Malam harinya Anne dibuat tersenyum sumringah saat menerima pesan dari Jovan, lelaki itu mengatakan sudah berada di kolam renang, dan menunggu Anne untuk menjemput. Membaca pesan itu membuat Anne bersemangat, ia segera mematut diri di hadapan cermin, setelahnya Anne berlari turun kelantai satu.
Setelah memastikan keadaan lantai bawah aman dan tidak ada tanda-tanda kehidupan dari Mama, Papa dan Kakak lelakinya, Anne mengendap menuju pintu samping. Matanya mengedar dalam kegelapan, mencari keberadaan Jovan yang jelas saja tidak terdeteksi.
Badannya menegang dengan bulu kuduk meremang saat merasakan sentuhan lembut di lehernya, jemari itu menyusuri leher jenjang Anne dari belakang, dan berakhir menggelitikinya. Saat Anne terkikik dan memprotes geli, jemari itu membekap mulutnya. Jelas Anne tahu siapa pemilik aroma itu, karenanya ia santai saja saat sosok itu menariknya mundur untuk masuk kedalam rumah.
"Malam ini lo wangi." Bisik Jovan, membuat Anne menggeliat dan melepas diri.
Dalam kegelapan Anne memindai penampilan lelaki itu, sekujur tubuhnya dilapisi oleh warna hitam. Baju, celana, jaket kulit, sepatu serta baseball cap pun hitam. Anne memang sudah hafal betul dengan selera Jovan, lelaki penggila hitam yang selalum menyukai apa saja yang berwarna hitam.
"Kan lo mau datang," Balas Anne dengan bisikan pula, lalu menoleh kesana-kemari, suasana malam di rumahnya sangat hening, setelahnya Anne menarik lengan Jovan untuk naik kearah kamarnya.
Sepanjang langkah keduanya menaiki tangga, tidak hentinya Anne tersenyum malu, pasalnya Jovan terus memandanginya dalam diam, membuat rasa grogi merayapi dirinya. Merasa wajahnya kian memanas, Anne memilih lari terlebih dahulu untuk meninggalkan Jovan, dan lelaki itu pun tersenyum seraya mengikuti langkahnya.
Anne sangatlah mencintai Jovan, kesalahan apapun yang lelaki itu lakukan pasti akan termaafkan dengan mudah, bahkan hanya dengan tatapan penuh cinta yang selalu lelaki itu pancarkan. Kelembutan dan tingkah Jovan yang sering membuat Anne berdebar pun selalu membuat gadis itu lemah.
"Lo mau nikah sama gue nggak?"
Mata Anne terbelalak, menoleh dengan tatapan heran kearah lelaki yang kini mengunci pintu kamarnya. Jovan menoleh dengan ekspresi tenang, seakan mengucapkan kata pernikahan bukanlah sebuah kata yang istimewa. Dasar lelaki yang sangat amat tidak romantis! Sepertinya mengharapkan Jovan nantinya melamar dengan romantis adalah sebuah kemustahilan. Anne mencebik kesal, mendudukkan diri di ranjang dan menatap Jovan yang mulai melepas jaket kulitnya.
"Lo kira nikah gampang?"
"Jelas, tinggal ucap janji suci aja kan?" Jawab Jovan enteng.
"Walau tanpa rasa?"
Jovan tersenyum miring, menanggalkan sepatunya dan berjalan mendekat, "Rasa apa dulu nih? Kalau cinta, jelas gue punya, bahkan banyak buat lo."
Setelah mengucapkan itu, tanpa aba-aba Jovan mencium Anne, menekan tubuh gadis itu untuk merebahkan diri di atas ranjang. Sekujur tubuh Anne menegang kaku layaknya dahan pohon, jemarinya meremas kaus Jovan dengan nafas yang terasa sesak. Ciuman kali ini sangatlah berbeda dengan yang biasanya mereka lakukan, lebih intim, lebih mendedbrkan, lebih dalam dan lebih panas.
Nafas Anne terengah-enggah saat Jovan melepas penyatuan keduanya, dengan senyuman miring, lelaki itu mengusap bibir Anne dengan lembut.
"Mau main game sama gue nggak?" Masih dalam posisi terbaring bersama, Jovan menyusurkan jemarinya di wajah Anne dengan sangat lembut.
Pikiran Anne terus berkelana mencari sebab mengapa Jovan sangat berbeda dari sebelumnya, karena malam ini jelas terasa jika Jovan lebih berani. Lelaki yang biasanya pendiam dan tak banyak bertingkah, kini menciumnya, benar-benar ciuman panas seperti di film-film. Terlebih, malam ini pun Jovan terlihat lebih tampan dari biasanya, rasanya Anne mulai buta dan kehilangan akal sehatnya.
"Game apa?"
Jovan mendudukkan diri, membantu Anne untuk ikut serta dan menatap gadis itu dengan tajam.
"Game apapun, yang kalah harus menuruti permintaan yang menang."
Anne kira malam ini mereka akan berbagi cerita, padahal ia sudah menyiapkan cerita masa kecil mereka yang akan kembali di bangkitkan, agar perasaan mereka kian kuat, siapa tahu Jovan akan luluh dan mau mengakuinya sebagai kekasih. Tidak dengan backstreet menyebalkan itu lagi.
"Okay, kalau gue menang, gue mau lo ungkap hubungan kita!" Tantang Anne.
Jovan tersenyum, mengusap pipi Anne dan mengangguk, "Itu lebih baik, setidaknya Bayu nggak akan ganggu lo lagi!"
Mendengar nama Bayu disebutkan dalam obrolan ini, mendadak Anne merasa senang, ia sama sekali tak dapat menahan senyum cerianya. Jelas ia senang, ternyata Jovan memang benar-benar cemburu pada Bayu, dan lagi, lelaki itu sepertinya kesal karena Bayu terus mendekati Anne.
"Okay, main ludo aja gimana? Gue masih simpan ludo hadiah dari lo dulu!"
Setelah melihat anggukan Jovan, Anne segera melompat dari ranjang, mengambil permainan ludo yang ia simpan dengan baik di box yang berisi penuh hadiah-hadiah pemberian Jovan. Anne kembali mendekat pada Jovan, menggeluarkan beberapa benda dari kotak itu, dan senyumannya selalu mengembang tiap kali mengangkat satu benda dari dalam sana.
"Semua kado dari lo masih gue simpan utuh, cuma sayang... gaun yang dulu lo kasih pas kita kelas 5 ilang di curi. Sialan banget deh malingnya! Kenpa pula curi jemuran orang, mana itu gaun baru dipakai sekali." Anne mencebik kesal, namun kembali tersenyum saat Jovan mengusap rambutnya.
"Lo suka banget gaun itu?"
Anne mengangguk, membuat Jovan tersenyum gemas, "Ulang tahun lo selanjutnya, gue cariin gaun yang sama persis."
"Nggak harus sama kok! Yang penting gaun pemberian lo deh! Ah ketemu! Yuk main!"
Keduanya turun dari ranjang, duduk berilah di atas karpet bulu merah jambu, dan memainkan permainan ludo kesukaan keduanya sejak kecil. Permainan berlangsung mudah, karena Anne terus saja kalah, sudah 3 kali ia merengek meminta main ulang, namun sepertinya dewa keberuntungan sama sekali tidak memihak padanya malam ini.
"Ah! Masa gue kalah terus!" Kesal Anne, namun telunjuk Jovan segera menyentuh bibir Anne. Anne sempat lupa jika kini sudah malam, dan lagi Jovan masuk kedalam kamarnya dengan diam-diam, bahaya kalau penghuni rumah lain mengetahuinya.
"Fix lo kalah kan? Kita udah main 4 kali loh, bisa abis waktu kita di permainan."
Anne mendecak kesal, melihat jam di meja nakas yang sudah mulai malam, akhirnya Anne menyerah saja, terlebih lagi, esok ia harus pergi camping, jadi ia tak boleh tidur terlalu larut.
"Oke, oke, lo mau apa?"
Jovan tersenyum lebar, melepas topinya dan membuangnya asal, lelaki itu sedikit merangkak mendekat, membuat Anne memundurkan wajahnya dengan heran. Namun bisikan lembut yang menggelitik telinganya, membuat mata Anne terbelalak.
"Mau kan?" Lirih Jovan setelah berbisik, lelaki itu sedikit memundurkan kepalanya, namun sama sekali tidak melpas tatapan dari mata Anne, seakan Jovan sedang menunggu jawaban dari mata dan mulut Anne.
"K-kamu yakin ini nggak apa?"
Punggung jemari Jovan mengusap lembut pipi Anne, lelaki itu tersenyum dengan lembut dan mengangguk, "Lo percaya sama gue kan? Lo cinta sama gue kan?"
Anne masih saja terbengong dengan jemari meremas gaun tidurnya, keinginan Jovan sangatlah susah untuk dikabulkan, bagi Anne itu terlalu berlebihan dan tidak seharusnya di lakukan, bagaimana mungkin Jovan meminta untuk berhubungan badan hanya karena menang memainkan ludo?
Tangan Anne bergetar hebat, namun Jovan yang kembali mendekat dan menciumi wajahnya dengan lembut, membuat akal sehatnya benar-benar hilang. Bodohnya, badannya menerima begitu saja sentuhan Jovan, hingga punggungnya menyentuh karpet bulu yang teramat lembut itu, Anne hanya sanggup memejamkan matanya dengan erat.
"I love you Anne." Bisik Jovan seraya melancarkan aksinya dengan memberikan sentuhan lembut yang membuat Anne benar-benar hilang akal.
*
*
Pagi harinya Anne terlihat muraung, duduk di pekarangan rumah dengan melamun, ia sesekali menatap kearah gerbang rumahnya, menunggu salah satu dari sahabatnya ada yang datang. Mereka janjian pukul 8, namun sampai 8 lewat beberapa menit, belum juga ada tanda-tanda kedatangan mereka.
Anne meringis kesakitan saat mencoba berdiri dari duduknya, sisa-sisa kesakitan semalam masih sangat terasa. Saat kembali mengingat itu, wajah Anne mendadak memanas, ia ingat betul bagaimana wajah Jovan yang diselimuti keringat terus mengatakan kalimat cinta padanya, membuatnya benar-benar dibawa naik menyentuh langit. Anne hanyalah gadis lugu nan naif, baginya tak apa melakukan itu dengan lelaki yang di cintainya, toh keduanya saling mencintai. Ia tak butuh alasan lain, karena untuk saat ini dan kedepannya, ia dan Jovan pun pasti akan tetap bersama.
Suara klakson mobil membuat Anne terkesiap, dari balik pintu salah satu mobil, keluarlah Mia, Sisi dan Fiona. Ketiganya sangat bersemangat, membuat Anne merasa tak enak hati jika harus menganggalkan ikut pergi camping bersama mereka. Anne menoleh kearah taman, menatap Bi Siti yang masih sibuk menyiram tanaman.
"Bi Siti, boleh minta tolong nggak?" Bi Siti menoleh, meletakkan selangnya dan mendekat.
"Tolong ambilkan tas punggung besar aku di kamar ya Bi."
Bi Siti mengangguk ramah, lalu masuk kedalam rumah untuk menjalankan perintah Anne, bertepatan dengan itu ketiga sahabatnya mendekat.
"Gimana, tidur lo nyenyak kan?"
Anne meringis canggung saat mendengar pertanyaan Mia, namun ia tetap mengangguk walau nyatanya tidurnya sama sekali tidak nyenyak. Harusnya kantung mata hitam itu terlihat jelas, karena Anne bahkan baru tertidur setelah Jovan keluar dengan diam-diam dari balik balkon kamarnya. Sepanjang malam, ia sibuk memejamkan mata, namun rasa berdebar membuatnya kehilangan kantuk.
"Tapi kok lo kayak nggak fit gini sih?" Sisi menengahi, merangkul pundak Anne hingga membuatnya sedikit terdorong.
Rasa sakit dibagian paha dalamnya kembali terasa, membuat Anne meringis dengan wajah menahan sakit.
"Nggak apa kok, santai aja." Lirih Anne.
"Syukurlah, soalnya gue udah nggak sabar banget pengen pergi camping. Pokonya liburan paska ujian nanti, kita harus camping lagi!" Seru Fiona.
Mendengar betapa semangatnya Fiona, serta Mia dan Sisi yang menyetujui, membuat Anne benar-benar merasa tak enak hati. Walau ia kesusahan untuk berjalan, namun ia tetap harus mengikuti camping ini. Rasa tidak nyaman menyelimuti hati Anne, ia takut rasa sakitnya akan kian terasa, bahkan ia merasa kurang yakin untuk pergi. Namun jika kembali melihat sahabatnya yang sangat antusias, Anne tak bisa menghancurkan kebahagiaan sahabatnya.
"Silakan non tasnya."
"Yey! Ayo kita berangkat!
Bayu keluar dari mobil, tersenyum canggung dan mendekat untuk mengambil alih tas milik Anne.
"Hai," Sapa lelaki itu yang dibalas sapaan yang sama oleh Anne.
Namun setelahnya pandangan Anne beralih ke jalanan menuju rumah Jovan yang tak jauh dari rumahnya, ia mendadak rindu dengan Jovan.
Badan Anne di dorong-dorong untuk masuk ke kursi depan, di mana kini Bayulah yang menyetir, dan dengan pasrah Anne mendudukkan diri di sana. Tak apa, cukup tetap kuat dan semangat saja, toh nantinya ia akan melihat dan merasakan dinginnya air terjun di hutan Siliwan yang legendaris.