webnovel

The power of sword lessons

Asuka, seorang putri raja dari kerajaan Teujin. Ia sangat berbakat dalam ilmu beladiri terutama pedang. Sampai suatu ketika takdir membawa untuk berpetualang demi menyelamatkan sosok yang sangat berharga dalam hidupnya.

LambangDWSN · Fantasi
Peringkat tidak cukup
6 Chs

Chapter 2 : Pedang yang menangis

Malam mulai terasa dingin Asuka terus dihantui firasat buruk yang membuatnya nyaris tidak bisa tidur semalam. Dia hanya memejamkan matanya dan berharap dirinya akan segera tertidur. Suatu ketika ia bermimpi tentang ibunya. Ia melihat ibunya perlahan menghilang menjadi cahaya. Asuka pun terbangun. Tidak seperti biasa pagi harinya Asuka langsung pergi menuju ke kamar ibunya. Ia melihat ibunya terbaring lemah di atas tempat tidur. Asuka nampak tak tega melihat ibunya.

"Ada apa bu? Apa ibu sakit?" tanya Asuka murung.

"Ibu tidak apa-apa, ibu hanya sedikit lemas" jawab ibunya dengan nada lemas.

Tiba-tiba Ayahnya memanggil, "Asuka kemarilah sebentar ada yang ingin Ayah bicarakan dengan mu" kata Ayahnya. "Sebentar Ayah..." kata Asuka sambil memegang tangan ibunya.

"Sudah tidak apa-apa" ujar ibunya lirih.

Dia sampai di ruang tengah ditempat Ayahnya berada. Asuka langsung bertanya kepada ayahnya.

"Ayah, sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Asuka keheranan.

"Ikuti Ayah, ada yang ingin Ayah bicarakan dengan mu."

"Kemana?" tanya Asuka.

"Cepat ikut saja."

Asuka mengikuti Ayahnya dari belakang. hingga sampai di ruang penyimpanan buku. Ayahnya langsung menarik salah satu buku di sebuah rak. Tiba-tipa saja terbuka sebuah pintu menuju ruang rahasia. Ruangan itu tidak besar, kecil saja. Banyak guci-guci dan barang-barang antik lain berjajar di masing-masing sisinya. Semuanya berdebu. Ornamen dindingnya sangat khas Kerajaan Teujin. Ada sebuah meja yang di atasnya terdapat perkamen bergulung-gulung. Juga berdebu. Terlihat sekali bahwa ruangan ini sudah tak pernah dimasuki selama bertahun-tahun. Asuka sendiri tak pernah memasukinya seumur hidup. Istana Kerajaan Teujin terlalu besar untuk dieksplorasi seorang diri.

Leyasu mempersilahkan Asuka untuk masuk terlebih dahulu, kemudian setelah itu ia menyusul. Leyasu tidak langsung mengunci pintu, akan tetapi ia mengamati seluruh ruangan terlebih dahulu, sebab sudah lama sekali ia tidak memasuki ruangan ini. Sudah bertahun-tahun ia tidak memasuki ruangan tersebut.

Baru kemudian ia mengunci pintu.

"Ayah akan berkata sesuatu kepadamu," ujarnya memulai pembicaraan.

"Apa yang ingin Ayah katakan?"

Ayahnya menghela napas perlahan. "Jauh sebelum kau lahir, telah terjadi peperangan yang sangat dahsyat. Perang itu merupakan perang antara kerajaan Teujin melawan kerajaan Inazuma. Ayah berhasil menghentikan perang tersebut. Semua orang mengagung-agungkan Ayah karena hal itu. Tapi sebenarnya Ayah bisa melakukannya berkat ibumu."

Asuka mengangguk. "Ya, aku tahu itu. Buku-buku tentangnya ada puluhan banyaknya di perguruan."

Leyasu mengangguk. "Ibumu melepas kristal kekuatan yang ada di dalam tubuhnya ke dalam dua belas pedang yang Ayah miliki. Kau tahu itu. Tapi yang kau dan kebanyakan orang tidak mengerti, perbuatan ibumu itu mempunyai efek samping, dan efek sampingnya itu baru terjadi sekarang ini; ibumu jatuh sakit."

Asuka terkejut. "Apa? Itu berarti...."

"Ya, kita harus mengembalikan kristal itu secepatnya. Kalau tidak, ibumu akan mati." Mata Leyasu memancarkan kesedihan tak terhingga. "Hanya ini satu-satunya cara untuk menyembuhkan ibumu."

"Satu-satunya?"

Leyasu mengangguk. "Dengan mengembalikan kristal itu maka ibumu pasti sembuh. Karena kristal itu merupakan belahan dari jiwa ibumu" kata Ayahnya pelan.

"Lalu kenapa Ayah tidak mengembalikannya?" tanya Asuka sedih.

"Ayah menyimpannya secara amat rahasia dan terpisah di dua belas negara untuk melindungi Kristal itu. Kristal itu tidak bisa langsung dikembalikan. Perlu beberapa dekade untuk mengurangi pancaran energi dari kristal itu. Kristal itu memancarkan energi yang terlalu kuat untuk disimpan disatu tempat sehingga dapat membahayakan orang-orang disekitarnya. Pemimpin-pemimpin negara tersebut bahkan tidak tahu kalau ada barang pusaka itu di wilayahnya. Sayangnya sulit bagi Ayah untuk mengambilnya di usia Ayah sekarang ini."

"Kalau begitu aku yang akan mengambilnya," ujar Asuka yakin. Ia kini mengerti maksud Ayahnya memanggilnya kemari. "Ayah jangan kawatir. Aku pasti bisa mengambil kristal milik Ibu. Aku bersumpah akan melakukannya. Percayalah."

Leyasu menghembuskan napas panjang. "Baiklah, tapi selesaikan ujian mu dulu."

"Ah, kalau soal itu aku...." Asuka menggaruk-garuk kepalanya.

"Lakukan saja!" kata Leyasu tegas.

Asuka menatap mata Ayahnya. Sejenak mereka saling pandang. "Baik," kata Asuka.

"Sekarang yang Ayah khawatirkan adalah adikmu."

"Ah, pecundang itu...." Asuka memutar kedua bola matanya. "Biarkan ia tidak tahu, agar ia aman dalam ketidaktahuannya, dalam kedunguannya."

Leyasu memandang Asuka sejenak. Mengangguk. "Tutup pintunya kembali," katanya.

Kemudian ia segera meninggalkan ruangan itu dengan langkahnya yang besar-besar. "Dan jaga perkataan mu agar ini tidak diketahui adikmu," tambahnya.

Asuka tertawa kecil.

Ketika langkah kaki Ayahnya sudah tidak terdengar, Asuka segera meninggalkan ruangan itu.

Ternyata adiknya mendengarkan pembicaraan kakaknya dan Ayahnya. Sejak awal ia memang sudah bersembunyi dibalik lukisan besar di ruangan itu. Karena ruangan itu gelap Kingga dengan mudah menyelinap. "Kakak, biarkan aku yang menggantikan Kakak!" kata Kingga dengan suara keras.

Menerima teriakan yang mungkin berkekuatan tiga desibel itu persis di depan wajahnya, Asuka mencoba bersabar. "Kingga, maaf Kakak tidak bisa mengabulkan permohonan mu itu," katanya. "Maafkan Kakak karena tidak bisa mengabulkan setiap keinginanmu," tambahnya.

Kini Kingga seperti mau menangis tak terkendali. "Kakak, Ayah, Ibu, bahkan semua orang selalu saja menganggap ku lemah. Kita lihat saja, aku akan melawan Kakak saat ujian nanti, dan aku pasti akan mengalahkan Kakak," katanya. "Siapa yang menang dia yang pergi."

Asuka menahan geram. "Kau ini benar-benar...."

"Aaaaaahh...!!!" jerit Kingga sambil berlari meninggalkan kakaknya seorang diri. Kini teriakannya mungkin empat desibel. Sebentar lagi ia bisa mengalahkan auman singa muara.

"Kingga...," kata Asuka lirih.

Diperguruan itu memang sering diadakan ujian pertarungan untuk menentukan ranking prajurit. Ujian tersebut dilakukan dengan mengunakan senjata yang terbuat dari kayu.

Saat ujian dimulai Kingga dapat mengalahkan lawan-lawannya dengan sangat mudah. Mereka terpaku melihat kemampuan Kingga. Tak ada seorang pun yang pernah melihatnya sehebat itu. Sensei Tokaido, gurunya selama ini, hanya bisa terlongo heran melihat kelincahan Kingga di arena. Peringkat Kingga yang awalnya paling rendah langsung naik derastis ke posisi nomer dua. Itu artinya Kingga hanya perlu melawan kakaknya untuk mendapat peringkat pertama.

"Kingga, hentikan sebelum terlambat," teriak Asuka.

"Aku tidak akan pernah menyerah." Kingga mengeluarkan pedangnya.

"Maafkan Kakak," kata Asuka sambil mencabut kedua pedangnya dan berlari ke arah Kingga.

Kingga pun mengeluarkan kemampuan yang sesungguhnya. Mereka bertarung dengan segenap kekuatan mereka hingga orang-orang yang melihat sangat terkejut karena belum pernah melihat pertarungan sedahsyat ini.

"Ternyata selama ini kau menyembunyikan kekuatanmu yang sesungguhnya. Mengapa kau melakukan ini?" kata Asuka sambil bertahan menangkis serangan-serangan Kingga.

"Kakak...!!!" teriak Kingga sambil melontarkan serangan secara bertubi-tubi.

"Kingga, hentikan semua kekonyolan ini! Kakak tidak mau melukaimu!" kata Asuka sambil terus bertahan.

"Aku tidak akan pernah menyerah," kata Kingga sambil terus menyerang.

"Maafkan Kakak, Kakak tidak punya pilihan." Asuka melontarkan serangan.

Kingga terus menangkis dan membalas serangan Asuka. Asuka pun mulai memegang pedang di tangan kirinya dengan posisi terbalik. Dia mulai menyerang dengan gerakan kedua pedangnya yang khas. Gerakan memutar layaknya angin topan. Mereka terus bertarung hingga mereka berdua kehabisan banyak tenaga. Tapi layaknya petarung sejati, mereka terus bertarung meski telah kelelahan. Mereka berjalan sepoyongan seperti habis minum arak. Kedua pedang saling menyerang dengan sangat cepat sampai luka muncul setelah beberapa detik. Kingga hanya tergores satu goresan dipipi kanannya. Kakaknya mendapat satu goresan dipipi kanannya namun, selang beberapa detik muncul dua goresan dibawah goresan pertama dan satu goresan yang cukup besar di lengan kanannya sehingga Asuka tergeletak menahan sakitnya goresan dilengannya. Asuka nampak mencoba bangkit dan berdiri. Perlahan ia berdiri dengan pedang kayu yang ia gunakan sebagai penyangga. Kingga nampak masih berdiri dengan tegak, namun sesaat setelah itu ia terjatuh tak sadarkan diri. Asuka pun memenangkan pertandingan itu.

Tanpa disadari Kingga sudah terbangun dikamarnya. Ia melihat Asuka di sampingnya tengah duduk dengan cemas. Setelah tahu adiknya telah sadar Asuka pun langsung pergi meninggalkan adiknya. Kingga hanya melihatnya dengan tatapan tajam. Asuka pun keluar dari istana itu dan berjalan menyusuri kota pada malam itu. Dia nampak melihat sekeliling pemandangan kota itu. Kota yang nampak begitu damai dengan canda tawa orang-orang yang menghuninya. Sesaat setelah itu, Asuka pun tiba di gubuk Lily . Ia merasa mungkin ini terakhir kalinya ia menemui gadis kecil itu.

Asuka melangkah memasuki gubuk itu dan mendapati Lily tengah menangis. "Lily, mengapa kau menangis?" Asuka berlari mendekati dan langsung memeluk Lily.

"Kakak akan meninggalkanku besok. Kenapa kakak mengingkari janji kakak sendiri."

Asuka nampak heran, bagaimana dia bisa tahu jika Asuka akan pergi meninggalkan kota itu.

"Tenanglah. Aku tidak akan meninggalkanmu," kata Asuka sambil mengelus rambut Lily.

"Kakak akan selalu bersamamu, jadi tenanglah," kata Asuka sambil terus memeluk Lily.

"Terima kasih." Beberapa saat kemudian pelukan Lily tiba-tiba saja mengendur dan ia tertidur dalam pelukan Asuka. Asuka pun langsung menggendong Lily ke kamarnya. Asuka pulang dan saat berjalan pulang ia melihat adiknya di depan pintu gerbang ibukota. "Apa yang kau lakukan di sini?"tanya Asuka sambil menatap mata adiknya.

"Kakak, izinkan aku ikut dengan kakak," dengan tatapan tajam.

"Pengecut! Petarung sejati selalu menepati janji." Namun beberapa saat kemudian ia tersenyum. "Baiklah, Kakak akan mengajakmu," meninggalkan adiknya dipintu gerbang.

Wajah Kingga semringah. Ia tak percaya pada apa yang didengarnya. "Benarkah itu?" tanya Kingga.

"Aku berjanji padamu," jawab Asuka sambil tersenyum.

Esokan harinya Asuka dan Kingga telah bersiap di depan pintu gerbang kota. Kingga sedikit curiga karena banyak pengawal disekitarnya pada saat itu. Saat Asuka melangkah, para pengawal pun langsung memborgol kedua tangan Kingga.

"Apa-apaan ini!!!" Kingga meronta.

"Aku hanya tidak mau menyakiti hati mu sejak awal," kata Asuka sambil berjalan ke arah kudanya. "Tapi apa boleh buat, kakak tetap tidak bisa membawa mu pergi," Asuka pun segera memacu kudanya ke luar gerbang ibukota. Asuka terus memacu kudanya sambil menahan tangis. Kingga terus meronta dengan sekuat tenaga.

"Pembohong! Penipu! Keparat!" teriak Kingga. Para penjaga pun tepaksa melumpuhkan Kingga karena para pengawal sudah kewalahan menahan Kingga.

Ditempat lain, Lily nampak menangis diruanganya. Pengelihatannya tertuju pada selembar kertas yang berada dilantai.

"Kenapa Kakak berbohong? Padahal Kakak sudah pernah berjanji tidak akan meninggalkanku, Kakak telah mengingkari janji Kakak. Kenapa kakak begitu tega meninggalkanku padahal Kakak satu-satunya teman bagiku. Kenapa Kakak melakukan ini kepadaku? Kenapa aku harus kehilangan Kakak. Kenapa, Kak? Kenapa?" kata Lily dalam hatinya.