webnovel

"Kenyataan"

"Tapi setidaknya dengan lo mulai tinggal sama Papah lo nanti, lo gak perlu buat membiasakan diri lagi, dan lo juga tenang disini karena orang-orang rumah lo pasti menjaga lo dengan baik. Hal yang gak akan bikin gue was-was. Gue harap itu yang terbaik."

Raka menghadapkan badannya pada Alanna yang tengah menatapnya juga.

"Sepercaya itu lo sama kelurga Tiri gue?" tanya Raka dengan menekankan panggilan Tiri.

"Bokap lo punya banyak anak buah Ka, mereka pasti mikir ribuan kali buat mencelakai lo."

"Perasaan tadi gue bilang gue belum ada keputusan kapan tepatnya gue mulai menetap disini. Lo gak denger ya?" bisik Raka di telinga Alanna. Entah sejak kapan Raka sudah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Alanna.

"Gue tau, gue cuman kasih tau lo unek-unek gue," Alanna bergumam dengan menundukkan kepalanya.

Tangan kekar Raka membawa Alanna ke dalam sebuah pelukan yang begitu erat.

Blush.

"Akan gue pastikan, kita pasti bisa menemukan pembunuhnya. Siapapun mereka, gue akan bantu lo buat urus sampai tuntas dan gak akan ngebiarin kita celaka."

Alanna tersentak, ia mengangkat kepalanya dan menatap langsung pada wajah Raka yang balas menatapnya dengan tersenyum.

"Lagipula kita masih dalam misi selama satu bulan, anggap aja kita cuman punya waktu selama itu sampai kedua orang tua lo balik ke rumah. Itu berarti gue bakalan sering ngabisin waktu di rumah lo sambil nyari rencana baru."

"Oke," Alanna tahu jika wajahnya kini merah seperti buah tomat, oleh karena itu ia menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Raka, dengan pelukannya yang semakin mengerat.

"Nyaman lo peluk gue gini?"

"Lo yang peluk gue duluan!"

"Kayaknya kita harus ke ruang utama sekarang."

Dengan gugup Alanna melepaskan pelukannya dan memundurkan tubuhnya beberapa langkah. "Ide bagus."

Keduanya langsung bergegas pergi menuju ke ruang utama yang letaknya di lantai 3, khusus tempat pertemuan kolega bisnis, aula rapat, sekaligus tempat mengobrol dengan ruangan yang kedap suara.

Alanna diajak menaiki lift yang ukurannya lebih besar daripada lift yang berada di rumahnya.

'Gue pikir keluarga gue salah satu crazy rich, tapi faktanya masih sebesar upil buat dibandingkan sama rumah keluarga Raka.'

Suara lift berbunyi dan pintunya yang terbuka. Raka memimpin langkah di depan Alanna dan mereka menuju ruang utama.

Sebuah ruangan dengan pintu yang besar, "Lo gugup?"

"Sedikit."

Raka menggenggam telapak tangan Alanna oleh tangannya yang berukuran lebih besar.

Disana sudah terdapat Frederick dan Heln yang tengah menunggu keduanya. Raka mengambil posisi duduk tepat berhadapan dengan Frederick sang Ayah, dan Alanna berhadapan dengan Heln.

"Jadi, apakah selama ini kamu hidup dengan nyaman saat jauh dari Papah?"

Raka menggelengkan kepalanya. "Memang bukan sesuatu yang mudah pada awalnya, apalagi harus berpindah-pindah tempat tinggal karena beberapa alasan."

"Bagaimana dengan kondisimu yang sekarang?"

"Udah jauh lebih baik kayak yang bisa Papah liat."

"Apa kamu makan dengan baik?"

"Tentu."

"Papah nggak memberikan kamu uang untuk waktu yang cukup lama, selama dua tahun pertama kamu pergi dari rumah Papah benar-benar kehilangan jejak untuk tau kamu berada dimana."

Raka tertawa, tawa yang terdengar miris. "Papah hanya gak berusaha lebih keras lagi buat tau dimana Raka berada saat itu."

"Maafkan Papah, Raka."

"Aku sudah memaafkan bahkan untuk kesalahan di waktu yang lama," Raka menghela nafasnya.

"Terimakasih," Frederick menatap putera semata wayangnya sendu.

"Tapi jika Papah ingin tau, selama dua tahun itu Raka berusaha sangat keras untuk hidup seorang diri. Raka udah pernah ngerasain langsung panasnya terik sinar matahari saat bekerja sebagai kuli bangunan, atau beratnya barang yang harus dibawa saat menjadi kuli pasar, dan lelahnya menempuh jarak yang jauh di jalan saat menjadi sopir taksi."

Alanna menatap Raka kaget. Apakah yang Raka katakan merupakan fakta? Karena kulit Raka yang sekarang terlihat tidak demikian. Raka sangat terawat dan didukung oleh faktor wajahnya yang tampan.

"Sampai satu waktu, Om Roy tau keberadaan Raka dimana karena pada saat itu Raka bekerja sebagai sopir taksi, dan dia memawa kabar ini untuk Papah."

Frederick membenarkan ucapan putera kesayangannya ini. Bahkan ia akui, saat dirinya akan memberikan sejumlah uang untuk Raka bertahan hidup ketika jauh darinya pun, Frederick meminta bantuan Roy karena ia merupakan Ayah dari Antonio, teman satu sekolah Raka di SMA.

"Papah bukan gak mau mencari keberadaan kamu, tapi Papah harus mencari waktu yang tepat sehingga kamu gak terpaksa untuk pulang kembali ke rumah."

Raka menghela nafasnya. "Bagaimanapun makasih untuk dua puluh miliar nya Pah. Aku bisa beli rumah, beli kendaraan sendiri, membangun usaha Cafe, dan hidup dengan baik setelahnya."

"Dua puluh miliar? Besar sekali.. kenapa Mas gak bilang dulu sama aku?" Tanya Heln tiba-tiba nimbrung di obrolan mereka.

"Kalo Papah bilang sama kamu, memangnya apa yang akan kamu lakukan? Melarang Papah melakukan kewajibannya hanya karena kamu iri?" tanya Raka sembari mendecakkan lidahnya.

"Bukan, bukan begitu sayang, tentu saja Mama adil dan Mama yang akan memberikan uang itu secara langsung sama ka-"

"Seorang yang datang dengan tujuan gak jelas, harus tetap diawasi. Bukankah begitu? Apa keuntungan mempercayai orang yang gak bisa dipercaya kayak kamu? Adil? Pada anakmu tentu saja, tapi gak sama saya."

"Raka," Frederick menghela nafasnya. Selalu saja keributan terjadi saat Raka dan Heln disatukan di ruang yang sama. "Terutama kamu Heln, Mas sedang berbicara dengan Raka dimana etika sopan santun mu dengan memotong pembicaraan kami?"

Ibu tiri nya itu langsung tampak kecewa dan berwajah masam. Tapi, siapa peduli?

"Maaf.." ujar Heln dengan nada yang pelan. Wajahnya tidak terlihat seperti menyesal sama sekali.

Dalam hati Alanna yang sejak tadi terus menyimak obrolan, ia merasa apa yang Raka lakukan merupakan hal yang wajar, seperti ia yang bersikap ketus pada Ibu tirinya itu, karena memang Heln bersikap terang-terangan tidak menyukai Raka saat Ayah dari anak di hadapannya ini memenuhi kewajibannya dengan memberikan perhatian di segi finansial.

"Kembali pada topik awal yang sempat kita bahas malam kemarin. Kamu tau kan bahwa Papah akan memberikan cabang perusahaan yang baru selesai Papah dirikan di LA untuk saudara tiri mu Hans?"

"Iya tau. Papah udah bilang soal ini kemarin."

"Mas, kenapa bilang soal itu sih?"

Alanna bersumpah jika ia sangat ingin menyumpal mulut Heln dengan tanah basah sekarang, karena wanita tidak tahu diri itu seolah ingin menutup fakta agar ia lebih banyak mendapat harta.

'Pantesan aja Raka bilang mereka keluarga rakus. Sikapnya sekarang udah mencerminkan demikian.'

"Karena Hans udah diberikan bagaiannya, jadi perusahaan utama Wenation dan perusahaan utama Mama yang dipegang sementara oleh Kakek, hak mutlak punya Raka kan Pah?"

"Tentu saja."

"Mas!"

"Apa?!" Frederick tidak bisa menahan rasa kesalnya. "Apalagi? Jika itu masih belum cukup maka Mas akan berikan cabang perusahaan di LA untuk Alanna. Dia sepertinya lebih berhak karena dia perempuan pilihan Raka."

Heln menatap Frederick kecewa, tanpa berkata apapun Heln berdiri dan pergi meninggalkan ruang utama itu dan menggebrakan pintunya dengan kencang.

"Dasar jalang rakus gak tau diri," gumam Raka dengan kepalanya yang menggeleng-geleng. "Pah, apa sih yang bikin Papah mau sama dia? Papah gila ya?"

Frederick menghela nafasnya untuk kesekian kali. "Bukan keinginan Papah. Dia berniat mencuri harta kekayaan yang dimiliki mendiang Mama mu dengan cara menikahi Ayah mertua Papah."

"Jadi Papah mengorbankan diri?"

"Papah akan lakukan apapun selama itu bisa membuat masa depanmu cerah Raka. Heln terlalu licik untuk ditindak."

Raka masih terkesiap dalam diamnya, sungguh, apakah selama ini ia salah menyangka pada Ayah nya?

"Jika saja Papah gak mengambil pusing atas hal yang kemungkinan akan terjadi, maka saat itu bisa Papah pastikan kamu gak akan bisa memiliki sedikitpun kekayaan yang diwariskan Mama mu. Ini jalan terbaik yang bisa Papah lakukan demi kamu."

Hening.

Raka langsung berdiri dari posisi duduknya dan pergi ke arah dimana Frederick berada, lalu cowok itu bersimpuh pada kedua kaki Frederick.

"Hei, Raka kamu kenapa?"

Alanna ikut mencoba membantu agar Raka berdiri dari posisi bersimpuhnya.

"Raka mohon maaf sama Papah, mohon Papah memaafkan kesalahan yang Raka lakukan dari dulu sampai saat ini Pah, Raka terlalu banyak berburuk sangka sama Papah," tangis Raka yang pecah terdengar dari suaranya saat ia berbicara.

"Raka sayang, berdirilah, jangan begini.."

Akhirnya setelah Frederick meminta Raka demikian, Raka memposisikan dirinya untuk duduk. Ia menerima sebuah pelukan dari Frederick yang tentu sangat dirindukannya.

"Kamu, putera semata wayang Papah, putera kecil Papah yang akan selalu begitu di mata Papah. Papah sama sekali gak menyalahkan kenapa kamu bersikap demikian sama Papah, karena pikiranmu dulu masih terlalu muda untuk terbebani hal seperti ini Raka."

Alanna yang menyaksikan sekaligus mendengar ucapan Frederick dan Raka, tidak kuasa ikut meneteskan air matanya.

"Papah dan Mama mu, kami memang menikah lewat jalur perjodohan, tapi satu hal yang harus kamu tau Raka. Papah hanya mencintai mendiang Jeanna, istri Papah atau Mama kamu, dan hal itu gak akan pernah berubah."

Saking terlarut dalam pembicaraan mengharukan ini, ke 3 orang yang berada di dalam ruangan tersebut sama sekali tidak menyadari jika ada sosok Heln yang sudah mendengar semuanya.

Air matanya tumpah dan tangannya memegang gagang pintu dengan erat.

●●●