Pov: Thomas
Sudah satu jam hujan belum juga mereda dan Vincent belum pulang. Sudah empat kali aku berusaha menghubunginya lewat telpon, tapi dia belum juga menjawabnya.
Apa kataku, seharusnya dia mendengarkanku untuk menukar motornya denganku. Atau setidaknya dia 'kan bisa mengabariku kalau sedang berteduh di jalan, bikin cemas saja.
Ponselku berdering tepat ketika aku baru saja selesai mandi, bahkan handuk putih masih menggantung di kepalaku.
Buru-buru aku melangkah ke ruang tengah ke arah sumber suara sekaligus tempat terakhir aku meninggalkan ponselku di atas meja.
Sesuai harapanku, Vincent akhirnya menelponku kembali.
"Kau di mana?" tanyaku sambil berjalan ke kamar, bersiap untuk berpakaian.
"Aku pulang setelah hujannya berhenti. Kamu gak perlu nunggu aku, Tom. Makan aja duluan," jawabnya dari ujung telpon.
"Ya tapi kau di mana sekarang?" tanyaku lagi karena dia tidak menjawabnya.
"Aku di ... rumah teman."
"Hah? Teman yang mana? Kupikir aku satu-satunya temanmu."
"Nanti kuberitahu begitu aku pulang," katanya.
Samar-samar aku bisa mendengar beberapa suara di sekitarnya, suara perempuan. Kuatur volume telpon lebih besar, lalu fokus menajamkan pendengaranku.
Olvie, ambil handuk di belakang, di tumpukan setrikaan, biar mama siapkan pakaiannya. Pa, pinjam baju, ya!
Olvie? Mama? Ah, dia sedang di rumahnya Olvie rupanya, kok bisa? Berteduh dari kampus ke rumah Olvie itu 'kan ... jauh.
Seketika rasa cemasku luntur perlahan. Wah, aku bisa biarkan dia maju sendiri tanpa bantuanku kalau begini ceritanya. Haha.
"Oke, aku paham. Pulang malam juga ngga apa-apa," sahutku, lalu segera mengakhiri pembicaraan kami.
Aku tersenyum. Haruskah aku menyusul ke sana? Ah, tidak. Aku menggelengkan kepala mengusir keinginan di pikiranku untuk menyusulnya. Aku tidak boleh mengganggu mereka.
Usai makan, aku ke kamar Vincent untuk menyiapkan obat dan vitamin hariannya. Kalau menurut percakapan yang kudengar tadi, sepertinya Vincent sempat kehujanan. Berarti aku juga harus menyiapkan Paracetamol untuk antisipasi kalau dia demam.
Aku duduk di ujung tempat tidur setelah selesai menyiapkan yang diperlukan. Tidak pernah kusangka ternyata Vincent cukup berani ke rumah orang lain sendirian terutama cewek, atau mungkin sebenarnya dia punya bakat terpendam? Haha.
Sekitar satu jam kemudian, hujan sudah berhenti sepenuhnya. Aku keluar untuk membersihkan genangan-genangan air di depan pintu, juga di garasi.
Tepat ketika aku sedang membuang air hasil perasan kain pel dalam ember, aku mendengar suara motor Vincent. Benar saja, tiga detik kemudian dia sudah berhenti di depanku.
"Duh, yang habis ngapel udah pulang aja. Kok cepet amat, Cent?" godaku sambil membukakan pintu gerbang.
"Apaan, sih?" jawabnya. Melewatiku masuk ke halaman.
Aku tertawa, "Udah makan?"
Vincent menurunkan standar motornya, kemudian melepas helm. "Udah, kamu gak nunggu aku, 'kan?"
"Nggalah. Kau pake baju siapa?"
Dia melihat bajunya sebentar, lalu masuk ke dalam rumah. Aku mengikutinya dan duduk di sofa ruang tengah.
"Tadi aku di rumah Olvie," akunya tanpa kutanya lebih dulu.
"Iya, aku tahu."
Vincent menoleh padaku tak percaya, "Kok tahu?"
"Tahu aja."
"Oh, ya udah."
"Terus?"
"Tadi kamu bilang udah tahu, terus apanya?" katanya bingung.
Aku tertawa kecil, "Cuma itu yang kutahu, kedengaran suara mamanya Olvie waktu kau menelpon."
"Oh, kupikir kamu cenayang," katanya polos, disusul tawa kami.
"Gak sengaja tadi aku bertemu dengannya, katanya papanya gak bisa jemput. Jadi, aku antar pulang. Eh, tiba-tiba hujan deras," jelasnya.
"Kehujanan?"
"Iya."
"Berdua?"
"Iya."
"Romantis?"
"Iya."
"Ah, bukan," koreksinya.
Aku cekikikan geli melihatnya tidak bisa berkata-kata karena malu. "Jadi apa?"
"Jadi ... ya basah."
"Lalu dipinjamkan pakaian dan diajak makan di sana? Benar, 'kan?"
"Binggo, itu tahu," katanya sambil menganggukkan kepala.
"Orang tua Olvie gimana? Baik padamu, 'kan?"
Dia menggaruk belakang kepalanya, "Kamu pikir aku datang ke sana sebagai apa? Aku kehujanan karena mengantarnya pulang, tentu aja mereka baik padaku."
"Oh, ya, benar juga."
Kuangkat dua jari kananku membentuk simbol peace padanya. Vincent tersenyum kecil, lalu mengambil ponselnya yang menyala karena notifikasi masuk. Kemudian, dia bangkit dan menuju kamarnya.
"Masih jam delapan, Cent. Masa udah mau tidur?" cegahku, "Push rank, yuk!"
Dia menghentikan langkahnya dan berbalik, "Nanti, ya, Tom. Olvie minta ditelpon."
"Ah.. Oke, silakan," kataku sambil memberikan thumb up padanya tanda mendukungnya.
"Oh, iya. Obatmu udah kusiapkan di meja!" teriakku sebelum Vincent menutup pintu kamar.
"Makasih," sahutnya.
Aku menghela napas dalam satu kali. Sepertinya perasaan Vincent pada Olvie mulai tumbuh, batinku. Bukankah seharusnya aku yang paling senang? Tapi ada perasaan janggal dalam hatiku yang aku sendiri tidak paham.
Aneh, pokoknya aneh.
Kurebahkan diriku di sofa. Ingin main game, tapi tiba-tiba saja kehilangan minat. Tanpa kusadari aku membuka chat Whatsapp Olvie.
Akhir-akhir ini dia tidak gupek lagi mengirimiku pesan untuk menanyakan Vincent. Mungkin dia sudah berani berinteraksi langsung dengan Vincent. Buktinya saja sekarang mereka sedang telponan.
Kenapa rasanya aku agak kesal, ya? Ah, mungkin karena mulai sekarang Vincent akan sibuk dengan Olvie. Mungkin aku hanya merasa akan kesepian. Ya, pasti begitu.
Beberapa menit kemudian, aku keluar dengan sebungkus rokok dan korek di tanganku. Tidak kemana-mana, hanya duduk di halaman depan sambil menikmati hembusan angin yang lembab sehabis hujan.
Terdengar suara sejumlah kodok sedang bersahut-sahutan yang entah dari mana, seolah belum rela melepas kepergian hujan yang sudah berhenti dari tadi.
Dua buah bekas puntung rokok berserak di tanah di sebelah tempatku duduk. Huh... bosan sekali rasanya.
Lagi-lagi tanganku bertindak di luar kemauanku. Kembali kubuka chat dengan Olvie, lalu mulai mengetikkan sebuah pesan.
Anda:
Lagi apa, Vie?
Bodoh sekali, jelas aku tahu dia sedang apa, tapi masih kutanyakan.
Lima menit kemudian, Olvie membalasnya.
Si Tukang Nyubit:
Lagi tiduran aja, Kak. Kenapa? :D
Anda:
Loh, udahan telponan sama Vincent-nya?
Si Tukang Nyubit:
Udah, Kak. Hehe
Kok Kak Thomas tau?
Anda:
Tau aja, aku kan cenayang. B-)
Si Tukang Nyubit:
Hahahaha dasar Mbah Dukun Thomas!
Anda:
Gimana dengan Vincent? Tambah lancar, ya, keliatannya.
Si Tukang Nyubit:
Wah, bener dukun! Haha
Iya, Kak. Kak Vincent sedikit beda, aku seneng hari ini dia nganterin aku pulang padahal aku ga minta. Kak Vincent udah cerita 'kan, Kak?
Haha. Kelihatannya Olvie senang sekali, lihat saja bagaimana dia cerita, sangat bersemangat.
Anda:
Iya, udah. Berarti sekarang kalian ngga butuh aku lagi, dong? :(
Si Tukang Nyubit:
Masihlah, Kak. Masa habis manis, sepat dibuang?
Kak Thomas 'kan teman baiknya Kak Vincent, berarti teman baikku juga. :D
Hm... Teman, ya?
Suara pintu yang terbuka menyadarkanku. Sejak kapan aku melamun? Vincent berdiri di ambang pintu dengan satu tangannya yang masih memegang knop pintu, dia sudah berganti pakaian.
"Kamu abis ngerokok, ya?" Tangannya yang lain menutup hidup sekaligus mulutnya.
Aku tersenyum, lalu mengangguk mengiyakan.
"Masuk, Tom, kalau udah selesai. Banyak nyamuk di luar." Vincent kembali ke dalam dan langsung menutup pintu.
Aku berdiri untuk membersihkan sebagian abu rokok yang tercecer di baju dan celanaku. Kucubit kerah kaosku dan mengendusnya.
"Harus ganti baju ini mah," gumamku.
Bajuku bau asap rokok cukup pekat. Vincent bisa merasa tidak nyaman dengan bau ini. Meskipun, aku tahu betul dia tidak akan mengatakannya langsung padaku. Biasanya dia hanya menghindarinya.
Aku kembali ke sofa usai bertukar pakaian. Vincent sudah standby dengan game-nya.
"Jadi push rank, gak?" tanyanya.
"Ayok."
Sambil menunggu loading game, aku membuka topik pembicaraan. "Cent, kau udah ada perasaan dengan Olvie?"
"Belum," jawabnya singkat. Matanya masih fokus tertuju pada layar ponselnya yang diputar landscape.
"Kuperhatikan sikapmu berubah padanya."
"Berubah gimana?"
"Iya, kau terlihat lebih perduli. Sebelumnya bahkan kau selalu mengabaikannya," jelasku.
"Aku hanya ... sedang berusaha. Aku udah memutuskan untuk mendengarkan saranmu waktu itu. Aku mau mencobanya."
Kini dia menoleh ke arahku. "Bukannya ini yang kamu harapkan, Tom?"
Jujur saja, aku sedikit tersentak mendengarnya. Yang dikatakannya itu memang benar, aku menginginkan dia membuka hatinya untuk Olvie, tapi tidak kusangka akan secepat ini dia mengambil keputusan.
"Ya, kau benar."
Aku tidak berani menatapnya kembali. Kenapa aku jadi seperti ini? Ada timbul sebuah perasaan jauh dalam hatiku, perasaan menyesal sekaligus rasa bersalah.
"Kamu yang invite, ya," kata Vincent setelah melihat layar ponselku yang sudah masuk kedalam game moba analog ini.
"Tom?" Panggilnya setelah sempat hening beberapa saat.
"Hm?" Aku sudah fokus membuka peti-peti hadiah dalam game.
"Sepertinya aku menyukai keluarganya," ungkapnya pelan, namun masih terdengar olehku.
"Keluarganya Olvie?" tanyaku memastikan.
"Iya."
"Maksudnya gimana, tuh? Kau naksir saudara perempuannya?"
"Bukan. Dia cuma bersaudara dengan seorang adiknya, laki-laki."
Kemudian dia melanjutkan, "Maksudku, keluarganya; mamanya, papanya, dan Reihan adiknya. Aku menyukai mereka, rumah itu hangat, ramai, sangat harmonis dan berwarna. Kamu mengerti maksudku, 'kan?"
Ya, aku paham sekali maksudnya. Kulirik dia, menalar ekspresi yang tersirat saat dia mengatakannya. Kedua tangannya yang sedari tadi memegang ponsel sudah diturunkan ke atas pahanya yang terlipat.
"Syukurlah," ujarku.
Vincent memandangku dengan heran. Aku membalasnya dengan seringai.
"Kau bisa sering-sering main ke sana, sekalian PDKT dengan Olvie."
Dia mengerutkan keningnya,. "Ngaco, ah!" Lalu kembali fokus pada ponsel.
Dua jam berlalu, kami berhenti usai ronde game ke-3.
"Hah... Capek kalah terus," keluhku kesal.
Kulihat Vincent melemparkan ponselnya ke samping, lalu menyandarkan punggungnya di sofa.
"Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan mata terpejam, wajahnya mengernyit.
"Setengah dua belas, kurang dikit."
"Hm.."
Dia meletakkan punggung telapak tangannya di leher sebentar, lalu menghela napas kasar.
"Demam?" tanyaku.
"Sedikit. Kepalaku sakit."
"Obatmu udah diminum? Tadi udah kusiapkan penurun demam juga."
"Belum, tadi kan belum demam," jawabnya enteng.
"Ya udah, minum sekarang dan langsung tidur, gih."
"Ng," jawabnya tidak bertenaga.
Kemudian, dia bangun mengambil ponselnya dan langsung masuk ke kamarnya. Aku sendiri belum cukup mengantuk untuk ikut tidur. Namun mengingat besok ada kelas pagi, kuurungkan niatku untuk menyeduh kopi.
* * *
Kalau ada yang bertanya padaku hari apa yang paling kubenci, aku akan menjawabnya hari Jumat. Ya, hari ini. Kenapa? Karena hari Jumat adalah hari di mana aku ada mata kuliah sampai tiga kelas, dari pagi sampai sore dan hanya ada jeda satu jam saja untuk makan siang, itu pun kurang bagiku.
Rasanya malas sekali. Aku masih ingin bercinta dengan selimut, tapi alarm dan jam yang terus berputar memaksaku untuk segera bangun.
Kupaksakan kakiku melangkah keluar kamar menuju toilet sambil mengulet ke segala arah, sesekali aku menguap.
Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, aku merasa lebih segar. Sepertinya potongan-potongan nyawaku yang terpencar sudah terkumpul sepenuhnya.
Aku sempat terlonjak kaget saat melihat ada seseorang yang duduk di ruang makan, tidak jauh dari toilet. Aku tidak melihatnya saat ke toilet tadi, dan lampunya pun masih mati.
"Cent?" panggilku setelah yakin dialah yang sedang duduk di sana.
"Ng?" jawabnya tanpa menoleh maupun mengubah posisi duduknya. Satu tangannya sedang menopang kepala dengan siku tangan di atas meja sebagai tumpuan.
Kutekan saklar lampu dan mengampirinya. Sebuah gelas bening berisi setengah penuh air berada atas meja, di hadapannya. Matanya terpejam.
"Kau tidur di sini?"
"Enggak lah," jawabnya datar.
Oh, cuman minum rupanya, pikirku.
"Kepalaku pusing, berat rasanya," akunya.
"Masih demam?" Kuulurkan tanganku dan memeriksa suhu tubuhnya, tidak terlalu panas.
"Cuma segini-segini aja dari semalam," katanya.
Aku mengangguk. "Ngga usah dipaksain kalau ngga kuat kuliah, istirahat aja hari ini."
"Gak parah, kok, tenang aja."
Sepanjang kelas pertama, Vincent hanya menaruh kepalanya di atas meja yang beralaskan tasnya. Dia memilih duduk di kursi pojok paling belakang yang agak terhalang oleh sisi tembok yang menonjol, sedangkan aku duduk di sebelahnya.
Sesekali terdengar dia batuk.
"Wah, baru kehujanan kemarin langsung flu," kataku.
Dia terlihat berpikir sejenak, lalu mengangkat kepala dan tangannya merogoh ke dalam tas di depannya. Tiga detik kemudian, sebuah masker wajah berwarna hijau tosca dikeluarkannya.
Dia mengaitkan kedua ujung masker itu ke telinganya, lalu kembali menjatuhkan kepalanya di atas meja.
"Gawat kalau sampai kamu ketularan, Tom."
Terlihat kedua matanya yang agak memerah itu menyipit dan melengkung, menggambarkan bahwa dia sedang tersenyum dari balik sepotong kain hijau yang menutupi setengah wajahnya.
"Aku mah strong, ngga gampang sakit," ujarku.
Beberapa kali Vincent melihat ponselnya, sepertinya sedang bertukar pesan dengan seseorang, tapi ekspresi matanya terlalu serius jika itu Olvie yang menjadi lawan chatting-nya.
"Sejak kenal Olvie mah beda, ya. Dulu mana pernah kau main ponsel apa lagi chatting-an saat di kelas," godaku.
Tidak ada respon darinya. Jari-jarinya terus bergerak seraya membalas pesan. Segitunya sampai tidak mendengarku.
Mungkin karena dia sedang tidak enak badan kali, ya?
Setengah jam sebelum kelas berakhir, Vincent ijin keluar untuk mengangkat telpon. Dia bilang sekalian ke toilet juga. Mentang-mentang Olvie sudah selesai kelas, seenaknya saja dia menelpon Vincent, pikirku.
"Mau kutemani?" tawarku.
"Gak usah, kayak cewek aja."
Aku menyeringai sambil tertawa mengejek. "Iya.. iya.."
Hanya tinggal satu kelas terakhir nanti siang. Semangat!
* * *