Tidak sampai setengah jam dari ramainya pusat perkopian Sudimoro Soekarno Hatta, Damai sudah memasuki area Perumahan Permata. Pukul sebelas malam, portal terakhir dari pos satpam ditutup. Itu sudah menjadi sebuah kebijakan sejak berdirinya perumahan tersebut.
Di depan rumah paling megah, tinggi, besar dan paling terkenal di area tersebut yaitu rumah milik Mbah Sani, Damai menghentikan sejenak motornya. Menatap ke arah balkon tetangga yang lampunya masih menyala. Damai segera masuk dengan kecepatan kilat begitu penjaga pagar rumahnya membuka pintu pagar.
"Minta tolong masukin ya pak! Aku keburu ngerjain tugas." Damai menunduk sopan pada penjaga pagar rumahnya, kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Mbah Sani selalu mengajarkan pada Damai untuk bersopan santun kepada orang yang lebih tua, dan semua orang. Terutama yang membantu mereka di rumah. Tidak membeda-bedakan posisi orang tersebut, tanpa terkecuali Damai harus sopan pada siapa saja. Dan hal itu diterapkan dengan baik oleh Selebgram hits di kalangan anak muda tersebut.
"Nggih Den," balas seorang bapak paruh baya itu.
Di dalam rumah, Mbah Sani sudah tidak terlihat. Mungkin sudah tidur, pikir Damai. Karena ini memang sudah jam malam untuk Mbahnya itu, biasanya juga jam sembilan sudah tertidur pulas.
Damai melesat masuk ke dalam kamarnya, menghidupkan lampu. Dan melemparkan kunci motornya ke atas meja belajar, sebelum keluar balkon dia menarik nafas panjang, karena saat ini dia sedang terengah-engah. Berlari menaiki tangga yang cukup tinggi juga menguras sedikit tenaganya. Belum lagi detak jantung berpacu kencang karena ingin segera menuju balkon.
Tangannya membuka pintu kamar menuju balkon. Kemudian kakinya melangkah keluar. Dari balkon rumahnya, terlihat balkon tetangga sebelah. Pintu dan jendelanya masih terbuka, namun Damai tidak dapat melihat penghuninya.
"Nja… belum tidur? Ehem…." Damai berdehem, dan bersuara pelan, karena tidak ingin terlalu kentara kalau dia sedang ingin melihat cewek manis di sebelah rumahnya itu.
"Senja…," panggilnya lagi. Kali ini sedikit keras. "Gue mau tanya sesuatu nih," sambungnya. Selama beberapa detik tidak terlihat pergerakan dari dalam rumah. Damai mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi demi untuk menengok ke dalam kamar Senja. Namun sia-sia. Jarak dan jangkauannya terlalu jauh. Tidak bisa membuatnya melihat kedalam sana, yang ada Damai bisa terjungkal ke bawah kalau terus memaksa untuk melongok berusaha melihat ke dalam kamar Senja.
Damai bergidik ngeri membayangkan apa yang baru saja dipikirkan sambil menunduk melihat ke bawah. Ketinggian dari balkon rumahnya sekarang tidak main-main. Tidak lucu jika dia terjatuh dari sana karena ingin melihat Senja.
"Mau tanya apa Mai?"
Damai seketika mendongak, melupakan bayangan seram tentang jatuh dari atas balkon dan akibat setelahnya, termenung sejenak menatap ke arah sumber suara.
Saat ini Senja dengan kening berkerut menatap heran pada Damai, karena melamun menatapnya. "Damai!" panggil Senja dengan suara sedikit keras.
"Ah… iya Nja," jawabnya terbata.
"Mau tanya apa?" Senja mengulangi pertanyaannya, dia hanya berpikir Damai akan menanyakan tentang tugas yang saat ini memang sedang banyak, dan harus selesai besok pagi. Jadi, dia menunggu mulut cowok itu terbuka untuk menjawabnya.
Aduh! Damai tidak bisa memikirkan apapun. Otaknya mendadak kosong, dan tidak memiliki jawaban apapun untuk Senja. Pertanyaan apa yang akan disiapkan buat dia sekarang. "Sebenarnya bukan pertanyaan sih," sahut Damai. Sambil berpikir keras untuk berkilah.
"Lah terus?" tanya Senja lebih heran lagi. Telinganya jelas mendengar tentang tetangga barunya yang ganteng itu ingin mengucapkan sebuah pertanyaan.
Pertanyaan terbesar Damai di dalam benaknya saat ini adalah, apa hubungannya dengan Shandy? Apa benar mereka pacaran? Namun kalimat itu sama sekali tidak bisa keluar dari mulut Damai. Dia tidak ingin begitu kentara kalau penasaran tentang hal itu.
"Anu… gue belum ngerjain tugas. Lo mau bantuin gue gak?" tanya Damai.
Senja mengangkat sebelah alisnya. "Aku harus bantuin gimana?"
"Ngerjain bareng aja," timpal Damai cepat.
Tetangga sebelahnya itu sepertinya sedang bercanda. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan sekarang dia mengajak mengerjakan tugas bersama? Sepertinya bukan ide yang bagus.
"Gimana bisa? Ini tuh udah malem Mai, gak mungkin aku kerumah kamu apalagi sebaliknya kan? Gak enak sama Mbah Sani," jelas Senja. Wajahnya serius menanggapi Damai.
Damai mengangguk-angguk. Melihat wajah Senja yang serius, dia ingin terus menggoda teman barunya itu. "Ya kalau gitu belajar disini aja Nja," timpal Damai.
"Ha?" Senja nyengir. Entahlah, mungkin karena terlalu banyak belajar sejak usai makan malam tadi, otaknya sedikit loading menanggapi Damai kali ini. "Gimana maksudnya?" tanya Senja lagi.
"Lo disana, gue disini. Kita belajar bareng dari balkon masing-masing." Damai menjelaskan maksud perkataannya perlahan. Wajar saja baginya jika Senja tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan. Karena sebenarnya ide itu juga baru muncul saat dia berpikiran untuk terus menggodanya tadi.
"Emangnya bisa?"
"Bisa lah." Damai menjawab santai. "Atau gini aja, sebutin nomor handphone lo, ntar kita saling tanya jawab lewat chat, telepon, atau video call. Gimana?" Damai mengatakan semua yang ada di pikirannya lagi. Mumpung momennya tepat, sekalian saja dia menjadikan kesempatan untuk mendapatkan kontak cewek di balkon sebelah itu.
"Kan kalau gue punya kontak lo, bisa kapan-kapan tanya. Gue dari tadi sebenarnya bingung banget tau mau ngerjain tugas, gak ada yang ngerti." Damai beralasan, dan menampakkan wajah sok polosnya. Sebisa mungkin dia harus membuat Senja percaya dengan apa yang baru saja dikatakan. Intinya Damai sedang kesusahan dan membutuhkan bantuan.
Senja memutar bola matanya, sejujurnya dia tidak ingin menambah beban pikiran dengan menanyakan keanehan sikap Damai. Walaupun dia juga penasaran kenapa Damai terlihat aneh sekarang. Pikirannya sudah cukup lelah, dan lebih baik dia istirahat saja.
Senja kemudian mengangguk. "Iya deh," jawabnya. Disusul dengan menyebutkan sebelas nomor yang berbeda, Damai mencatat di dalam ponsel mahalnya. Dengan nama "Tetangga Manis" sambil menahan senyum di bibirnya karena sudah berhasil selangkah lebih maju. Yaitu mendapatkan kontak Senja.
"Yaudah kalau gitu, kita chat aja ya? Gue bisa kan chat lo kapan-kapan kalau pas butuh bantuan?" tanya Damai. Sebelah tangannya kembali mengantongi ponsel, matanya sekarang fokus pada Senja yang mengangguk pasrah. Bertolak belakang dengan saat bertemu Shandy tadi, kali ini hati Damai rasanya melambung di atas awan. Mood yang berbeda dalam waktu beberapa jam saja.
"Iya."
"Lo pasti bales kan kalau gue chat?" Damai masih saja menanyakan hal yang sebenarnya tidak begitu penting, karena sejujurnya Damai masih ingin ngobrol dengan cewek manis di depannya itu.
"Iya. Bawel amat sih."
Senja mengerucutkan bibirnya, jika biasanya Senja selalu menghindar dari Damai, dia baru menyadari sekarang bahwa cowok ganteng itu ternyata banyak tanya. Dan cukup baginya untuk lelah menjawab karena tenaganya memang tinggal beberapa persen saja.
Damai justru menampakkan senyum di bibirnya melihat wajah Senja. Selama beberapa saat hanya seperti itu. Menatap Senja tanpa mengatakan apapun.
"Kenapa?" tanya Senja lagi. "Kok malah senyum?"
Damai menggeleng. "Manis," jawabnya.