"Mas, capek ya? Aku udah buatkan air hangat untuk membasuh semua keringatmu. Aku juga sudah membuatkan hidangan special untukmu. Ayo bersihkan tubuhmu. Nanti kita lanjut makan!" ajak Mahira melingkarkan tangannya di atas pundak Rizki.
Rizki merasa ada yang aneh dengan istrinya. Wanita berambut hitam pekat itu nampak tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan.
Padahal sebelum pulang, ia meninggalkan Mahira percis seperti batu yang sedang merajuk.
Namun hanya terlewatkan satu hari saja, Mahira bisa-bisanya berubah perangai jadi seperti bunga yang sedang berkembang dan menyemburkan kewangiannya.
"Tunggu. Kamu baik-baik saja kan?"
Senyum menyeringai terbit di wajah Mahira. Ia menaikan satu alisnya jadi semakin manja.
"Maksud Mas kenapa? Seperti apa yang Mas lihat. Aku baik-baik aja kok. Aku sehat,"
"Tapi-?"
"Jangan banyak tanya. Ayo lakukan saja! Tubuhmu bau sekali, ayo mandi!" ujar Mahira yang kini sudah mendorong punggung Rizki masuk ke kamarnya, agar cepat masuk kedalam kamar mandi yang letaknya ada di dalam kamar besar itu.
Rizki benar-benar tidak bisa bercakap apapun lagi, selain melakukan apa yang di anjurkan oleh istrinya.
Melakukan perintahnya lebih baik di bandingkan harus melihat istrinya merajuk lagi.
Meski hal itu membuat banyak pertanyaan di otak Rizki, tapi seenggaknya ia tak usah memikirkan lagi bagaimana caranya membuat Mahira tersenyum.
Tok!
Tok!
Tok!
"Sayang? Sudah mandinya?" tanya Mahira di balik pintu kamar mandi ketika di dalam terdengar senyap.
"Sebentar lagi!" teriak Rizki dengan pikiran masih melayang- layang.
Air hangat itu membanjiri tubuh Rizki dan menyapu semua sabun yang bersarang di tubuhnya.
Hingga tak beberapa menit kemudian, Mahira kembali mengetuk pintunya.
"Apalagi sih sayang?"
"Ini Lo mas, handuknya ketinggalan!" sahut Mahira sambil terkekeh cekikikan.
Rizki mulai lega mendengar suara tawa itu. Ia menghentikan keran air panasnya. Lalu ia membungkuk untuk mangambil handuk di tangan Mahira, Rizki membuka separuh pintu sebagai penghalang tubuhnya.
Lalu ia menyambar handuk di tangan Mahira lalu melingkarkannya sebagian tubuhnya.
Aroma segar di tubuh Rizki sudah menggoda. Membuat Mahira yang tadinya merajuk cemberut mulai tergoda dengan suaminya sendiri yang sedang bertelanjang dada.
Mahira mengembangkan senyumannya mendekat saat melihat Rizki kesulitan mengeringkan punggungnya.
"Biar, Mahira bantu, Mas!" ujar Mahira sambil membawa handuk ukuran kecil untuk mengeringkan punggung Rizki.
"Makasih, sayang."
Saat Rizki sedang sibuk dengan cerminnya menyibak rambut dengan sisir hitam sambil berkaca, tiba-tiba saja Mahira melirik suaminya di balik cermin itu sambil tertegun.
"Ternyata, kita serasi ya mas?"
"Iyalah. Makanya kita berjodoh."
"Mas, janji jangan tinggalin Mahira ya! Maafkan tingkah Mahira semalam. Mahira melakukan itu karena cemburu. Mahira gak mau ada orang lain yang ikut memilikimu mas. Mahira sayang mas Rizki!" urai Mahira dengan manja, kali ia memeluk tubuh Rizki yang sudah segar menyamping.
"Tentu sayang, aku janji. Mas janji gak bakalan ada wanita lain di hati mas selain kamu. Kamu tahu sendiri, mas sangat sayang sekali sama kamu!" ungkap Rizki melihat Mahira di balik cermin yang membentang tinggi di hadapannya itu.
Ia benar-benar canggung ketika tatapan itu terpaut pada istrinya. Emang sebenarnya tak ada wanita lain di hati Rizki.
Ia yakin Elena hanya akan perantara untuk mendapatkan seorang anak saja.
Rizki meneguhkan hatinya, agar Mahiralah wanita dia satu-satunya.
Rizki membalas pelukan dari istrinya.
Mahira mendongak melihat wajah Rizki yang kaku dari arah bawah dagunya.
"Mas,"
"Hemmh?"
"Gimana menurut mas. Kalau kita punya anak nanti? Pasti wajahnya kaya siapa ya?" celetuk Mahira saat memandangi wajah Rizki.
Deg.
Hati Rizki seketika berdegup sangat kencang.
Pikirannya serasa di terjang ombak. Bagaimana ia bisa punya anak, kalau surat itu benar adanya kalau dia adalah pria mandul.
Rizki menelan air liurnya sangat pekat. Lalu ia mengeratkan pelukannya di samping tengkuk Mahira.
"Sayang. Bicara itunya nanti aja dulu. Aku bener-bener lapar nih!" kilah Rizki.
"Owh ya? Pantas aja perut mas berbunyi terus, dada mas berdetak kencang. Mas lapar ya?" sahut Mahira dengan polos.
"Iya, sengaja mas gak makan di kantor karena ingin mencicipi pasakanmu!" lanjut Rizki.
"Siap, siapa takut. Ayo kita makan!"
Keduanya bergandengan menuju ruang yang sudah tercium aroma kelezatan.
Rizki lupa akan kata-kata Mahira yang sempat menyesakkannya karena makanan itu terhidang begitu mewah.
Mahira pun tenggelam pada suasana malam berdua dengan suaminya, melihat beberapa hari ini Rizki sangat sibuk di kantor dan juga karena misinya.
"Aku mau cumi lada hitamnya sayang!" pinta Rizki tak sabar.
Mahira menyidukan nasi di atas piring Rizki lengkap dengan lauk pauknya.
Senyum lebar terpancar di pipi Mahira nampak senang sekali.
"Ngomong-ngomong kenapa kamu tiba-tiba baik seperti ini? Padahal sebelum berangkat kerja muka mu bulat kaya buah melon?" ledek Rizki sambil menggoda istrinya.
"Iya, mas. Maafkan Mahira ya sudah salah faham sama mas. Tadi ada temen-temen mas kesini menjelaskan kalau struk booking hotel itu milik mereka,"
'Teman? siapa ya?' batin Rizki menerka- nerka karena saat itu ia lupa telah rempugan dengan Dodit.
"Owh, iya teman ya?" Kedua pipi Rizki terangkat nampak seperti orang bodoh dengan tatapan kosongnya masih memikirkan siapa orang itu.
"Iya mas. Untung saja Dodit bicara seperti itu, Kalau tidak aku akan salah faham terus,"
"Owwwhhh ... Dodit ya?"
"Aku kira mas sudah tahu sebelumnya?"
Rizki celingukan, ia tak mau kebohongannya terungkap lagi. Minimal hari itu terlewatkan berkat Dodit yang membantunya.
'Makasih, Dit!' hati Rizki ikut bergumam kembali.
Baru saja mulut Rizki hendak terbuka lebar untuk menenggelamkan nasi di atas sendok itu kedalam mulutnya.
Tiba-tiba saja, ponselnya berdering memecah suasana yang tenang.
Kring ...
Kring ...
Rizki bergegas menyimpan kembali sendok itu, lalu merogoh kantung celananya membuka ponselnya.
Tiba-tiba saja pria bertubuh tinggi besar itu menegang saat melihat di layar ponselnya bertuliskan nama 'Elena!'
'Elena? Untuk apa dia menelpon saya?' gerutu Rizki terus melirik istrinya dengan ekor mata.
Mahira yang sibuk melanjutkan makannya sama sekali tidak peka.
Ia hanya terus sibuk dengan apa yang ia makan.
Jempol jari Rizki lolos begitu saja memutus panggilan Luna saking takutnya ia ketahuan.
Kalau saja sampai Mahira tahu, kalau wanita malam yang ia cemburukan itu menelpon di balik ponselnya, rasanya akan sangat bahaya sekali.
Rizki menenggelamkan kembali ponselnya, dan pura-pura tidak tahu melanjutkan makan.
"Siapa mas? Kok gak di angkat?" tanya Mahira.
"Hemmh? A-anu, salah sambung. Ga penting!" jawab Rizki menunduk lalu ia melanjutkan makan kembali.
Belum satu suap makanan itu di tekan oleh Rizki, tiba-tiba suara ponselnya berdering kembali.
Kring ...!
Kring ...!
Kring ...!
Rizki kembali menegang, ia merasa pikirannya terhenti dan ketakutan itu tiba-tiba datang membuat pergerakannya sangat kikuk sekali.
Rizki melanjutkan saa terus makan tapa menghiraukan bunyi telpon itu.
"Mas, kok gak di angkat sih? Salah sambung lagi? Sini coba Mahira saja yang angkat!"
Tangan Mahira menjulur panjang membelah meja meminta ponsel Rizki secepatnya.
Rizki benar-benar semakin terpojok saat itu.
Bersambung ...