Alan sampai dirumahnya pukul satu dini hari. pikirannya sudah kacau, tubuhnya lelah, ia bahkan masih bisa mendengar hentakan musik dari club malam tersebut di benaknya. dari tubuhnya masih menguar parfum wanita lain. itu adalah hal biasa baginya.
yang tak biasa adalah kehadiran istri kecilnya itu di tempat yang tak terduga. ya, pikirannya sudah penuh oleh pertanyaan.
kenapa dia bisa berada disana? kenapa dia sampai harus menyaksikan peristiwa itu disana?
Alan tak habis pikir, apa yang membawa istri kecilnya sampai menginjakkan kaki di tempat itu. setahu Alan, Lili dan sahabatnya itu bukan tipe perempuan yang suka menghabiskan waktu di tempat semacam itu. apa istrinya sudah berani mengikutinya sampai ke club itu diam-diam?
ah sudahlah, tak ada gunanya Alan memikirkan itu sekarang, yang harus dia pikirkan adalah bagaimana dia harus menghukum istri kecilnya karena sudah kelayapan ke tempat seperti itu dimalam hari, lagi tanpa sepengetahuannya.
sial, apa yang Genta lakukan sebagai supir pribadinya? kenapa bisa terjadi peristiwa diluar kendalinya? Alan mulai merasa terlalu melonggarkan penjagaanya terhadap bocah perempuan itu. merepotkan! kenapa dia harus dibebani tanggung jawab mengasuh bocah menyebalkan? Alan tak henti-hentinya merutuki keadaan.
Alan sudah akan mengangkat suara ketika ia membuka pintu kamarnya. nihil. tak ada siapapun disana.
'kemana dia?' batinnya.
Alan mencoba mencari keberadaan istrinya di ruang tamu, dapur, ruang keluarga, sampai ke dekat kolam renang namun tetap tidak menemukan istrinya.
Alan tersentak, ia lekas kembali ke kamar dan berjalan ke arah lemari, Alan memeriksa isi lemarinya. ia terkejut bukan kepalang. baju-baju Lili sudah tak ada. Hanya tersisa foto pernikahan mereka yang tak pernah terpajang dimanapun yang tertinggal disana.
"Selain sudah berani menyelinap, ternyata kau sekarang juga sudah berani minggat?" Alan menyeringai kejam.
"biar kutunjukkan kuasaku atas dirimu" gumamnya seraya mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. sorot matanya benar-benar menyeramkan.
***
Dela baru saja keluar dari kamar mandi dan membersihkan dirinya setelah mengobati beberapa luka di wajahnya. setelah mobil terparkir ia ingin buru-buru menikmati guyuran shower yang membilas segala keluh kesahnya malam ini. membuang segala nasib sial yang mungkin masih melekat di tubuhnya.
ia berjalan ke arah spring bed dan terlihat sibuk dengan ponsel di genggamannya. sedari tadi Dela berusaha menghubungi Lili dan tak kunjung mendapatkan kabar. ia frustasi dan cemas takut terjadi apa-apa pada sahabatnya itu.
"bagaimana? sudah ada kabar?" tanya seorang pria yang tiba-tiba masuk ke kamar itu. suara pria itu mengejutkan Dela.
"astaga Chris! apa yang kau lakukan disini? bagaimana kau bisa masuk?" Dela menyentak marah dengan raut terkejut.
"tentu saja bisa. ini kan kamarku, aku mau tidur dikamarku. diluar dingin" jawabnya enteng.
"iya tapi bagaimana kau bisa masuk? aku ingat tadi sudah menguncinya rapat!"
Chris tersenyum licik.
"kau pikir aku tidak punya kuncinya?" tutur Chris menaikkan sebelah alisnya.
"kalau kau tidur disini lalu bagaimana denganku om?" ujar Dela jengkel. ia menjauhkan tubuhnya ketika Chris menjatuhkan dirinya di spring bed empuk disamping Dela.
"itu urusanmu, lagian kau sendiri yang tidak mau kuantar pulang kerumahmu" ujar Chris memejamkan mata menikmati empuknya kasur kesayangannya ini. hari ini cukup melelahkan baginya.
"Apa kau gila? kalau aku pulang dengan keadaan seperti tadi pasti orang tuaku akan cemas!" Jawab Dela tak mau kalah.
Chris hanya menaikkan bahunya cuek.
"sudahlah, tidur saja. aku tidak akan melakukan apapun padamu. mungkin" ada jeda yang panjang di akhir kalimatnya. Chris menahan tawa melihat Dela yang seketika panik.
"dasar om-om gila!" ujar Dela misuh-misuh seraya membawa bantal dan berjalan menuju sofa disudut ruangan. tak lupa pula satu pukulan bantal melayang di tubuh Chris.
Chris hanya cekikikan sendiri melihat tingkah Dela yang selalu menarik dimatanya.
"kau pikir aku akan mengalah karna kau wanita? tentu saja tidak. ini kamarku, rumahku" Chris menaikkan nada suaranya, sedari tadi ia mendengar keluhan Dela yang terdengar seperti lebah tak ada hentinya.
"iya om, aku tahu!"
Dela akhirnya memutuskan mengalah dan diam tidur di sifa sudut ruangan.
Dela kembali mengecek ponselnya sekali lagi. masih tidak ada kabar apapun dari Lili. ia tidak habis pikir dengan Alan. kenapa pria itu tidak henti-hentinya menyakiti sahabatnya. ingin rasanya Dela menjambak rambut Alan di club tadi. Astaga, pasti Lili sedang menangis sekarang. Dela menghela napas gusar.
"tidurlah, besok pasti dia menghubungimu" ucap Chris yang ternyata belum tidur. Dela menolehkan kepala ke arah ranjang. benar juga, mungkin Lili sedang butuh waktu sendiri untuk memikirkan masa depannya. Delapun memutuskan memejamkan mata berharap semua yang terjadi malam ini hanyalah mimpi buruknya saja.
***
"apa yang membuatmu sperti ini nak?" ujar wanita paruh baya itu sambil mengelus rambut panjang Lili yang masih sesenggukan di pangkuannya.
wanita paruh baya itu terlihat sudah tua dengan uban yang tersanggul di kepalanya. kerutan di wajahnya sudah terlihat jelas di usianya yang sudah lebih setengah abad itu.
"Maaf bi, Lili tidak tahu lagi harus pergi kemana" jawab Lili dengan susah payah di tengah isak tangis nya. matanya sudah membengkak sejak pertama kali Lili mengetuk rumah Bi Maryam di tengah malam, lengkap dengan kopernya.
Bi Maryam masih mengelus kepala Lili mencoba menenangkan gadis itu dari isak tangisnya.
"Lili ngga kuat Bi, sakit sekali rasanya. kenapa Lili harus jatuh cinta pada pria seperti itu? kenapa kami harus menikah?" tuturnya lirih di sela isak tangisnya. Bi Maryam hanya mendengarkan tanpa berkomentar apapun.
Bi Maryam adalah mantan pembantu yang dulu pernah bekerja di rumah Lili ketika kedua orangtuanya masih hidup. ia sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh keluarga Lili. Lili sering diam-diam mengunjungi Bi Iyam tanpa sepengetahuan Alan. ya, begitulah panggilannya sejak dulu masih bekerja di keluarga Atmadja.
Bi Iyam sudah dekat dengan Lili semenjak Lili masih kecil. ia tahu betul bagaimana dekatnya Lili dengan Alan dulu. mereka sangat akrab seperti adik kakak bahkan terkadang tampak lebih dari pada itu. Bi Iyam benar-benar bingung dengan kedatangan Lili yang seharusnya tengah berbahagia dengan rumah tangganya. perempuan mana yang tidak bahagia menikahi pria tampan seperti Alan? dia juga kaya, asetnya dimana-mana, wajahnya sering muncul di majalah-majalah ekonomi sebagai pengusaha sukses. Bi Iyam tidak mengerti apa yang menimpa gadisnya ini hingga ia terlihat begitu menderita.
"Lili mau pulang Bi. kemana Lili harus pulang? apa Lili tidak punya rumah di dunia ini? kenapa dunia seolah membenciku?" lanjutnya lagi.
"hus, tidak boleh bicara bagitu nak. ini rumahmu juga, tidak ada yang membencimu"
Lili hanya menangis dan menangis tanpa menceritakan apapun di pangkuan Bi Iyam hingga ia tertidur. rumah yang sederhana itu menjadi saksi bagaimana pilunya tangisan seorang istri yang dikhianati oleh orang yang paling dicinta. ia tidak ingin kembali ke neraka itu lagi.
halo readerku, terimakasih buat yang masih setia menunggu. aku pengen nanya nih, apasih yang bakal kalian lakukan kalau berada di posisinya Lili, dikhianatin orang yang paling dicinta? menyerah atau balas dendam? bertahan atau bahkan memilih perpisahan? tulis di kolom komentar ya!