Berlian Kamarisa Evan, gadis berusia dua puluh lima tahun yang saat ini menjabat sebagai CEO Indah Jaya, perusahaan di bidang produk fashion. Berlian gadis yang selalu melakukan sesuatu dengan sempurna. Segala sesuatunya harus terlihat perfect di matanya. Tidak pernah menangis, selalu kuat mendapatkan tekanan dari mana-mana, selalu melakukan apa-apa sendiri. Berlian perempuan, tapi seolah tidak membutuhkan laki-laki di sisinya, karena ia seolah bisa menggenggam dunia dengan tangannya sendiri. Namun di balik itu, Berlian adalah gadis yang rapuh, memiliki penyakit psikologi yang parah membuat hari-harinya tampak hancur. Beberapa kali Berlian ingin menyerah dengan hidupnya, hingga pertemenuannya dengan pangeran berjas putih, membuat hidupnya kembali penuh warna.
eorang perempuan cantik berjalan dengan langkah tegap, dagu diangkat ke atas terkesan angkuh dan menenteng tas dengan brand terkenal, yang selalu dipakai bintang internasional. Gadis yang memakai pakaian formal itu menapaki lantai mewah perusahaan Indah Jaya. Gadis itu adalah Berlian Kamarisa Evan, CEO perusahaan Indah Jaya. Di umurnya yang masih dua puluh lima tahun, Berlian sudah menjabat tahta tertinggi perusahaan. Setidaknya sudah tiga tahun ini ia mengemban tugas yang diamanahkan oleh kakak serta kakak iparnya.
Langkah kaki Berlian dan suara ketukan sepatu hak tinggi membuat beberapa karyawan yang berpapasan menundukkan kepalanya dan menyapa sopan. Berlian balas menganggukkan kepalanya. Meski Berlian bukan tipe bos yang ramah dan berbaur dengan karyawan, setidaknya Berlian bukan CEO dingin dan angkuh pada karyawannya.
Hanya dengan lawan proyeknya Berlian akan menunjukkan sisi arogannya. Sejak menjabat, Berlian sudah sangat ambisius untuk membawa perusahaan ke puncak kejayaan. Tidak peduli apapun yang dia lewati, Berlian akan berusaha. Ibaratnya, meski ia tidak sanggup berdiri, ia masih bisa duduk memimpin perusahaan, kalau ia tidak bisa duduk, ia masih bisa meski dengan berbaring. Indah Jaya ada di sebagian hatinya, karena Indah Jaya adalah amanah dari orang yang ia sayangi.
Seorang pria berlari menyusul Berlian dengan tergesa-gesa. Pria itu berusaha menyamakan langkah kakinya dengan atasannya. Pria itu adalah Bian, pria maskulin berbadan sedikit berisi, berusia dua puluh tujuh tahun yang merupakan sekretaris Berlian.
“Terlambat lagi?” tanya Berlian melirik Bian sekilas.
“Maaf, Bu. Tadi di jalan macet,” jawab Bian menundukkan kepalanya sedikit.
Berlian menuju ke lift, tangan Bian dengan cekatan terulur memencet tombol agar lift terbuka. Kedua orang itu menuju ke lantai teratas di mana ruangan CEO berada.
“Bu, merek baru yang Bu Berlian usulkan ditolak oleh direksi,” ucap Bian memberitahu.
“Kenapa?”
“Karena merek yang lama saja sekarang sedang mengalami penurunan. Tidak tepat saat meluncurkan merek baru, mereka juga pesimis tidak akan mendapatkan investor untuk merk baru ini,” jelas Bian.
“Adakan rapat sepuluh menit lagi!” titah Berlian. Bian menghentikan langkahnya saat Berlian masuk ke ruangannya. Pria itu segera berlari untuk memberikan pengumuman pada direksi untuk datang ke ruang rapat.
Tabiat buruk Berlian selalu mengadakan rapat mendadak. Sedangkan lawan debatnya yang tidak menyiapkan bahan selalu mati kutu dibuatnya.
Berlian duduk di kursi kebesarannya, gadis yang memiliki ciri khas berkuncir kuda itu menyandarkan tubuhnya di kursinya. Semalam ia begadang karena pekerjaannya yang belum selesai, dan ia terpaksa harus bangun pagi untuk bekerja lagi. Selama tiga tahun ini, ia melakukan rutinitas yang sangat membosankan. Bangun pukul enam pagi untuk bersiap bekerja, pulang jam lima, agenda di luar, pulang, kerja lagi dan tidur jam satu pagi. Selama tiga tahun ia bagai robot yang tidak bisa menikmati hidupnya sendiri.
Namun mau bagaimana lagi, semua itu harus ia lakukan demi perusahaan yang sudah dibangun kakaknya sejak sepuluh tahun lalu. Kakaknya sudah pergi, sedangkan tidak ada yang menggantikannya selain dirinya.
Berlian melihat bolpoin di mejanya yang tergeletak miring, gadis itu membenarkan letak bolpoin berwarna hitam agar lebih sempurna. Tidak sengaja matanya melihat lembar dokumen yang tertekuk, gadis itu mengambilnya dan meluruskannya.
Saat meletakkan kembali dokumennya, ada setitik debu yang terlihat matanya. Tangan Berlian dengan cekatan mengambil tisu untuk mengelap debu itu. Setelahnya, Berlian membuang tisu ke tempat sampah. Namun sayangnya, tempat sampah itu berdiri tidak sesuai pada tempatnya.
Dengan lelah, Berlian berdiri, gadis itu mendorong tempat sampah dengan kakinya agar posisinya simetris dengan kaki meja.
“Akhhh!” Berlian mengerang sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Gadis itu memang terlihat seperti CEO berwibawa pada umumnya. Namun siapa sangka, Berlian adalah gadis pengidap penyakit psikologi gangguan obsesif-kompulsif yang cukup parah. Berlian selalu cemas tatkala melihat barang-barang yang diletakkan tidak sesuai tempatnya. Barang sekecil apapun kalau mengganggu matanya, pasti akan dibenarkan. Hal itu sangat melelahkan, Berlian merasa capek setiap kali merasa cemas dengan hal-hal yang sepele.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu terdengar. Berlian menyuruh sang pengetuk untuk masuk. Bian datang membawa satu dokumen di tangannya.
“Bu, sebentar lagi rapat seperti yang Bu Berlin ucapkan,” ujar Bian.
“Bian, benerin dasimu!” titah Berlian. Berlian memegangi kepalanya yang terasa sakit. Baru saja masalah sampah selesai, ia malah melihat dasi Bian yang miring.
“Ah iya, maaf,” kata Bian. Bian mendekati Berlian dan meletakkan dokumen di meja. Pria itu bergegas membenarkan letak dasinya.
“Saya menyuruh kamu membenarkan dasi kamu, kenapa kamu malah meletakkan dokumen dengan tidak simetris?” tanya Berlian kencang membuat Bian tersentak kaget.
Bian membulatkan matanya, “Bagaimana saya bisa membenarkan dasi kalau tangan saya memegang dokumen,” ucap Bian sedikit protes.
“Ya saya kan sudah ribuan kali bilang sama kamu, taruh dokumen dua senti dari sisi depan meja. Ini garis mejanya, dan kamu meletakkan lebih dari empat senti, juga kamu meletakkan tidak lurus, tapi miring,” oceh Berlian mengambil dokumen dan meletakkan dengan benar.
“Astaga, Bu. Sampai kapan Bu Berlin akan begini?” keluh Bian yang sudah lelah dengan Berlian.
Tiga tahun sudah Bian merasa tersiksa dengan Berlian yang memiliki gangguan aneh itu. Dan selama tiga tahun pula ia harus menebalkan mentalnya agar tidak jatuh bersama Berlian. Semakin lama bukannya semakin sembuh dan sehat, Berlian malah semakin parah dan tidak waras. Bian berani bertaruh, tidak akan ada yang betah menjadi sekretaris Berlian kecuali dirinya.
“Kamu pikir saya mau begini? Saya juga tidak mau,” tanya Berlian sekaligus menjawabnya sendiri. Kalau boleh mengeluh, Berlian akan mengelus setiap harinya. Bahkan kalau dijadikan buku, keluhan Berlian akan menjadi buku tertebal di dunia. Namun Berlian hidup bukan untuk mengeluh, ia harus tetap berjalan untuk menggapai cita-cita kakaknya memajukan perusahaan Indah Jaya.
“Besok jadwal ke Psikolog. Saya harap Bu Berlian akan datang,” kata Bian.
“Ya, saya besok akan datang. Sekarang ayo ke ruang rapat.”
Berlian membenarkan outer hitam yang dia kenakan, perempuan itu menyambar laptopnya dan bergegas keluar dari ruangannya. Sedangkan Bian, pria itu mengikuti Berlian dengan bibir berkomat-kamit. Bian berdoa, semoga di rapat kali ini tidak ada korban dari keganasan Berlian. Kalau mode serius, Berlian bak singa yang siap melahap mangsanya hidup-hidup. Apalagi kali ini posisinya direksi tidak setuju dengan keputusannya, sudah pasti tidak akan ada yang selamat pagi ini.
Bian mengambil hpnya, pria itu dengan julid mengirimkan pesan di grup para direksi.
Bian : Siapkan mental kalian, Ratu Singa akan datang.
Di ruang rapat, tidak ada yang berwajah santai. Semua berwajah tegang karena Bian sudah mengirimkan sinyal tanda bahayanya.