webnovel

"Sisi Lain Raka"

Seperti sengaja, mereka melakukan sebuah obrolan dengan menggunakan bahasa Spanyol dimana Alanna sama sekali tidak bisa memahaminya.

Bahasa Mandarin yang selalu ia pelajari saja belum sepenuhnya Alanna pahami, apalagi bahasa asing yang benar-benar tidak menarik minatnya.

Alhasil selama percakapan berlangsung Alanna terus diam. Meskipun ia memilih tidak mengatakan apapun pada Raka, tapi sepertinya cowok tersebut terus memperhatikan gerak-gerik Alanna yang canggung.

Raka berbicara sesuatu pada Ben, sehingga cowok itu pergi bergegas mendekat ke arah kekasihnya dan berbicara menggunakan bahasa German yang hanya dimengerti oleh Evelyn.

"Oh oke."

Setelah Evelyn paham, Ben kembali ke kursinya.

"Karena ini pertemuan pertama kita semua sama dengan Alanna, jadi kita harus mengutamakan pendekatan kita masing-masing sama dia," ujar Evelyn dengan memberikan senyuman pada Alanna.

"Ah iya, benar juga. Kita kadang lupa situasi saat sudah berkumpul seperti ini," terang salah satu cewek di samping Evelyn. "Ayo kita mulai ke perkenalan diri, dimulai dari gue, perkenalkan, nama gue Olive."

"Alanna."

"Gue Jessica."

"Claudia."

"Hemy."

"Adele."

"Anna."

"Lisa."

"Keila."

Mereka terus memperkenalkan diri secara berurutan satu persatu sampai yang terakhir.

Alanna tidak bisa mengingat mereka semua, ia hanya tahu nama Evelyn dan Olive saja karena Alanna pikir hanya mereka yang paling menerima dirinya.

"Lo pasti baru menghadiri acara kayak gini kan? Oh iya, lo beneran pacarnya Raka?" tanya Hemy dengan menatap Alanna sedikit mengintimidasi.

"Iya."

"Bukan pacar sewaannya?" sindir Hemy lagi. "No offense. Gue cuman memastikan, pernah ada kejadian yang kayak gitu kan sebelumnya," tuntas cewek itu lagi sebelum ia mendapat teguran.

"Memangnya, udah dari kapan lo pacaran sama Raka? Dia tipikal yang susah akrab sama sembarang orang loh," sambung Jessica.

Alanna terdiam sesaat. "Sekitar delapan bulan," tentu saja Alanna berdusta karena ia ingin melindungi martabat Raka di depan kekasih teman-temannya yang sedikit menyebalkan ini.

"Oh, masih baru banget ternyata. Kita semua yang ada disini itu, udah punya hubungan rata-rata di atas tujuh tahun semua," terang Olive.

"Apa setiap hubungan harus dibanding-bandingkan? Hubungan yang lama tentu saja pernah melewati hubungan baru juga kan?" Ujar Evelyn menatap teman-temannya tajam.

"Jaga omongan kalian, kita ini datang ke acara undangan Bokapnya Raka. Dan kalian coba ngasih ospek sama pacarnya dia? Jangan becanda deh."

Entah itu merupakan pembelaan untuk Alanna atau ia hanya memberikan pendapatnya namun yang jelas apa yang Evelyn katakan membuat kedelapan temannya yang lain ikut diam.

Obrolan berlangsung cukup lama dan tidak terasa sudah berselang selama 2 jam.

Sampai tidak lama dari itu, suara Frederick terdengar, ia mengucapkan salam pembuka dan berbicara di mimbar untuk mengucapkan rasa senang dan syukurnya karena untuk kali pertama setelah sekian lama Raka bisa menghadiri kembali acara perjamuan dan temu akrab antara para pengusaha besar dan anaknya tersebut.

"Tapi sepertinya kehadiran Raka tidak serta merta keinginannya, jadi mari kita beri tepuk tangan untuk sosok perempuan yang ikut datang ke acara ini bersama Raka."

Ballroom dipenuhi dengan suara tepuk tangan para tamu undangan di dalamnya.

Hal seperti ini membuat Raka merasa bernostalgia. Dulu ia juga selalu menjadi si nomor satu dalam setiap kesempatan saat Ayah nya mengadakan pertemuan kerjasama dengan kolega bisnis nya.

"Yang mana kekasihnya?" Celetuk salah satu kolega Papah nya.

Raka teringat dengan keberadaan seseorang di meja sebelah, ia melihat Alanna yang wajahnya sudah merona merah karena malu dan tidak terbiasa. Ia lalu berdiri dari duduknya dan berjalan mendekat ke arah dimana meja para perempuan berada.

Tubuhnya yang tinggi sedikit membungkuk, dan tangannya terulur melindungi sisi kanan dan kiri tubuh Alanna, akan tampak memeluk jika dilihat dari belakang.

"Sayang, tenang aja, gak usah gugup, ini acara kita," ucap Raka saat semua orang menatap dirinya dan Alanna. Lalu kemudian Raka lebih mendekatkan bibirnya ke telinga Alanna.

"Tetep fokus. Inget tujuan awal kita disini, kasih tau gue kalo lo nemu siapa pelakunya," bisik Raka yang hanya bisa Alanna dengar. Ia mencium puncak kepala Alanna dan berjalan kembali ke meja nya.

Hal yang Raka lakukan sontak saja membuat suasana menjadi lebih riuh. Bahkan Frederick sendiri menatap putera semata wayangnya dengan tatapan kaget.

"Go public!" sahut Ben menggoda.

Di lain sisi.. Alanna tidak bisa berbuat apa-apa, ia masih bertahan dengan posisi yang mematung meskipun Raka sudah kembali ke meja nya.

~¤~

Acara sudah selesai, dan semua tamu undangan yang hadir sudah memilih pergi meninggalkan ballroom.

Raka dan Alanna pun baru saja menyelesaikan acara bersalaman mereka. Bersama dengan Frederick yang berdiri di samping Raka.

Lagipula sekarang sudah jam 2 malam, beruntunglah besok menghadapi tanggal merah.

Acara makan malam, acara sambutan, konser beberapa artis papan atas, dan acara dansa untuk para anak muda pun sudah dilaksanakan hingga sampai ke penutup acara.

"Gimana?"

Alanna menggelengkan kepalanya pelan saat Raka bertanya demikian, Alanna tahu apa yang Raka maksud.

"Jadi bukan disini ya.."

"Raka," suara Frederick terdengar memanggilnya.

"Iya Pah?"

"Papah sangat berterimakasih kamu bersedia hadir ke acara ini. Papah juga sudah menunggu untuk waktu yang sangat lama agar kamu mau kembali ke rumah dan tinggal lagi bersama Papah."

Raka menatap Frederick dengan serius. "Acara ini, sebagai perayaan Papah buat cabang perusahaan baru di LA untuk dipegang Hans. Apa itu benar?"

Frederick agak terkejut mendapat pertanyaan Raka. "Benar. Papah berencana memberinya satu cabang perusahaan yang ada dalam pengawasanmu ke depannya. Tenang saja, apa yang sudah menjadi hak mu tidak akan Papah ubah Raka."

"Baguslah. Setidaknya dengan hal ini Raka merasa Papah bisa bersikap adil."

"Kapan Papah tidak adil sama kamu?"

"Sejak kematian Mama, dan Heln yang masuk di kehidupan kita. Papah bahkan lupa kan, saat Papah lebih menginginkan mereka untuk tinggal di rumah daripada Raka?"

Frederick menarik nafasnya, "Raka, ini memang salah Papah yang gak pernah jelasin kamu apa-apa. Papah begitu untuk menutupi kesedihan dari kepergian Mama mu. Papah bukan bermaksud untuk membedakan kamu dan Hans. Kamu tau Papah pasti akan lebih mengutamakan kamu di atas semuanya. Kamu anak kandung Papah, bagaimana Papah bisa memandang kamu sebelah mata?"

Raka terdiam, ia sedikit terkejut saat Alanna ikut memegang telapak tangannya.

"Kamu pulang ke rumah lagi ya? Biar tempat yang kamu tinggali sekarang menjadi tempat mainmu saat kamu ingin saja, bukan menjadi tempat tinggalmu."

Raka menoleh ke arah Alanna yang menganggukan kepalanya setuju.

"Kasih waktu buat Raka pertimbangkan lagi."

"Baguslah. Oh iya, kekasih anakku, siapa namamu?"

"Saya Alanna, Om."

"Alanna.. nama yang bagus. Perkenalkan, nama Om, Frederick. Kamu juga jika ingin bertemu dengan Raka, datang saja ke rumah kami."

"Ah, iya Om terimakasih sebelumnya."

Frederick mengangguk. "Kalau begitu Papah pamit pulang sekarang ya. Meskipun besok hari libur tapi kalian juga harus segera beristirahat."

"Baik Pah."

"Baik Om."

Ujar Alanna dan Raka bersamaan.

Tepat setelah Frederick pergi meninggalkan mereka berdua, Raka menatap Alanna dan Alanna sedang balas menatapnya juga.

"Ada apa?"

"Lo yakin?"

"Yakin apa? Dia Papah lo kan Ka? Kenapa lo malah tanya gini sama gue? Justru gue berpikir kalo lo ada serumah sama orang tua lo, pasti lo bakalan aman."

Raka menarik nafasnya, ia terlihat sedikit keberatan. "Gue belum ada pikiran buat tinggal disana dalam waktu dekat ini. Tapi kalo seiyanya nanti gue tinggal di rumah Papah lagi, gue bakalan sering berkunjung ke rumah lo kok."

"Iya, gue paham."

"Ayo balik sekarang."

Alanna mengangguk dan mengekor langkah Raka di belakangnya. Ternyata Raka yang selama ini memberikan image cuek dan terkesan enggan bersosialisasi, tapi di satu sisi lainnya ia adalah sosok yang hangat dan pengertian.

'Apa gue yakin buat ngebiarin Raka pindah tempat tinggal? Harusnya gue yakin sih, karena itu artinya beban gue udah hilang. Tapi, gue malah ngerasa gak mau ngelepas dia.'

Bahkan saat kini mereka dalam perjalanan pulang menggunakan mobil Alanna, cewek tersebut terus diam berkutat dengan pikirannya dan pandangan yang ia arahkan ke luar kaca mobil.

"Lo sedih ya kalo gue beneran pindah?"

"Nggak, mana ada gue sedih karena lo."

"Gak apa-apa, ngaku aja. Kalo lo emang sedih, nanti gue sering-sering ada nengok ke rumah lo."

"Ke rumah gue? Kok jadi rumah gue?"

Raka mengangguk. "Gue berpikir kalo gue pindah nanti, gue harus jual rumah gue juga."

"Jangan!" Alanna spontan melarang Raka demikian.

"Kenapa? Kan gue gak akan nempatin rumah itu lagi."

"M-maksud gue.. iya itu emang hak lo sih, tapi kalo rumah lo nyampe dibeli dan dihuni sama orang lain nanti, gue mungkin gak akan bisa lagi bernostalgia.."

Raka tertawa, ia tertawa dengan suara yang lepas. Tawa yang Alanna bersumpah mungkin hanya ia yang bisa mendengarnya lagi setelah 10 tahun berlalu.

"Oke, gue gak akan jual rumahnya. Demi lo."

Alanna tersipu malu, rasanya sangat sulit untuk mengakui perasaan yang ia rasakan sebenarnya pada Raka, entah karena gengsi atau karena alasan selain itu.

"Thanks Alanna. Berkat lo, malam ini gue bisa sedikit berdamai dengan masa lalu."

●●●