webnovel

Kerinduan Seorang Adik

Rion menghapus air mata Anwen dan berkata, "Tidak. Kau adalah adikku dan aku akan selalu menyayangimu. Jadi berhentilah menangis."

"Benarkah?" Anwen menatap Rion dengan mata yang masih basah.

"Tentu saja." Rion tersenyum.

Anwen kembali memeluk Rion.

"Aku sangat menyayangi, Kakak," ucapnya.

"Aku juga."

"Kakak, jangan benci aku, yah."

"Tidak. Tidak akan pernah."

***

Anwen kecil yang terlempar dari kuda kini telah berusia sebelas tahun.

Dari balik pilar sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh dua obor di sudut, Anwen mengintip.

CETARR!

CETARR!

Anwen tekejut dan bergidik setiap kali cambuk menghantam tubuh seorang wanita berambut keemasan dan bermata ungu yang kedua pergelangan tangan dan kakinya diikat oleh rantai.

CETARR!

"Ukhuk." Wanita itu memuntahkan banyak sekali darah. Darah itu menutupi hampir seluruh bagian dagunya dan merembes turun hingga ke lehernya.

"Kenapa ibu harus melakukan semua ini … hiks …." Anwen menangis menyaksikan ibunya menerima hukum cambuk sebanyak seratus kali.

Waktu terus berlalu, setelah ruangan itu sepi, Anwen keluar dari persembunyiannya dan berjalan menghampiri sang ibu yang berdiri dengan kedua tangan dan kaki diikat oleh rantai.

"Ibu."

Helen yang begitu lemah mengangkat kepalanya untuk melihat Anwen.

Tangan Anwen mengepal kuat.

"Kenapa? Kenapa ibu harus melakukan semua ini?! Karena ibu, Kak Rion memenggal kepala kakak ipar. Karena ibu, kakak ipar dan Kesatria Lucas harus kehilangan nyawa mereka dan karena ibu … hiks …." Anwen berteriak kesal namun kemudian dia mulai menangis. "Karena ibu Kak Rion sekarang sangat menderita dan aku juga … hiks …."

Helen menatap Anwen dengan mata yang sulit untuk dibuka.

"Kalau kau ke sini hanya untuk mengatakan itu, pergilah," katanya yang membuat Anwen tertegun.

"Ibu …." Anwen menatap ibunya dalam diam selama beberapa detik lalu berbalik untuk pergi namun sebelum dia membuat langkah pertamanya sang ibu membuka suara.

"Saat kau bertemu Rion, katakan kepadanya bahwa aku tidak menyesal," ucapnya membuat Anwen kembali mengepalkan kedua tangannya.

Dia merasa sedih dan kesal secara bersamaan karena ibunya sama sekali tidak menyesali perbuatannya.

Anwen menunduk, melihat kakinya sendiri.

"Aku … aku tidak tahu kalau ibuku sangat jahat. Aku hanya bisa berharap jiwamu akan beristirahat dengan tenang," kata Anwen menegarkan hatinya lalu melangkah pergi.

***

Tidur Anwen gelisah, dia menoleh ke kiri dan ke kanan. Odette yang merasakan pergerakan Anwen, terbangun.

Anwen masih bermimpi, yang dia lihat adalah potongan-potongan dari kilas balik masa lalu.

Saat ini Anwen melihat kilas balik ketika dirinya berdiri menghadap kobaran api yang membakar ibunya.

Aaaaah!

Aaaaaagh!

Teriakan sang ibu dari balik api terdengar sangat memilukan. Jangan tanya bagaimana perasaan Anwen saat ini. Matanya memandang kosong ke arah bayangan seorang wanita yang meraung kesakitan dan berguling-guling di dalam api, hingga beberapa saat kemudian wanita itu pun berhenti bergerak dan suara teriakannya sudah tidak terdengar lagi, disusul dengan kobaran api yang meluap semakin besar.

"IBUUUU!"

"Anwen?"

Anwen berteriak sangat keras dan terbangun dengan kaget. Odette yang berada di sebelahnya pun terbangun dengan kaget.

Napas Anwen terengah-engah dan dia berkeringat dingin. Melihat kondisi Anwen, Odette segera meraih teko yang ada di meja di samping tempat tidur lalu menuang air ke dalam gelas.

"Minumlah," ucap Odette sambil memberikan gelas di tangannya kepada Anwen.

Anwen menerima gelas itu lalu meminum airnya beberapa teguk.

"Anwen, apa kau bermimpi buruk?" tanya Odette setelah meletakkan kembali gelas ke tempat semula.

Anwen mengangguk.

Odette menatap Anwen dengan lekat. Wajah gadis itu terlihat pucat. Sejak mereka bertemu, Anwen selalu terlihat ceria, bersemangat, dan sangat pemberani namun saat ini gadis itu terlihat tegang dan ketakutan.

"Maaf, Nona Ody, aku membangunkanmu," kata Anwen setelah napasnya cukup tenang.

Odette menggeleng, tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa. Anwen apa kau bermimpi buruk tentang ibumu?" tanya Odette mengingat saat bangun Anwen berteriak memanggil ibunya.

Anwen mengangguk.

"Apa yang kau lihat?"

Anwen menoleh menatap Odette namun dia tidak mengatakan apa-apa.

"Kalau kau tidak mau cerita tidak masalah tetapi jika kau menceritakannya mungkin kau akan merasa lebih baik," kata Odette

Anwen turun dari tempat tidur lalu berjalan ke dekat jendela dan Odette mengikutinya.

Bintang-bintang terlihat menghiasi langit malam dan hembusan angin yang menyentuh kulit terasa sejuk. Untuk beberapa saat mereka terdiam dalam keheningan.

Odette dengan sabar menunggu Anwen yang terlihat ingin bercerita.

"Nona Ody, aku adalah anak dari seekor ular," kata Anwen setelah lima belas detik terdiam dan membuat mata Odette melebar karena terkejut namun kalimat-kalimat Anwen yang berikutnya lebih membuat Odette terkejut.

"Enam tahun yang lalu ibuku dibakar hidup-hidup. Dia menerima hukuman bakar karena telah membuat konspirasi yang membuat Kak Rion menjatuhkan hukuman mati kepada kakak ipar dan Kesatria Lucas."

Odette benar-benar terkejut mendengarkan apa yang dikatakan oleh Anwen namun dia memutuskan untuk terus mendengarkan.

Dengan pandangan sedih, Anwen menatap ke arah langit. "Ibuku terobsesi ingin menjatuhkan Kak Rion dan membuat Kak Aiden naik tahta namun rencananya untuk menjatuhkan Kak Rion selalu digagalkan oleh Kakak Ipar Rose dan Kesatria Lucas."

"Kenapa ibumu ingin menjatuhkan Rion? Bukankah Rion anaknya juga?" tanya Odette.

Anwen menggeleng. "Bukan. Aku dan Kak Aiden berbeda ibu dengan Kak Rion. Kak Rion adalah putra dari ratu pertama, Yang Mulia Ratu Ahana. Ayah menikah dengan ibuku setelah Ratu Ahana meninggal dunia.

Sekarang Odette mengerti. Ternyata Rion dan Anwen satu ayah tetapi mereka beda ibu. Ibu Anwen ingin menjatuhkan Rion karena Rion adalah anak tiri.

Anwen melanjutkan ceritanya, "Ibu melakukan banyak kejahatan namun puncak kejahatan ibu adalah saat dia membuat konspirasi yang menjatuhkan Kakak Ipar Rose dan Kesatria Lucas. Kak Rion sangat mencintai Kakak Ipar Rose dan Kesatria Lucas adalah sahabat Kak Rion. Karena konspirasi yang dibuat oleh ibuku, Kak Rion harus menjatuhkan hukuman mati kepada wanita yang sangat ia cintai dan juga sahabat terbaiknya. Kejadian itu sudah berlalu selama enam tahun tetapi sampai sekarang Kak Rion belum bisa memaafkan dirinya sendiri."

Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Anwen.

"Dulu aku dan Kak Rion sangat dekat tetapi sejak hari itu, saat semua kebenaran terbongkar Kak Rion tidak pernah berbicara kepadaku. Aku …." Anwen mulai menggigit bibir bawahnya. Dia terlihat ingin menangis tetapi dia berusaha menahan air matanya. "Aku sangat merindukan Kak Rion."

"Anwen …." Odette berucap lirih.

Anwen menghapus air matanya dengan kasar. Padahal dia sudah berusaha untuk menahan air mata itu agar tidak jatuh tetapi dia gagal. Semakin dihapus semakin keluar namun dia kaget saat tangannya tiba-tiba ditahan oleh Odette.

"Nona O–" Anwen kembali terkejut saat Odette tiba-tiba memeluknya.

"Tidak apa-apa. Biarkan saja. Kalau kau ingin menangis, menangis saja. Menangislah sampai kau merasa lega," kata Odette mengelus-elus punggung Anwen.

Mata ungu Anwen yang tadi terbuka lebar karena terkejut perlahan-lahan menyipit lalu ia mulai menangis dan terisak.