webnovel

Satu Dasawarsa

Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi berulang kali. Penyesalannya pun menyelimuti diri Savira ketika dulu pernah menolak lamaran Riko. Dan ketika dia datang untuk mengemis cinta lelaki itu, ternyata dirinya sudah terluka untuk menerima Savira kembali. Orang tua Savira semakin menekannya untuk segera menikah. Lantaran gunjingan keluarga besar yang mengatakan bahwa Savira tidak normal. Kemudian pertemuannya dengan Raga, lelaki yang sepuluh tahun lebih muda darinya membuat pikiran dan hati Savira terbuka. Raga datang dan mengetuk Savira yang sudah membeku dan penuh luka. Namun cinta mereka harus terhalang restu orang tua lantaran perbedaan usia. Bagaimanakah Savira menghadapinya? Apakah cinta mereka bisa bersatu karena perbedaan usia yang terpaut satu dasawarsa?

Sr_Intan · Urban
Not enough ratings
371 Chs

Dasar Wanita Ceroboh

Rico keluar bersamaan dengan Dina dan Raga yang baru saja hendak masuk ke dalam rumah Savira.

Rico dan Raga saling bertatapan hingga akhirnya Savira mengenalkan mereka berdua.

"Dia model yang aku rekrut, Ric," ucap Savira.

"Oh dia yang masih dua puluh tahun itu?" tanya Rico. Nadanya seperti menyindir lelaki muda yang ada di depannya itu.

"Iya masih muda, gak tua kayak kamu," jawab Savira.

"Masuk aja dulu Ga, Din aku mau anterin si om-om ini dulu."

Lalu Dina dan Raga pun masuk setelah Savira mengatakan itu pada mereka.

Dina dan Raga duduk di ruang TV sambil menonton acara televisi yang sama sekali tidak menarik.

Mereka diam setelah tadi terlibat dalam percakapan yang lumayan panjang di rumah kosong tetangga.

Ada hal yang baru Raga tahu kalau ternyata Dina lumayan menyimpan masa lalu yang kurang mengenakan. Mengenai mantannya yang main kasar dengannya atau mungkin mencoba menjualnya dengan temannya sendiri.

Merokok dan meminum minuman keras, Raga tidak menyangka jika Dina dulu sering melakukan itu dengan mantannya karena paksaan.

"Masalah tadi—jangan bilang sama Mbak Vira ya," ucap Dina.

Raga sontak menatap ke arah Dina. "Iya, lagian buat apa aku cerita sama dia."

Dina tersenyum.

"Jadi kamu ke sini karena mau menghindari dia?"

Dina mengangguk. "Iya. Aku mau menjalani hidup baru di sini."

"Bagus, aku juga," sahut Raga.

Dan mereka menjadi lebih banyak berbincang karena persamaan nasib itu. Sama-sama menjadi korban kekerasan dari orang yang seharusnya menyayangi mereka berdua.

Savira yang baru saja masuk melihat dari kejauhan. Sepertinya dia tak perlu mengkhawatirkan masalah Dina dan Raga saat ini.

"Karena sama-sama muda jadi kalian ngobrolnya bisa cepat nyambung ya," puji Savira. Ia kemudian duduk di depan Raga dan Dina.

"Besok aku pulang lebih malam kayaknya, kalian bisa kupercaya kan?" tanya Savira menatap kedua orang itu bergantian.

"Mau ke mana, Mbak?" tanya Dina.

"Aku mau kencan buta besok di restoran Heaven Palace," jawab Savira.

"Oh temennya mas Rico?"

Savira mengangguk.

Namun ada keraguan di wajah Dina. Entah mengapa dia tidak setuju dengan ide Savira yang mau dikenalkan oleh teman Rico.

Bukan karena dia tak percaya Rico, bukan. Tetapi Savira kan tidak tahu bagaimana sifat dari lelaki yang dikenalkan oleh mantan kekasihnya itu.

"Itu bukannya restoran yang ada di hotel ya?" tanya Raga.

"Kamu tau tempat itu?"

"Tau," jawab Raga.

"Berarti kamu bisa antar aku kan besok? Lagian kamu gak ada kerjaan kan?"

Raga diam.

"Katanya mau jadi babuku selama tinggal di sini."

Wajah Raga memerah mendengar Savira mengungkit kalimatnya tadi pagi. Padahal ia tak perlu mengatakannya di depan Dina juga, kan?

"Ya udah aku antar besok."

"Yes, hemat ongkos taksi," decak Savira senang.

"Lagian biasa kerja pakai ojek kenapa ke sana pakai taksi?"

"Ssst, diem kamu." Savira membuka ponselnya kemudian mengetikkan sesuatu. Tak lama kemudian ponsel Raga berbunyi.

"Itu kegiatan kamu besok, ada training buat model. Karena aku harus kerja besok, kamu ke sana sendirian bisa kan?"

Raga membaca alamat tempat trainingnya. Ia mengerutkan keningnya lalu menatap Savira bingung.

"Dibayar gak?" tanya Raga.

Savira mengembuskan napasnya dengan sangat kasar, ia sengaja. "Gak lah, kan training. Kamu dibayar kalau pas kerja. Itu tar membentuk attitude kamu dan lain-lain."

Raga tersenyum sinis ketika satu sudut bibirnya terangkat. Ia jadi teringat dengan Andreas yang tadi sudah membully-nya secara tidak langsung.

Jadi meskipun sudah ada training sikap mereka tetap seperti itu? Sepertinya tak ada gunanya.

"Hey! Denger gak sih aku bilang apa."

"Denger kok, jam sepuluh sampai jam satu kan?"

"Hmm, jam lima kamu jemput aku ke kantor, oke."

"Iya."

Dina yang sejak tadi hanya menjadi pendengar di sana mulai menundukkan wajahnya. Sepertinya tak ada celah untuk dia memasuki percakapan itu sampai dia akhirnya memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya.

"Kamu mau tidur, Din?" tanya Savira.

"Iya Mbak, aku besok ada wawancara di minimarket."

"Wah bagus dong!"

"Iya Mbak." Dina tersenyum, ia melangkah menuju kamar yang ada di depan ruang televisi.

Raga memandanginya sampai bayangan gadis itu menghilang masuk ke dalam kamarnya.

"Jangan-jangan kamu suka sama Dina," tebak Savira.

"Jangan fitnah."

"Itu—kamu ngeliatin udah kayak liat gebetan."

"Terserah ah, aku mau tidur."

Savira melihat di sekelilingnya. Sebenarnya dia tidak tega kalau menyuruh Raga untuk tidur di sana, karena ruangan itu yang paling banyak nyamuknya.

Apalagi ketika melihat tas ransel Raga yang tampaknya sudah berisi dengan baju-bajunya.

"Mau tidur di atas gak?" Savira menawarkan sebuah tawaran pada Raga.

"Atas mana? Genteng?"

Savira merengut.

"Di atas atap samping buat jemur baju, ada ruangan kecil. Tapi aku gak tau bagus apa gak soalnya itu sejak pertama pindah ke sini gak pernah aku bersihin."

"Jorok," gumam Raga.

"Mau gak?"

"Mau!" potong Raga cepat.

Lalu keduanya menuju ke atas untuk membersihkan ruangan yang dimaksud oleh Savira. Raga tidak berekspetasi lebih karena pasti tempat itu sudah mirip seperti gudang tak terpakai.

Dan benar saja, ruangan yang hanya berukuran dua kali dua meter itu sangat berdebu. Ketika membukanya Raga melihat laba-laba yang sedang menyulam jaring-jaringnya. Kecoak tak lupa untuk menyapa dan beberapa tikus yang lari terbirit-birit ketika melihat mereka berdua.

Lampu menyala sebentar karena sedetik kemudian padam dengan sukses.

"Aku ambil lampu yang baru dulu," kata Savira ia gegas turun ke bawah.

Raga menyorotinya dengan lampu senter dan sempat terbatuk karena debu-debu itu.

Ia kemudian mengeluarkan barang yang tidak penting. Lalu mulai menyapunya. Mungkin debu itu sudah berkarak di sana karena Raga kesulitan untuk membersihkannya.

"Ga, nih!" Savira muncul tapi tidak menemukan Raga.

"Di mana sih?"

"Ga?" panggil Savira lagi.

Ia menatap langit malam itu, sangat indah karena banyak bintang yang bertaburan.

"Mana?" Raga keluar dari ruangan gelap itu, Savira yang tadinya melamun kemudian menoleh ke belakang. Dia tertawa ketika melihat rambut Raga penuh dengan jaring laba-laba.

"Mirip aki-aki," ledek Savira sambil menutupi mulutnya yang terus tertawa.

"Bukannya dibersihin malah diketawain," gerutu Raga.

Setelah beberapa menit Savira berhenti tertawa, tanganya meraih rambut Raga.

Ia harus berjinjit karena tinggi Raga yang lumayan itu.

Karena tahu Savira kesulitan untuk meraihnya, akhirnya dia sedikit membungkuk. Wajahnya tiba-tiba mendekat ke arah Savira dan menatap lekat wajah wanita itu.

Wajah Savira memerah karena tiba-tiba menatap wajah tampan yang ada di depannya.

"Tunggu dulu—" Savira refleks memundurkan langkahnya. Tapi dia hendak terjatuh ke belakang sebelum akhirnya ditangkap oleh tangan Raga.

"Dasar ceroboh," desis Raga.