"Bukan. Aku bukan ceweknya Shandy kok." Cewek di belakang Shandy, mengambil alih posisi kakak kelasnya itu dan menyingkirkan tubuh Shandy dari hadapan Damai. Cewek itu ingin segera klarifikasi perihal kalimat Damai yang baru saja mengatakan bahwa dia adalah pacarnya Shandy, dan dia… cantik. Kalimat yang membuatnya tidak terima sekaligus tersipu malu.
"Aku Sasa," kata cewek tersebut. Mengulurkan tangannya bersalaman dengan Damai. Bagi cewek sepertinya, seperti ketiban duren bisa melihat Damai dari dekat apalagi memegang tangannya. Dalam benaknya sudah ada niat untuk tidak mencuci tangannya sampai besok pagi jika Damai menjabat tangannya kali ini.
Damai menyambut uluran tangan Sasa dengan sopan. Kemudian tersenyum. "Oh… kirain kamu ceweknya," kata Danai datar.
Tangan Sasa melambai dengan cepat. Dadanya terasa berdesir karena tangannya bersentuhan langsung dengan selebgram idolanya. Dia tidak menyangka kalau ternyata Shandy—Teman sekolah menengahnya, mengenal Damai. "Bukan aku bukan ceweknya, Shandy bilang hari ini mau ajak pacarnya sih tapi gak tau kok gak jadi," timpal Sasa sok akrab.
"Iya cewekku lagi sibuk ngerjain tugas," sahut Shandy dari belakang Sasa. Dengan wajahnya yang masih saja masam dan tidak mengindahkan kebetulan bertemu dengan Damai disana.
Damai memutar bola matanya, memikirkan sesuatu. Sepertinya apa yang dibicarakan Shandy itu familiar. Ngerjain tugas? Ceweknya? Senja maksudnya? Damai menyorotkan matanya tajam ke arah kakak kelas rese itu. Mulutnya enggan bertanya, tapi pikirannya juga tidak ingin serta merta mempercayai hal tersebut.
"Aku boleh minta foto gak?" Pertanyaan Sasa membuat lamunan Damai buyar seketika. Pertanyaan besar di dalam dadanya tidak mungkin terjawab sekarang karena dia tidak mau melanjutkan berbicara pada Shandy. Jadi, apa dia harus bertanya langsung pada Senja? Atau Raya? Sial! Kenapa Damai jadi penasaran dengan hal itu.
Senyum ramah tetap ditunjukkan pada kamera yang sedang dipegang oleh Sasa, selayaknya saat Damai melayani fansnya yang meminta foto dengan ramah.
Beberapa menit kemudian, saat beberapa pasang mata mengetahui keberadaan Damai, dan siapa dia. Banyak yang mulai mendekat dan mengikuti apa yang Sasa lakukan. Hingga membuat kerumunan. Damai menuruti mereka semua dengan sangat ramah, sampai kerumunan mereda dengan sendirinya.
Sedangkan Shandy, menatap situasi di depannya dengan kening berkerut dan heran. Kenapa para cewek itu begitu tergila-gila pada Damai? Tidak ada istimewanya sama sekali. Shandy tidak menemukan apapun yang bisa membuatnya memaklumi apa yang dilihat di depannya. "Dasar cewek-cewek aneh, selera kalian aneh," gerutunya sambil melipir pergi. Karena tubuhnya semakin lama semakin terdesak oleh banyak orang yang berkerumun.
Pukul sepuluh malam, perkopian Sudimoro masih ramai. Para anak muda hilir mudik silih berganti mengisi meja dan kursi-kursi di warung dan cafe. Hanya saja sekarang kerumunan para cewek yang tadi mengelilingi Damai sudah tiada. Damai kembali ke kursinya dengan tenang dan ngobrol santai bersama ketiga temannya.
Namun pada pembicaraan kali ini, Damai lebih banyak diam daripada menyahuti kedua temannya. Badannya masih disana, sedangkan pikirannya sudah berada di balkon rumah. Memikirkan tetangga sebelah yang saat ini entah sedang apa. "Apa dia lagi di balkon?" batin Damai. Belum lagi pertanyaan yang timbul dari kalimat Shandy tadi, membuatnya lebih banyak memegangi keningnya daripada berbicara.
"Mai…. Damai!" Aska melambaikan tangannya di depan wajah Damai. Dia baru saja menyadari kala teman barunya itu beberapa kali tidak menjawab pertanyaan dan diam menatap kopi yang hampir habis. "Udah ngantuk? Atau lagi kepikiran tugas?"
Mendengar kata tugas membuat kedua teman Aska kembali terbahak. "Yaelah udah gak usah dikerjain," sahut Yudha cengengesan.
"Aku punya ide Mai." Rama menimpali. Membuat ketiga teman lain sontak menatap ke arahnya. Pasti idenya ngawur, pikir Aska yang sudah tau perangai Rama.
"Gak usah sok ide-ide deh. Otak kamu kalau dibuat mikir justru berbahaya Ma," goda Yudha.
"Enggak ini beneran." Wajah Rama sok serius, menatap teman-temannya bergantian. "Kalau kita kan udah jelas tuh gak kepikiran tugas, tapi kayaknya kalau Damai masih kepikiran, karena dia anak baru," ucap Rama.
"Terus?" Aska mengangkat sebelah alisnya. Mana yang dimaksud ide oleh temannya itu? Sepertinya tidak ada.
"Jadi gini, daripada Damai kepikiran tugas terus gimana kalau nyuruh Senja aja kerjain tugasnya. Dia kan murid andalan tuh, pasti tugas kamu selesai dengan baik dan sempurna," jelas Rama lagi.
Sementara Aska dan Yudha tidak tertarik karena ide itu terlalu aneh menurut mereka. Bagaimana bisa itu disebut ide, sedangkan Senja sudah pasti akan menolak dengan keras apa yang dikatakan oleh Rama tadi. Dia cewek pintar, tidak akan mau disuruh-suruh seperti itu.
Namun Damai sangat tertarik dengan kalimat yang baru saja didengar. "Kalau dia gak mau?" tanya Damai polos. Menimbulkan keheranan pada Aska dan Yudha. Bagaimana bisa omong kosong Rama diladeni oleh Damai, sedangkan sejak tadi, dia yang bicara serius malah jarang mendapat respon.
"Ya diusahain lah supaya mau," sahut Rama lagi.
"Caranya?" Damai semakin penasaran. Baginya kalimat yang baru saja dikatakan sebagai ide oleh Rama tersebut membuat kesadarannya kembali dan tertarik. Rama sama saja dengan memberi jalan pada Damai untuk lebih dekat pada Senja.
"Ancam dia," jawab Rama enteng.
Aska dan Yudha saling pandang. Kemudian sebelah tangan Aska meninju lengan Rama. "Ngawur!" umpatnya. "Mau kamu ancam pake apa Senja? Kalau Raya tahu kita rencanain ini, aku bisa mati!" tegasnya.
"Yah, salah kamu sendiri PPTKP!" Rama membalasnya tak kalah serius.
"Apaan PPTKP?" Yudha mengangkat sebelah alisnya.
"Persatuan Preman Takut Kehilangan Pacar!" Rama dan Yudha terbahak keras setelah jawaban tersebut selesai terucap dari mulut Rama. Sungguh mereka memang sering sekali mengejek teman mereka yang satu itu karena dianggap takut kepada Raya kalau lagi marah-marah. Mereka berpikir kalau Aska pasti takut diputusin. Sedangkan Aska dengan jelas tidak pernah mengakui hal itu. Sekarang saja Aska sedang menyorotkan matanya tajam ke arah dua orang yang mengolok-oloknya tersebut. "Belum juga jadi istri. Haha," sambung Rama setelah tawanya yang panjang.
"Jadi, aku harus ancam gimana?" Pertanyaan Damai membuat seluruh mata kembali menatap ke arahnya. Seakan dia tidak peduli dengan muka Aska yang masam karena menahan untuk ganti mengumpat pada kedua temannya itu. Sekarang dia sangat tertarik dengan apa yang ada di pikiran Rama tentang ancaman yang dimaksud tadi.
Yudha menyenggol tangan Rama dengan lengannya. "Ancam gimana katanya? Ternyata dia tertarik dengan omong kosongmu Ma. Ini yang aneh Damai atau kamu sih? Jangan-jangan mukanya doang yang lebih ganteng dari kamu, otaknya sama," gumam Yudha, menahan tawa. Matanya terus memperhatikan Damai yang menunjukkan rasa penasaran berlebih.
"Ya… kamu harus tahu kelemahan Senja. Dan itu dijadikan ancaman. Yakin deh, jangankan ngerjain tugas dia pasti mau ngelakuin apapun yang kamu mau karena takut kelemahannya menjadi sasaran." Rama mengangkat kedua alisnya saat mengatakan hal itu. Seolah itu sudah kalimat paling cemerlang yang diucapkan sepanjang tahun ini.
Dan yang lebih aneh, kalimat itu membuat Damai terus masuk ke dalam pikirannya sendiri. Kelemahan? Apa kelemahan Senja yang bisa dijadikan senjata?
Damai mengelus dagunya sejenak. Kemudian menatap Aska yang wajahnya masih sangat masam. "Ka, lo bantuin gue cari tahu kelemahan Senja dari cewek lo ya?" pinta Damai dengan tatapan penuh harap.