webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · Urban
Not enough ratings
371 Chs

Keputusan Raga

Savira turun dengan wajah cemberut ketika melihat bayangan lelaki sudah berdiri di depan rumahnya. Dengan baju berwarna hitam dan celana yang berwarna sama, ia lebih terlihat seperti hendak melayat daripada bertamu di rumah seseorang.

"Kamu mau ngapain?" tanya Savira. Raga menatap bingung karena Savira seakan tidak menyukai kehadirannya.

Apa mantan pacarnya? Pikir Raga.

"Aku—mau ambil cincin itu, Vira," ucap Doni pelan.

Savira menghela napasnya kemudian memutar bola matanya karena tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Doni barusan.

"Gadis gak percaya kalau cincin itu udah kamu buang, dan dia nyuruh aku buat ke sini ambil cincin itu. Soalnya kalau enggak, dia bakalan mutusin aku."

Cincin? Raga sepertinya pernah masuk dalam adegan di mana kepalanya tak sengaja terkena lemparan cincin ke kepalanya.

"Itu sih urusan kamu ya, aku gak ada urusan sama kamu lagi."

Savira hendak masuk, tapi tangannya dicekal oleh Doni.

"Jangan-jangan kamu masih suka sama aku, makanya kamu gak mau ngasih cincin itu?" tanya Doni dengan percaya diri.

"Gak usah ngarang, buat apa aku nyimpen cincin imitasi itu, Don. Aku bisa beli kok yang baru."

"Bukan masalah imitasi, tapi karena itu yang ngasih aku makanya kamu gak bisa buang. Atau mungkin kamu gak pernah dikasih cincin sama cowok makanya begitu."

Savira tertawa hambar. Rasanya dia ingin menendang kejantanan milik Doni pada saat itu juga.

Dengan seenaknya dia berpikir seperti itu padahal dia memang benar-benar sudah membuangnya.

"Eh Don, ngaca," ucap Savira dingin. "Jangan sok jadi cowok paling ganteng," lanjut Savira sambil menarik tangannya dengan kasar. "Kamu mau cincin itu? Oke, aku cari nanti di mana aku buang cincin itu tapi jangan pernah mikirin hal kayak begitu lagi, aku jijik!"

"Tunggu dulu!" Raga turun dari motornya dan menyela pembicaraan mereka berdua. "Cincinnya kan udah dibuang ke tempat sampah."

Doni membulatkan matanya. "Kalau mau cari ya di pusat pembuangan sampah."

"Kamu siapa?" tanya Doni tak suka.

"Siapa ya? Pacarnya mungkin," jawab Raga seenaknya membuat Savira tertegun.

"Cih! Anak kecil kayak kamu? Mau pacaran sama tante-tante, jangan-jangan ada maunya," ledeknya.

Raga tersenyum sarkas.

"Daripada udah tua tapi mikirnya masih kayak anak Tk. Mending mana? Lagian kalau kangen sama Savira tinggal datang aja, gak usah pakai alasan cincin. Menjijikkan."

Raga merangkul bahu Savira dan membawanya masuk ke dalam. Entah sedang kemasukan setan mana, tetapi Savira senang Raga mau membantunya.

"Sialan!" rutuk Doni. Ia pergi ketika melihat kedua bayangan itu masuk ke dalam rumah.

"Pacar?" tanya Savira sambil tertawa. "Aku gak pernah berpikir buat pacaran sama bocah," gumamnya.

"Udah yang penting dia pergi." Raga duduk di ruang tamu sambil menyandarkan kepalanya yang terasa pusing. Dia kurang tidur hari ini.

"Kamu yakin gak mau pulang?" tanya Savira untuk memastikan.

"Aku udah nolong kamu lho."

Savira langsung memberengut kesal, rupanya tadi dia menolong karena ada maunya.

"Aku mau berangkat kerja dulu kalau gitu, jangan aneh-aneh selama aku gak ada di rumah."

"Aneh-aneh apa sih?" Tiba-tiba kepala Raga menengadah menghadap Savira.

"Ada gadis di sini, awas aja kamu macam-macam."

"Aku cuma mau tidur, bentar."

Dan akhirnya Raga ditinggalkan di rumah bersama Dina hari itu. Karena tak ada pilihan lain selain membiarkannya di sana karena dia tak ada tempat tujuan saat ini.

Sebenarnya agak aneh sih, apalagi antara Savira dan Raga itu hanya bertemu beberapa kali dan kini dia sudah memercayakan pada lelaki tersebut untuk tinggal di rumah itu.

Selama dalam perjalanan Savira terus memikirkan hal-hal yang sangat kotor. Otaknya sepertinya perlu untuk dicuci dulu karena sejak tadi dia selalu membayangkan Dinda dan Raga sedang berduaan di sana dan melakukan hal yang—

"Gak mungkin, lagian Dina orangnya begitu," ucap Savira untuk menenangkan dirinya sendiri ketika di atas motor tukang ojol.

Sampai abang-abang yang ada di depan terus menggelengkan kepalanya karena terkejut lantaran Savira selalu mengejutkannya tiba-tiba.

Di sisi lain Raga sudah tertidur pulas di atas sofa sementara Dina memasak sesuatu di dapur.

Dia sama sekali tidak terganggu dengan kehadiran Raga di sana, karena lelaki itu sepertinya tidak seperti mantan kekasihnya belum lama ini.

Hingga tercium bau sedap dan enak dari dapur, membuat Raga membuka matanya dan melirik ke arah dapur yang tak ada sekat itu.

Ruang TV dan dapur bersebelahan. Hanya terhalang oleh meja makan saja. Dan dia dapat melihat bayangan Dina sedang memakai celemek dan memasak di sana.

"Kamu udah bangun?" tanya Dina.

Raga bangkit kemudian duduk dengan benar. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul satu. Pantas saja perutnya sangat lapar saat ini.

"Makan aja, aku udah masak buat makan siang," ucap Dina lagi meski tak mendapatkan tanggapan dari Raga.

"Mbak Vira yang nyuruh buat masakin buat kamu, kalau dia gak nyuruh aku gak bakalan masak, karena Mbak Vira pulang malem."

"Oh, makasih," ucap Raga.

Sepertinya dia harus mandi. Namun dia mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari ibunya dan pesan yang menyuruhnya untuk pulang.

Raga tak mau, apalagi kalau pulang dan bertemu dengan ayahnya. Luka di bekas bibirnya saja masih terasa perih sampai saat ini.

"Kenapa, Bu?" tanya Raga ketika dia menghubungi ibunya.

"Pulang ya Nak, jangan buat ayah kamu marah."

"Bu, ada hal yang mau Raga bilang sama ibu. Tapi jangan ketemu di rumah."

"Ayah kamu kerja gak ada di rumah, kalau kamu mau pulang. Pulang aja dulu."

Raga berpikir sebentar. Mungkin dia akan mengambil baju-bajunya sekalian menemui ibunya dan mengatakan jika dia ingin menjadi model dan keluar dari kampusnya.

"Ya udah Raga ke sana sekarang," putus Raga.

Dina yang mendengar pembicaraan itu berpura-pura tak mendengarnya.

"Aku mau ke rumah dulu," pamit Raga pada Dina.

"Terus makanan ini gimana?"

Raga melihat makanan yang ada di atas meja sudah tersusun rapi. Meskipun hanya terhidang telur dadar, tumis kangkung dan tempe goreng. Sepertinya Raga tak bisa mengabaikannya karena perutnya sudah kelaparan dan minta diisi.

Raga berjalan mendekati meja dan memakan dengan lahap karena dia harus segera kembali sebelum sore tiba di mana ayahnya pulang pada saat itu.

"Mau pulang dan gak balik lagi?" tanya Dina.

"Gak tau, kenapa emang?"

"Gak apa-apa sih."

"Bilang aja sama Vira aku ada urusan."

"Hubungan kamu sama Mbak Vira apa sih?"

Tiba-tiba Dina menjadi sebawel ini, tak seperti biasanya dia akan seperti itu.

"Kamu bisa anggap apa aja, itu gak masalah buatku. Aku sama dia saling membutuhkan udah gitu aja." Raga membawa piringnya ke wastafel kemudian mencucinya buru-buru.

"Aku pergi dulu." Raga meraih jaketnya yang ada di kursi dan menghilang setelah beberapa detik.

"Laki-laki aneh," desis Dina.