"Ibu, aku mau itu." Si gadis kecil menunjuk barisan daging yang ditusuk yang berada di atas panggangan.
"Oh, kemarilah, Nak. Jika kau makan ini kau akan bertambah cantik," kata si penjual, membuat gadis kecil yang polos itu semakin antusias ingin beli sementara sang ibu nampak menatap si penjual dengan tatapan aneh.
Melihat itu, Odette tidak bisa menahan senyumnya. Dulu saat dia kecil, dia juga seperti gadis kecil itu, sangat mudah terjebak dengan mulut manis para penjual jajanan maupun mainan. Odette sering membuat ibunya kerepotan dengan itu.
"Apa Nona Ody ingin makan itu?" tanya Anwen setelah melihat Odette menatap ke arah penjual daging panggang di bawah sana.
"Tidak." Odette masih tersenyum. "Aku hanya melihat gadis kecil yang di sana."
Mendengar itu, Anwen ikut memperhatikan gadis kecil yang diperhatikan Odette. "Ada apa dengannya?"
"Gadis itu mengingatkanku dengan diriku yang masih kecil dan ibu gadis itu mengingatkanku kepada ibuku," ucap Odette dengan mata yang menyorot sedih sementara itu sekilas Anwen terlihat terkejut, matanya terbuka lebar lalu di detik berikutnya mata ungu itu menyipit dan terlihat sendu.
"Apa … apa kau merindukan ibumu, Nona Ody?" tanya Anwen sambil terus memperhatikan ibu dan anak yang ada di sana.
"Um. Sangat."
"Bersabarlah sebentar lagi kalian akan bertemu."
Kabut kesedihan semakin jelas terlihat di mata Odette.
"Ibuku … sudah meninggal," ucapnya membuat Anwen tertegun.
Anwen menoleh menatap Odette selama beberapa detik lalu kembali melihat ke bawah.
"Ibuku juga," ucapnya.
Mata biru Odette bergeser melihat gadis di sebelahnya dan terkejut saat melihat air mata telah mengalir di pipi gadis itu.
"Anwen, kau?" Odette segera memeluk Anwen saat gadis itu mulai terisak.
Di pelukan Odette, Anwen menggigit bibir bawahnya, berusaha keras untuk meredam suara isakannya sementara air matanya mulai berjatuhan seperti hujan.
Odette bertanya ada apa namun karena Anwen tidak menjawab, Odette hanya mempererat pelukannya dan membiarkan Anwen menumpahkan kesedihannya.
Dua jam kemudian Anwen telah tertidur. Odette yang berada di sebelah Anwen memiringkan tubuhnya dan menatap Anwen dengan lekat. 'Kau pasti sangat merindukan ibumu sampai kau menangis seperti itu. Tetapi apa cuma itu yang membuatmu menangis?' Odette bergumam di dalam benaknya.
Sementara itu, Anwen yang tertidur, bermimpi tentang Rion dan ibunya.
***
"Kakak!" Seorang gadis kecil berambut abu-abu dan bermata ungu berlari menghampiri seorang anak laki-laki berambut abu-abu yang berdiri di samping kuda yang sedang makan rumput.
Jika diperhatikan selisih usia mereka berkisar sepuluh sampai tiga belas tahun.
Anwen berlari cepat, menaiki sebuah bongkahan batu lalu hup!
Dia melompat tanpa ragu. Beruntung Rion dengan cepat berbalik dan menangkapnya.
"Anwen berhenti melompat seperti itu. Bagaimana kalau kau jatuh?"
"Aku tidak akan jatuh karena kakak selalu menangkapku," ucap Anwen lantas tersenyum lebar dan memperlihatkan barisan giginya.
Melihat itu Rion hanya menghembuskan napas kasar lalu menurunkan Anwen dari gendongannya.
"Kakak, ajari aku mengendarai kuda," kata Anwen sesaat setelah dia berdiri.
"Tidak bisa," tolak Rion mentah-mentah.
"Kenapa tidak bisa."
"Karena kakimu terlalu pendek," ucap Rion sambil menyisir bulu kuda di depannya.
Anwen menatap punggung Rion dengan wajah cemberut, dia merasa tersinggung. Dia lalu menoleh ke arah kuda lain yang sedang makan kemudian mendekati kuda tersebut secara diam-diam.
KAKAAAAK!
Anwen berteriak histeris saat kuda yang dia naiki tiba-tiba berdiri dan berlari kencang tanpa bisa dikendalikan.
Rion yang terkejut melihat itu segera menaiki kudanya untuk mengejar adiknya.
"ANWEN!"
"KAKAAK, TOLONG AKU!" Anwen mulai menangis sambil memeluk leher kudanya.
"ANWEN BERIKAN TANGANMU!" kata Rion sambil mengulurkan tangannya kepada Anwen ketika kudanya berlari di sebelah kuda Anwen.
"Aku takut kakak … hiks …." Anwen semakin mempererat pelukannya ke leher sang kuda namun hal itu membuat sang kuda semakin berlari cepat dan Rion harus menambah kecepatan kudanya untuk mengimbangi.
"AAAAAGH!"
"ANWEN ULURKAN TANGANMU!"
"TIDAK MAU! NANTI AKU JATUH … HIKS …."
"ANWEN PERCAYALAH PADAKU! AKU AKAN MENANGKAPMU!"
"Ha?" Mendengar kata-kata itu, Anwen yang sebelumnya menutup mata, membuka kedua matanya untuk melihat kakaknya. Dia melihat mata kakaknya yang terlihat kuku lalu melihat uluran tangan yang terulur ke arahnya.
Kuda masih berlari cepat. Perlahan-lahan Anwen mulai melepaskan satu tangannya dari leher sang kuda untuk meraih tangan kakaknya namun saat tangannya hampir meraih tangan kakaknya, Anwen terlempar jauh ke depan hingga membentur pohon.
"ANWEEEN!!"
"Ka-kakak …." Sebelum kehilangan kesadaran Anwen kecil mendengar suara kakaknya yang berteriak histeris memanggil namanya.
***
"Ukhuk."
"Akhirnya kau sadar."
Anwen baru saja sadar dan dia melihat seorang wanita cantik berambut keemasan dan bermata ungu duduk di sebelahnya.
"Ibu … di mana kakak?" tanya Anwen dengan nada lemas.
"Aiden ada di kamarnya."
"Maksudku Kak Rion."
"Dia bukan kakakmu. Kakakmu adalah Aiden," ucap wanita itu dengan nada yang dingin.
"Kak Rion juga kakakku."
"Dia bukan kakakmu, dia tidak becus menjagamu. Dia tidak pantas disebut seorang kakak."
"Ibu hentikan. Ini bukan salah kakak!"
"Berhenti membelanya dan beristirahatlah."
Suara serangga malam mengisi keheningan malam. Anwen tidak bisa tidur, dia terus memikirkan kakaknya, Rion. Dia mengingat saat Rion berusaha untuk menyelamatkannya dan merasa bersalah.
Pasti ibunya telah memarahi Rion untuk apa yang terjadi.
"Aku memberikan kakak masalah," gumasmnya. Dia memegang kepalanya yang dibalut lalu turun dari tempat tidur. Dia lalu berjalan perlahan menuju pintu, berencana untuk menemui kakaknya dan meminta maaf tetapi saat dia membuka pintu dia terkejut karena menemukan Rion yang sedang duduk bersandar di dekat pintu sambil tertidur. Pipi kiri Rion terlihar memar, itu pasti bekas tamparan Ibu Helen.
Anwen langsung menggit bibir bawahnya, berusaha untuk tidak menangis. Hatinya sakit saat memikirkan Rion yang disalahkan oleh ibu Helen karena ia jatuh dari kuda. Apa lagi saat memikirkan bagaimana Rion selalu berusaha mendapatkan cinta dan kasih sayang dari Ibu serta berusaha agar Ibu Helen mau menganggapnya anak. Namun wanita itu selalu bersikap dingin dan tidak pernah ingin menerima Rion sebagai anaknya.
Anwen melangkah lebih dekat dan menatap memar di pipi Rion dari dekat lalu melihat seluruh wajah Rion yang sedang tertidur pulas.
"Kenapa kakak tidur di sini? Apa kakak ingin menjengukku tapi ibu tidak membiarkan kakak masuk?" Air mata mulai mengalir dan membasahi pipi Anwen. Dia yang salah tetapi Rion yang disalahkan.
"Maaf, Kakak … hiks …," ucapnya terisak pelan dan karena isakan itu Rion terbangun.
Melihat Anwen menangis di hadapannya, Rion terkejut.
"Anwen kau? Ada apa?" tanyanya dengan nada khawatir namun Anwen tidak menjawab, gadis itu langsung memeluknya erat.
"Maafkan aku Kakak hiks … karena aku ibu menamparmu … hiks … hiks … itu pasti sakit … hiks …." Anwen terisak-isak.
Sesaat Rion membalas pelukan Anwen dan mengusap-usap punggung adiknya itu sebelum kemudian melepaskannya.
"Aku tidak apa-apa. Jangan menangis lagi," kata Rion menghapus air mata Anwen.
"Kakak tidak marah kepadakukan? Kakak tidak membenciku, kan?" tanya Anwen tersedu-sedu.