusuk ke arah Pandita Terep. "Sri Dewi, kumpulkan seluruh jendral dan pejabat istana!"
***
Airlangga duduk di singgasananya, di hadapan puluhan abdi yang setia. Ekspresinya begitu keras. Seperti ada segenggam bara kemarahan yang ditahan dalam dirinya. Bahkan Narotama belum pernah melihatnya seperti ini. Sang Rakryan Kanuruhan terus bertanya-tanya jin apa yang sedang merasuki Airlangga.
Namun, sang raja tidak dirasuki apapun—selain kemarahan dan ambisi.
"Sudah terlalu lama," ucapnya. "Sudah terlalu lama Aji Wurawi berkeliaran bebas, berpikir tak perlu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia menyekap Sri Laksmi, putri dari orang yang ia bantai habis dalam pengkhianatan.
"Apalagi itu kalau bukan penghinaan terhadap wangsa Isyana!" Tiba-tiba suara Airlangga meninggi, nyaris membentak. "Dan saya tidak sudi! Bagaimana saya bisa menghadapi almarhum ayah mertua saya jika membiarkan kedzaliman seperti ini di depan mata? Apa kalian semua—yang dulu mengabdikan diri pada Sri Raja Darmawangsa—tega melihat sang raja dihina?
"Kemaharajaan Medang tidak akan utuh, sebelum darah daging wangsa Isyana bergabung dengan kita! Kemaharajaan Medang tidak akan utuh, sebelum sang duri dalam daging dicabut. Kemaharajaan Medang tidak akan utuh, sebelum kita menyelamatkan Sri Laksmi, ratu kalian yang sah!"
Para pejabat mendengarkan dengan seksama. Mereka tahu sebagian dari kata-kata Airlangga ditujukan pada mereka, yang dengan naifnya berusaha menjilat sang raja melalui pernikahan politik. Namun, mereka juga tergerak oleh api semangat yang dikobarkan Airlangga. Mereka ingin menjadi saksi, apakah kemaharajaan mereka bisa tegak lagi seperti dulu.
"Karena itu, dengarkan baik-baik. Aku bersumpah. Ekspedisi militer Medang tidak akan berhenti sebelum kita menggantung Aji Wurawi di istananya sendiri! Kita rebut kembali ratu kita! Kita kembalikan kejayaan Medang! Apa kalian semua bersamaku?!!"
"Ya, kami bersama Sri Raja!" seru Narotama.
"Hidup Sri Raja Airlangga!!!" suara Hasin membahana.
Seluruh pejabat dan jendral di tempat itu pun mengelu-elukan Airlangga. Mereka siap mengorbankan jiwa dan raga untuk menjemput sang ratu.
Begitu pun dengan Sri Dewi. Ia siap mengawal Airlangga ke mana pun. Hanya saja, entah kenapa, ada sedikit sesak di hatinya tiap kali Airlangga menyebut nama Sri Laksmi.