16 Bab 16

Sri Dewi jatuh menghantam ranting dan dahan-dahan besar, sampai akhirnya mendarat di aliran sungai kecil yang dangkal. Ajian Lembu Sekilan berhasil menyelamatkan nyawanya. Namun, sekarang ia sudah kehabisan tenaga. Tubuhnya terasa sangat berat.

Sementara si manusia babi tersungkur di dekatnya, hanya terpaut beberapa tombak.

Gadis itu segera berusaha bangkit. Ia menggunakan tangannya untuk mendorong tubuhnya ke atas. Di saat yang sama, si manusia babi juga bangun. Ia berdiri dengan mudahnya, lalu menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pusing. Ketika melihat Sri Dewi, ia menguik-nguik kasar.

Sri Dewi tahu ia dalam bahaya. Tanpa ajian Lembu Sekilan, ia akan jadi mangsa empuk bagi makhluk itu. Ia maka ia mengerahkan segenap tenaga yang tersisa untuk berlari.

Si manusia babi refleks mengejarnya.

Gadis itu keluar dari air. Ia melompat ke atas batu sungai, lalu lompat lagi ke batu berikutnya. Ia menyadari sebuah dahan pohon yang melintang tak begitu tinggi. Ia loncat ke sana, kemudian meraih batangnya. Ia memanjat ke atas, lalu lompat ke dahan yang lain.

Si manusia babi terus mengejarnya tanpa ampun. Ia merundukkan badan, lalu menghantam batang pohon yang sedang dipanjat Sri Dewi. Gadis itu pun terpeleset jatuh ke tanah.

Makhluk itu langsung menerkam sambil menghujamkan tinjunya. Sri Dewi berguling ke samping tepat waktu. Ia segera jongkok, lalu melompat harimau sejauh mungkin kembali ke tengah aliran sungai.

Ia berbalik, memperhatikan si manusia babi dan hutan lebat di sekitarnya. Kelihatannya kabur adalah mustahil. Maka ia memasang kuda-kuda, bermaksud memberi perlawanan terakhir.

Manusia babi itu menerjang. Ia melayangkan tinjuan. Sri Dewi menghindar ke arah luar, lalu menangkap bahu makhluk tersebut. Ia lanjut menghantam rusuk si manusia babi, kemudian menjegal kakinya untuk menjatuhkan.

Namun kaki makhluk itu sangat kokoh seperti sebatang pohon. Ia juga tak begitu terpengaruh oleh hantaman ke rusuknya barusan. Ia malah balas menghantam Sri Dewi dengan kekuatan mentah.

Gadis itu terhempas menggasruk dasar sungai. Wajahnya terasa dingin oleh air yang mengalir. Ia lekas mencengkram tanah, lalu mendorong tubuhnya bangkit. Ia belum selesai. Ia cepat-cepat menghadapi si manusia babi yang menerkam lagi. Kali ini ia menghindari tinju makhluk itu dengan berayun ke belakang, menangkap pergelangan tangannya, lalu memanjat lututnya. Ia bermaksud memanfaatkan berat tubuhnya sendiri untuk menarik jatuh di manusia babi.

Tapi lagi-lagi makhluk itu bertahan. Malah jadi Sri Dewi yang menggantung di udara. Kemudian si manusia babi menekannya menghantam dasar sungai, hingga kepalanya terendam air. Tangan makhluk itu menahan leher Sri Dewi hingga ia tak bisa bernapas. Gadis itu meronta-ronta, namun tanpa hasil. Tubuhnya mulai mengejang karena kehabisan udara. Kesadarannya kian menipis.

Lalu Tumanggala datang. Pemuda itu melompat lincah dari dahan ke dahan. Begitu berada tepat di atas si manusia babi, ia terjun ke bawah. Ia memanfaatkan kecepatan tubuhnya yang ditarik gravitasi, kemudian mengerahkan seluruh tenaga dalam ke telapak tangan.

Ajian Gelap Nyampar!

Percik-percik cahaya memantik keluar dari telapak tangannya. Begitu cepat dan terang, ia menghantam kepala makhluk itu laksana petir yang menyambar. Suaranya memekakkan dan kilatnya membutakan.

Si manusia babi mengejan. Meski kulitnya sangat tebal, tapi tetap tak mampu menahan aliran listrik bertegangan tinggi. Bagian dalam kepalanya terpanggang seketika, begitu juga dengan organ-organnya yang dilalui listrik—yang mencari jalan ke bumi.

Manusia babi itu pun rubuh.

"Huff, untung aku datang tepat waktu, Mbak!" Tumanggala jatuh terduduk. Telapak tangannya berdenyut nyeri. Ia merendamnya di air. Rupanya Ajian Gelap Nyampar masih terlalu berat untuk dikuasai. Ia memperhatikan sosok Sri Dewi yang berbaring tertimpa si manusia babi. "Eh? Mbak?"

Sri Dewi diam saja. Kepalanya masih terendam air.

"Mbak? Mbak? Mbak! Mbak masih hidup, 'kan??!"

***

"Hatsyiii!"

Sri Dewi bersedekap untuk menghangatkan diri. Badannya basah kuyup akibat pertarungan barusan.

"Aku sampai deg-degan, lho Mba," ucap Tumanggala di sampingnya. "Aku kira Mbak sudah lewat…"

"Itu gara-gara petirmu—hatsyi—hatsyi!" Sri Dewi menutupi mulutnya. "Aku ikut tersengat, tahu!"

"Maaf Mbak, maaf… Soalnya Mbak nempel dengan babi jadi-jadian itu."

Begitu menyadari Sri Dewi tak sadarkan diri, Tumanggala cepat-cepat menariknya keluar dari air. Ia sempat panik bukan main. Untungnya tak lama kemudian gadis itu terbatuk-batuk mengeluarkan air dari paru-parunya.

Sekarang mereka jalan perlahan menyusuri aliran sungai. Sri Dewi tak punya cukup tenaga memanjat tebing jurang. Ia ingin mencari jalan lain untuk bergabung dengan pasukan utama.

"Aku mau memantau situasi di depan dulu ya, Mbak," kata Tumanggala. "Khawatir kita disergap."

"Iya."

Tumanggala segera memanjat sebuah pohon, lalu melompat dari dahan ke dahan. Seperti kera saja.

Sri Dewi terus berjalan tergopoh-gopoh.

"Mbak! Mbak!" Tumanggala kembali. Ia lompat dari dahan pohon lalu berlutut di samping Sri Dewi.

"Ada apa lagi?"

"Ada—ada—ada perempuan yang mandi di sungai!" seru Tumanggala dengan wajah kemerahan.

Sri Dewi terdiam, gagal mencerna informasi tersebut.

"Perempuan asli atau perempuan jadi-jadian?"

"Asli tidak, ya…" Tumanggala mengusap-usap dagunya. "Ayo, coba Mbak lihat, mumpung masih mandi!"

Sri Dewi mengikuti adiknya menyusuri aliran sungai sampai mereka tiba di puncak air terjun kecil. Tumanggala memberi isyarat bahwa 'perempuan-perempuan mandi' itu ada di bawah sana. Mereka mengintip dengan hati-hati.

Benar saja, tampak tiga orang gadis yang membasuh diri di tepi muara air terjun. Membuat Sri Dewi bertanya-tanya sedang apa mereka di hutan ini.

"Tuh, 'kan? Tuh, 'kan?" seru Tumanggala penuh semangat.

Sri Dewi melirik adiknya itu, lalu menutupi kedua matanya. "Jangan suka mengintip!"

"Eh—tapi—aku bukan bermaksud mengintip, Mbak!"

"Kalau begitu lihat ke arah lain!" Sri Dewi memutar kepala Tumanggala.

"Ti—daaakk…" Pemuda itu bertahan.

Pergelutan itu membuat mereka terlambat menyadari hadirnya sosok lain di tempat itu. Saat Sri Dewi sibuk membekap rontaan Tumanggala, ia melihat seorang 'manusia' yang berpakaian seperti pejabat kerajaan, didampingi dua manusia babi.

"Sedang apa kalian di sini?" tanya si manusia yang kedua tangannya dalam posisi istirahat. Wajahnya pucat dan tak bersemangat, tapi nada suaranya dingin menusuk.

"…"

Melawan satu manusia babi saja sudah sulit, bagaimana caranya menghadapi dua sekaligus? Apalagi saat ini kondisi Sri Dewi masih kepayahan.

"Apa kalian dari desa sekitar?" tanya si manusia lagi.

Sri Dewi terenyak. Tampaknya pria itu tak tahu kalau ia adalah anggota bala tentara Medang.

"Begini. Saya adalah Aki Tirem, patih kepercayaan Sri Raja Wijayarama," Pria itu menepuk dadanya sendiri, lalu senyap. Sri Dewi dan Tumanggala menunggu ia melanjutkan perkataannya. Lalu ia berdeham, "Kalian sudah tahu siapa saya, kenapa masih berdiri seperti itu?!"

Sri Dewi dan Tumanggala bertukar pandang. Akhirnya sang gadis mengangguk ringan sebagai isyarat agar mereka mengikuti permainan pria itu dulu.

"Maafkan kami, Kanjeng Patih," ucap Sri Dewi seraya bersimpuh.

"Bagus," Aki Tirem mengangguk congkak. "Sebenarnya saat ini saya dalam perjalanan pulang setelah mencari gadis-gadis untuk dijadikan selir Sri Raja. Sayang hasilnya kurang baik. Hanya sedikit yang memenuhi persyaratan dari Sri Raja. Tapi saya lihat-lihat kalian manis juga. Saya yakin Sri Raja akan senang."

Tumanggala melirik ke arah Sri Dewi. Gadis itu tak meladeni, bermaksud agar dia diam saja dulu.

"Menjadi selir Sri Raja akan membawa kehormatan bagi keluarga kalian. Karena itu seharusnya kalian bersyukur."

"Tapi—"

Aki Tirem mengayunkan jarinya sebagai aba-aba bagi kedua pengawalnya. Manusia-manusia babi itu segera mendekati Sri Dewi dan Tumanggala, lalu mencengkram bahu mereka.

Sri Dewi dan Tumanggala berbicara dalam bisu, cuma saling melempar kode mata. Namun akhirnya mereka menurut, membiarkan dirinya digiring menuruni air terjun. Mereka bergabung dengan tiga gadis yang sudah selesai berpakaian. Ketiga gadis itu tampak tegang saat melihat Aki Tirem dan kedua pengawalnya.

"Waktunya melanjutkan perjalanan," kata sang patih pelan. "Tenang saja, di istana harem nanti kalian bisa mandi sepuasnya. Ada makanan enak dan pakaian bagus. Tempatnya juga nyaman. Oh ya, kalian dapat teman baru."

"Aku Sri Dewi," Gadis itu menangkupkan telapak tangan. Tumanggala mengikuti gerakannya, tapi tak berkata apa-apa. Ia segera menyadari apa yang pemuda itu khawatirkan, lalu menggantikannya. "Dia Tunggadewi."

Entah kenapa nama ledekan dari Narotama untuk kakaknya itu mendadak terlintas di benaknya.

"Saya Gendis," kata seorang gadis dengan wajah bulat mungil. Ia melihat kedua temannya yang terlalu sedih dan terlalu pemalu, sehingga ia yang memperkenalkan mereka. "Ia Anjani, ia Danastri."

"Sudah, sudah, jangan kelamaan," potong Aki Tirem seraya naik ke atas kuda. "Saya ingin kita keluar dari hutan sebelum gelap."

Gadis-gadis itu pun mematuhinya. Meski betisnya masih sakit, mereka jalan beriringan dikawal oleh kedua manusia babi.

Sri Dewi pelan-pelan mendekati Tumanggala. Ia berbisik, "Kita adalah rombongan gadis yang diambil dari orang tuanya untuk memuaskan birahi Wijayarama."

"Sepertinya begitu," Tumanggala mengerutkan kening, tampak berpikir keras.

"Tapi menurutku ini adalah keberuntungan. Sekarang kita bisa menyusup ke istana dan menghabisi Wijayarama."

"Iya…"

"Tenang saja, mereka kelihatannya tak mengenali kita."

"Justru itu!" desis Tumanggala. "Kenapa aku bisa dikira seorang gadis?!"

Sri Dewi memperhatikan adiknya. Rambut remaja itu tergerai panjang—cepolannya lepas di tengah pertarungan. Selain itu tak seperti mayoritas prajurit Medang, ia mengenakan baju sehingga dadanya tidak terlihat.

Gadis itu pun mengangguk kagum, "Ternyata kamu cantik juga ya, Adikku."

"Apa?!"

"Eh, eh, jangan marah. Justru itu penyamaran yang bagus!"

"Yah… iya sih…"

Semua terjadi begitu cepat. Tapi mungkin ini bagian dari petunjuk dewata untuk membantu kemenangan Medang.

***

Di tempat lain, Airlangga dan prajuritnya masih berjuang menghadapi serangan gerilya dari manusia babi. Makhluk-makhluk itu bisa menghilang ke dalam hutan secepat mereka muncul. Prajurit yang terpancing mengejar ke gelapnya pepohonan hanya akan bernasib buruk. Situasi tersebut membuat bergerak maju jadi tak memungkinkan. Hanya saja semakin lama pertempuran berlangsung, stamina prajurit semakin terkuras. Terlebih saat malam datang. Hal buruk akan terjadi.

"Mundur! Mundur dulu!" seru Narotama. "Hasin! Cari tanah yang lebih landai untuk membuat barikade pertahanan!"

"Apa?!" Airlangga tidak terima. Ia ingin mencari Sri Dewi. Sayangnya ia juga tak bisa meninggalkan tanggung jawab sebagai pemimpin tertinggi bala tentara. Mau tak mau ia harus tetap bersama mereka.

Ia harap Sri Dewi baik-baik saja.

avataravatar
Next chapter