webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · perkotaan
Peringkat tidak cukup
371 Chs

Rahasia

Raga memasukkan baju-bajunya ke dalam tas ranselnya sambil bicara dengan ibunya yang menatapnya dengan cemas karena keputusan Raga yang tiba-tiba.

"Kamu yakin mau keluar dari kampus kamu? Terus kuliah kamu selama ini gimana?" tanya Ibunya.

"Yang penting Raga bisa punya uang kan, Raga bisa kerja dan bawa ibu keluar dari sini," ucapnya.

Ia mengambil buku tabungannya. Lumayan untuk ia tinggal selama belum mendapatkan gajinya.

"Nanti Raga bawa ibu keluar dari sini kalau udah dapat uang, jadi ibu jangan khawatir."

"Tapi—jadi model itu kayaknya—"

"Gak ada yang gak mungkin, Bu. Raga bakalan ngelakuin apa aja asal kita bisa keluar dari neraka ini."

Ibunya tertegun dan menatap wajah anaknya itu tak rela. Sebenarnya Raga itu pandai, tapi kalau harus keluar seperti ini akan membuat masa depannya dipertaruhkan.

Raga selesai memasukkan semua yang ia butuhkan. Kemudian dia duduk di depan ibunya sambil mengenggam kedua tangannya. Ia menatap wajah ibunya dengan lekat.

"Ibu masih muda, umur ibu masih 37 tahun. Raga gak tau kenapa ibu milih nikah sama ayah. Tapi—Raga bakalan izinin Ibu menikah lagi asalkan dia sayang sama ibu."

"Tapi—"

"Percaya sama Raga, nanti kita bisa ketemu di luar rumah."

Raga memeluk ibunya sebelum dia benar-benar pergi dari rumah itu.

**

Raga tengah berbaring di kosan Bayu sorenya. Lelaki itu tak langsung ke rumah Savira karena ia mengatakan kalau wanita itu akan pulang malam.

"Gila, gak kuliah malah foto-foto jadi model majalah," ucap Bayu sambil menyodorkan minuman bersoda pada Raga.

"Terus mau tinggal di mana?"

"Ada lah, gak usah kepo."

"Terus ngapain ke sini."

"Ada lah, gak usah kepo."

Hidung Bayu berjengit, kesal juga lama-lama dengan jawaban Raga seperti barusan.

"Mita tadi nyariin kamu di kampus," ucap Bayu memecahkan hening di kamar kosnya.

"Biarin aja," desah Raga malas, dia melihat ke arah jendela. Langit sudah mulai menggelap. Sebentar lagi Savira mungkin sudah sampai di rumahnya.

"Aku udah putus sama dia, jadi udah gak ada hubungannya lagi sama aku, Bay."

"Buat aku boleh gak, Ga."

Kalimat itu langsung mendapatkan lirikan dari Raga. "Gak."

"Kenapa? Kamu kan udah putus?"

"Sama kamu kalau masa depan suram sama aja, gak usah."

Bayu mencibir, rupanya Raga sok-sokan memutuskan Mita karena masalah masa depan. Padahal Mita sepertinya tidak pernah mengungkitnya karena dia sudah sangat bucin pada lelaki yang ada di sampingnya itu.

"Terus, serius mau jadi model? Kuliah gimana? Emang gak sayang? Ambil cuti ajalah."

Raga diam, sambil menyedot minumannya yang sebentar lagi habis. Dia sebenarnya tidak berpikir sampai sejauh itu karena yang ia inginkan hanya bisa membawa ibunya keluar dari rumah itu.

"Nanti deh gampang." Raga berdiri dan menyudahi obrolannya dengan Bayu.

Alasan mengapa dia tak bisa tinggal dengan Bayu adalah karena ayahnya sudah tahu tempat temannya satu itu. Jadi dia tak mungkin tinggal di sana sementara ini.

"Kamu tinggal di mana?" tanya Bayu lagi.

"Ada deh, gak usah kepo." Raga tersenyum sebelum akhirnya menghilang dari balik pintu.

Sesaat setelah Raga menghilang, Bayu mengirimkan pesan pada seseorang di ujung sana.

"Raga, gak mau bilang tinggal di mana, Om."

**

Ketika Raga sampai di depan rumah Savira. Ia melihat ada mobil yang sudah berhenti di depan pagar rumah wanita tersebut.

Raga urung untuk masuk ke sana saat ini karena dia berpikir mungkin itu adalah kekasih atau teman Savira.

Namun dilihat dari mobilnya, sepertinya tak mungkin teman biasa dari wanita itu.

Raga akhirnya memutuskan untuk menunggu di depan rumah kosong yang berjarak beberapa meter dari rumah Savira. Sambil menunggu, dia membuka galeri foto miliknya di mana masih banyak foto Mita di sana. Bahkan masih ada fotonya yang tampak mesra dengan pacar yang belum lama diputuskan itu.

Mita cantik menarik tetapi ada beberapa alasan mengapa Raga tak bisa melanjutkan hubungan itu karena sifat Mita.

Satu persatu jari Raga mulai mengetuk gambar tempat sampah di layar gawainya.

Mungkin sekarang dia harus menjalani hidupnya yang baru tanpa ada bayang-bayang dari Mita lagi.

Dan hingga akhirnya galeri itu sudah kosong tak ada lagi foto dari Mita dan dirinya.

**

Sejak kejadian waktu itu, hubungan Rico dan Savira menjadi dekat lagi. Tapi dekat dalam artian mereka lebih nyaman untuk memulai hubungan persahabatan alih-alih pacaran.

Dan kini mereka sedang makan malam di rumah Savira setelah lelaki itu menjemputnya di tempat kerja.

"Ya udah, mau aku cariin lelaki buat kamu bawa buat besok?" tanya Rico ketika duduk di meja makan bersama dengan Savira dan Dina.

"Masalahnya kalau disuruh nikah gimana?"

"Ya udah kalau gitu kamu cari cowok yang mau nikah sama kamu."

"Mana bisa secepat ini."

"Bisa, kalau kamu gak pilih-pilih."

Savira jadi teringat dengan Rinaldi si cowok cupu itu.

"Oh ya, Din. Raga bilang apa sebelum pergi?"

"Katanya nanti malam ke sini lagi."

"Haduh tuh anak, udah kayak hotel aja rumah ini," sungut Savira, tapi diam-diam dia menunggu Raga yang tak kunjung datang.

Rico yang masih asing dengan nama Raga bertanya-tanya siapakah lelaki yang sedang dibicarakan Savira saat ini.

"Dia siapa? Pacar kamu?" tanya Rico.

"Bukan, dia model yang aku rekrut."

"Masih muda dong."

"Iya brondong."

Rico tertawa geli sambil menatap ke arah Savira. "Kamu aja mainnya sama brondong gimana mau nikah, Vir?"

Savira mendelik ke arah Rico dan menggeretakkan giginya.

"Ini gak ada hubungannya sama nikah, Ric."

"Umurnya berapa?"

"Dua puluh tahun."

"Tuh mana beda sepuluh tahun."

"Di bilang bukan seperti yang kamu bayangin, please deh."

"Oke-oke, sorry. Gimana kalau besok aku kenalin aja sama temenku."

"Ganteng?" tanya Savira.

"Iya."

"Tua?"

"Gak tua-tua banget lah, lumayan."

"Dia pebisnis, jadi mungkin bisa mengangkatmu dari kemiskinan ini," kekeh Rico.

"Sialan, tapi bisa tuh Ric, kali aja cocok."

"Serius?"

Savira mengangguk. Yah, tak ada salahnya mencoba, tapi kalau dia seperti Doni mungkin dia akan mundur teratur.

Kalau bukan karena desakan ibunya mungkin Savira tak akan seperti ini. Mencari lelaki sampai melalui mantan kekasihnya sendiri.

"Mbak, aku keluar dulu ya," kata Dina. "Mau ke warung."

Savira mengangguk.

Dan Dina yang hendak pergi ke warung tanpa sengaja melihat bayangan Raga sedang duduk di samping motornya dengan asap putih yang mengepul.

Dia perlahan mendekati lelaki yang tampaknya tengah frustrasi tersebut.

"Wah, ngerokok juga ternyata," ucap Dina membuat Raga terkejut.

Dia tak akan merokok jika tidak sedang pusing seperti saat ini.

"Kenapa gak masuk?" tanya Dina.

"Masih ada tamunya si Vira, kan?"

"Bukan tamu biasa sih, mantan lebih tepatnya."

"Mantan?" Jangan-jangan mantan yang tadi pagi datang.

"Masuk sana, mbak Vira tadi nyariin."

"Gak, nanti aja kalau udah pergi."

Dina akhirnya ikut duduk di sebelah Raga, kemudian menyambar batang rokok yang sedang dipegang oleh lelaki itu.

Ia mengisapnya seperti perokok andal, bukan tampak seperti sedang coba-coba.

"Kamu ngerokok?" tanya Raga terkejut.

"Iya." Kepulan asap itu membentuk bulatan-bulatan sempurna di depan Dina. "Coba tebak siapa yang ngajarin aku?"

"Siapa?"

"Mantanku," jawab Dina.