webnovel

"Pilihan"

Alanna terbangun dari tidurnya. Ia melihat ke arah jam yang disimpan di atas meja nakasnya dan terlihat disana waktu masih menunjukkan pukul 9 pagi.

Setelah kemarin malam ia baru bisa tidur tepat pukul 4 dini hari. Dan sekarang ia hanya menghabiskan waktu selama 5 jam di alam mimpi.

Kriet.

"Udah bangun Tuan Puteri?"

"Raka? Lo ada di rumah gue?"

"Iya. Gue mau siap-siap pulang ke rumah Papah."

Alanna mengernyitkan dahinya bingung. "Sekarang banget? Kenapa gak bawa apa-apa?"

"Kan disini rumah gue, ngapain bawa barang?"

"Maksud lo?"

"Bukannya kemarin lo larang gue buat jual rumah nya?"

Alanna terhenyak dan merutuki kebodohannya saat teringat jika ia sendiri yang meminta Raka untuk tidak menjual rumahnya. "Ya iya sih, tapi kan -"

"Bokap pasti nyiapin segala kebutuhan gue di rumah jadi gak perlu bawa apa-apa dari sini."

Alanna ber-Oh ria dengan kepala yang manggut-manggut.

"Mau ikut?"

"Ikut kemana?"

"Ke rumah Bokap gue bego. Masa iya gue ngajakin lo ke rumah gue? Lo tinggal nyebrang aja kali, bisa datang sendiri."

Alanna mengerlingkan bola matanya, rasanya baru saja, baru saja kemarin ia merasakan sisi yang berbeda dari seorang Raka. Ternyata Raka tetaplah Raka, seseorang yang senang membuatnya terlihat bodoh.

"Oke, gue ikut. Tungguin gue di ruang makan, mau mandi dulu, kita pergi setelah gue makan."

"Gila ngatur banget idup lo."

"Ya udah gue -"

"Gue tunggu lo di ruang makan. Berisik."

Alanna tersenyum saat keinginannya terpenuhi. Baiklah ia harus berpenampilan dengan sangat baik dan rapi untuk datang ke rumah keluarga Raka.

'Kayaknya gue selama kenal sama Raka belum tau nama lengkap dia deh,' eh! Kok gue jadi pengen tau soal dia lebih detail lagi sih?!' bathin Alanna dalam hatinya. Ia berniat akan bertanya tentang nama lengkap Raka tersebut langsung ke orangnya nanti.

Sekitar 45 menit kemudian, Alanna sudah selesai dengan stelan kasualnya, kemeja putih dan celana jeans biru muda serta satu slingbag di sebelah kanannya.

"Raka. Gimana penampilan gue?"

"Bagus. Nih makan," jawab Raka seraya menyodorkan satu piring nasi goreng ke hadapan Alanna.

"Gila, udah kayak Napi aja ya gue? Disodorin gini."

"Napi gak ada yang dikasih makan makanan enak. Kalo Napi diperlakukan kayak gue perlakuin lo sekarang, udah membludak isi penjara."

"Lo yang masak?" Alanna mengalihkan topik.

"Siapa lagi kalo bukan gue?"

"Kenapa gak sama Bibi aja?"

"Lo apa-apa Bibi, apa-apa Bibi. Gue gak bisa bergantung sama orang kalo buat urusan makan."

"Tapi kan gue jadi ngerepotin lo," balas Alanna menatap Raka kesal.

"Kebiasaan."

"Kebiasaan apa?"

"Ngerasa gak enakan sama orang yang gak berpikir sejauh itu."

"Jadi gue harus enakan sama semua orang?"

"Yang sekarang bikin lo gak enak hati ada berapa banyak?"

"Satu. Lo doang."

"Kenapa mikirnya jadi harus enakan ke semua orang?"

"Jadi gue gak apa-apa diskriminasi lo? Gue enakan cuman sama lo doang, itu diskriminasi loh."

"Gak peduli gue."

"Iya karena lo bisa masak Ka, gue kan gak bisa masak makanya gue gak enak hati."

"Makanya belajar bukan cuman pasrah doang."

"Nyokap gue suka nyuruh gue buat nunggu di ruang makan, Bi Ida juga suka larang gue ikut bantuin dia dalam urusan dapur. Jadi -"

"Oh, gue gak dianggap ya? Oke."

"Iya iya bawel banget! Gue belajar sama lo!"

~¤~

"Kenapa gak pake mobil gue?"

"Harus banget pake mobil lo?"

"Iya, soalnya penampilan gue udah rapi gini," jawab Alanna apa adanya.

"Gue mau bawa mobil Papah baliknya."

"Jadi?"

"Mau ditukar sama mobil lo yang disimpan disana?"

"Kan gue bisa bawa sendiri nanti mobil gue."

"Gue gak mau ya balik dari sana kayak arak-arakan ondel-ondel, rame."

Alanna tertawa menyadari kebodohannya untuk bertanya hal seperti itu. Sudah jelas Raka jika memiliki keputusan ia akan sukar mengubahnya.

"Oke deh terserah lo, gue gak masalah ya gak pake helm?"

"Gak."

"Lo udah jamin gue ya? Awas aja lo kalo nyampe kita kena tilang!"

"Iya, berisik."

Alanna lantas naik ke jok belakang motor ninja Raka, dan memeluk tubuh cowok itu dari belakang.

Raka tersentak tapi ia kemudian mengendalikan dirinya untuk terlihat santai. "Kita berangkat sekarang."

"Oke!"

~¤~

Motor Raka sudah sampai di sebuah rumah luas dan mewah yang membuat Alanna menatapnya tak percaya.

"I-ini, serius rumah Bokap lo Ka?"

"Menurut lo?"

"Gede banget!"

Raka tidak menanggapi decakan kagum Alanna. Motornya kini melenggang masuk ke halaman rumah yang ukurannya sangat lega itu sampai mereka tiba ke depan pintu utama.

"Nak Vero? Ini beneran Nak Vero?!" tanya Om Adi, sopir setia keluarganya. Dari dulu Om Adi memang sudah bekerja untuk Frederick, Jeanna dan Raka.

Raka turun dari atas motornya, lalu melepas helm dan mencium tangan Om Adi. Ia tidak memandang statusnya yang hanya bekerja sebagai sopir keluarga. Tapi pengabdian Om Adi untuk waktu yang tidak sebentar lah yang Raka hargai.

"Udah lama gak ketemu ya Om Adi," ucap Raka dengan menyunggingkan senyum tipis.

Om Adi di depannya menangis saat ia merasa ia mendapat anugerah untuk dapat melihat putera semata wayang keluarga Wenaz ini kembali.

"Om Adi, nggak mimpi kan?"

"Nggak sama sekali kok Om, ini memang Vero. Oh iya, ini pacar Vero, Alanna."

"Alanna."

"Saya Adi, Non. Non Alanna sangat cantik," puji Om Adi yang membuat Alanna ikut tersipu malu.

"Papah ada di dalam kan?"

"Ada Nak Vero."

"Kita ijin masuk dulu ya Om. Ayo Sayang."

Alanna kaget saat Raka menanggilnya demikian, tapi ia tetap mengikuti ajakan Raka.

"Nama lo siapa sih Ka? Nama lengkap lo. Kok Om Adi panggil lo Vero?"

"Emang nama gue itu. Savero Raka Wenaz."

"Oalah, pantas aja Om Adi manggil lo Nak Vero. Gue pikir nama Raka itu nama depan lo."

"Nama kecil gue yang gak pernah gue pake kecuali buat orang rumah."

Alanna manggut-manggut paham. Ia hanya mengikuti kemana Raka pergi, bahkan saat pertama masuk, banyak pelayan-pelayan baru dengan wajah asing karena Raka tidak pernah bertemu sebelumnya.

Mereka sangat sopan karena sudah mendengar interaksi Om Adi dan Raka sebelumnya. Setidaknya mereka tahu jika orang yang datang ke rumah ini bersama sosok perempuan di sampingnya merupakan anak emas sekaligus pewaris utama perusahaan Wenation.

"R-Raka? I-ini Raka?"

Raka mendadak mengubah mimik wajahnya menjadi dingin. "Dimana Papah?" Tanya nya datar.

"Papah ada di ruang kerja. Ya Tuhan Raka sayang, Mama gak nyangka kamu akhirnya pulang ke rumah, Mama sangat kangen sama kamu," tutur Heln, Ibu tiri Raka.

Jika bisa jujur Raka sama sekali tidak tertarik dengan sambutan yang dilakukan oleh Ibu tirinya ini.

Masih dengan membawa Alanna di belakangnya, kali ini Heln menuju ke arah seseorang di samping Raka.

"Siapa anak cantik ini?"

"Saya Alanna, Tante."

"Alanna? Nama yang sangat cantik seperti orangnya," puji Heln yang membuat Alanna kembali tersipu malu.

"Makasih Tante, senang bisa berkenalan."

"Sangat sopan," puji Heln yang membuat Raka melayangkan tatapan tajam.

"Raka ajak dia ke rumah bukan buat berinteraksi sama kamu."

"Tapi sayang, Mama juga Mama ka -"

"Raka."

Ucapan Heln terpotong saat Frederick ada mendekat ke arah mereka semua.

"Syukurlah, ini pilihanmu. Papah juga lebih senang karena kamu datang lagi bersama Alanna."

Alanna kembali tersenyum sopan. "Senang bertemu Om lagi."

"Senang bertemu kamu lagi Alanna," balas Frederick. Pria ini terlihat begitu berwibawa.

Raka menyadari jika kemungkinan Alanna diajak basa-basi itu sangat tinggi, oleh karenanya ia buru-buru mengambil keputusan.

"Raka ingin berkeliling rumah dulu Pah."

"Oh tentu, silahkan saja. Papah tunggu kamu di ruang utama ya, banyak hal yang harus kita bertiga bicarakan."

Raka mengangguk setuju.

"Oh iya Raka, banyak yang sudah berubah di rumah ini semenjak kamu pergi. Papah hanya memberitahumu agar kamu nggak heran nantinya."

"Raka tau."

"Lalu aku Mas?" Tanya Heln begitu Frederick berjalan pergi meninggalkannya.

"Kamu gak usah ikut, ikut juga paling jadi nyamuk," Celetuk Raka masih dengan nada suara yang tidak ramah.

Frederick yang sudah mengetahui watak Raka dengan sangat baik, tidak lagi membela Heln apalagi di depan Alanna. Itu bisa berakibat Raka tidak ingin tinggal bersamanya lagi. Atau bahkan lebih parah.

"Mas -"

"Kan udah dibilangin, kamu -"

"Ijinkan aja Tante Heln buat ikut ngobrol juga Ka," pinta Alanna pada Raka yang membuat Raka mengurungkan niat untuk berbicara.

"Terserah," ujar Raka seraya menarik tangan Alanna pergi dari hadapan Frederick dan Istri keduanya tersebut.

Ternyata tempat pertama yang Raka tuju adalah halaman belakang dimana kolam renang dan gazebo berada disana.

"Luas banget."

"Suasananya masih sama."

"Masih sama?" Alanna menautkan kedua alisnya.

"Masih sama-sama menyesakkan."

Alanna terkejut mendengar jawaban Raka. "Jadi lo mengurungkan niat buat tinggal disini?"

"Kata siapa gue mengurungkan niat? Toh ini rumah gue, pemilik gak akan angkat kaki hanya karena ada tamu yang memaksa masuk."

●●●