webnovel

Tanggapan Rizki

Sampai senja mulai tiba, sudah waktunya orang kantoran seperti Rizki melemaskan otaknya setelah seharian penat dengan setumpuk berkas berisi pekerjaannya.

Ia tak lekas hendak pulang, karena di kursi kejayaannya Rizki meregangkan punggungnya serta mendongakkan kepala ke atap langit kantoran bersandar dengan bertumpukan bibir kursi.

Ia masih membayangkan wajah istrinya yang terus di tekuk tanpa ada sedikitpun sahutan.

'Pulang? Tidak? Pulang? Tidak? Rasanya malas sekali untuk pulang kalau melihat wajah istri muram seperti itu, capek. Tapi, bagaimanapun juga dia adalah tanggung jawabku. Aku takut ada hal yang tidak di inginkan di rumah,' umpat hati Rizki sangat ragu.

Rizki masih memilih antara dua pilihan.

Sambil mendongak ia menyelipkan kedua tangannya di bawah kepalanya sebagai bantalan tempurung otaknya yang terasa sangat mumet.

Baru saja ia lepas dari beban pekerjaan, sekarang ia sudah harus di hadapkan dengan masalah rumahan.

Rasanya jadi orang dewasa masalah tak kunjung ada beresnya.

Rizki merasa mending memilih jadi anak kecil aja, yang makan di suapin, mandi di mandiin, gak perlu mikirin banyak hal tentang duniawi juga.

Tiba-tiba saja dalam lamunannya tersirat setitik harapan ingin memiliki anak.

'Anak?'

Rizki lekas menarik tutup laci meja kantorannya. Di lihatnya kembali sebuah kertas yang masih di balut oleh amplop putih.

Gemetarnya tangan Rizki meski ia sudah membaca isi surat itu dua kali.

Untuk ke tiga kalinya Rizki masih meyakinkan diri untuk kembali mengecek isi kertas itu berharap tiba-tiba isi hasil lab di kertas itu berubah.

"Mandul?" ucapnya pada diri senriri.

"Kenapa aku harus mandul? Aku ingin punya anak, percis yang di dambakan ibu dan ayah untuk menimang seorang cucu, pasti Mahira gak bakalan terima jika ia tahu kalau aku mandul. Ya tuhan ...," ucapnya sambil membenamkan seluruh wajahnya tepat di atas telapak tangannya.

Lutut Rizki lemas setiap kali ia membaca hasil lab itu.

Bagaimana bisa ia terima. Pernikahannya saja masih sangat muda. Mungkin kalau di ibaratkan mereka sedang hangat-hangatnya.

Rizki bisa membayangkan kalau Mahira tahu jati diri Rizki sebenarnya, mungkin ia bisa meninggalkannya.

Hanya itu yang bersemayam di pikiran Rizki.

Dirinya tidak bisa membayangkan kalau Mahira meninggalkannya. Mungkin ia bisa stres atau lebih dari itu.

Mahira adalah wanita yang paling ia cintai.

Tapi berulang kali ia memikirkan hal itu Rizki seolah semakin punya harapan dengan anak yang sedang di kandung oleh Elena.

Ia hanya ingin memanfaatkan anak dalam kandungan Elena hanya untuk di akui sebagai anak kandungnya dan memberi tahu pada dunia bahwa dua tidak mandul. Ya, tidak mandul.

Secara dia adalah public figur yang harus terlihat perfect di setiap penggemarnya, maka dari itu Rizki sudah merencanakan itu jauh-jauh hari sekali.

'Suatu hari Mahira harus tahu tentang ini. Ya, hanya Mahira yang harus tahu ini. Aku yakin Mahira akan menerimanya,' bisik hati Rizki semakin menautkan rasa rindunya pada istrinya itu.

Mengingat istrinya, ia harus mencuri hati Mahira sedekat mungkin, hingga membuat Rizki bergegas menarik jas kantoran yang terlampir di bibir kursi kejayaannya.

Rizki melangkahkan kaki secepat kilat, tak memperdulikan sapaan dari anak buahnya yang ikut bubar di senja itu.

Sambil terus memikirkan istrinya, Rizki masih cemas untuk tetap pulang.

Apa yang harus ia lakukan sebagai suami yang baik. Merayu? Membujuk? atau mungkin harus terus mengalah?

Ah, Rizki sudah tidak tahu cara menghadapi wanita yang merajuk seperti itu.

Sesekali ia menatap wajahnya sendiri di balik kaca spion ketika mobil yang ia lajukan harus berhenti di bersimpangan lampu merah.

"Aku pulang, sayang!" ucapnya memperagakan dirinya di balik kaca spion itu.

"Bodoh sekali aku," lanjut cecar Rizki pada dirinya sendiri.

Tak berselang lama, lampu yang berdiri di persimpangan jalan berubah menjadi warna hijau.

Itu mengartikan dia harus tetap melanjutkan perjalanannya meski hatinya sudah mulai semakin risau saja.

Muka rumahnya yang bertingkat dan hanya terlihat atapnya katena tertutupi gerbang pintu yang menjulang tinggi sudah berada di pelupuk matanya.

Di sambut beberapa orang satpam dan pekerja kebun di sana, Rizki mulai memarkir mobilnya dan tenggelam hingga masuk garasi.

"Tolong keluarkan barang saya di mobil ya Pak!" suruh Rizki pada Pak Ujang satpam kepercayaannya, yang seperti biasanya selalu di tugaskan untuk membersihkan bagasi mobil dan seperangkat barang pribadi miliknya, seperti sepatu ganti, jas dan banyak lagi pakaian yang lumayan berserakan.

Di rasa seluruh mobil sudah aman di percayakan pada pembantunya, Rizki pun mulai beranjak masuk ke dalam rumahnya.

Hatinya bergetar. Di lihatnya liar situasi rumah yang sangat sunyi sekali.

'Mungkin dengan banyaknya anak rumah itu akan ramai penghuni. Bahkan setiap kali ia pulang kerja, akan ada sambutan hangat dari penghuni rumah, tidak seperti ini.'

Rizki pun tidak memiliki banyak harapan lain lagi. Karena ia tahu pasti situasinya akan sama seperti saat ia baru berangkat kekantor tadi.

Istri yang masih di kamar merajuk dan memasang wajah muram

Ach, biarlah yang penting dia tetap pulang untuk meyakinkan rumah tetap terkontrol dan Mahira dalam kondisi yang aman pula.

Setelah itu, Rizki melempar tas kantornya di atas kursi dengan sembarangan.

Diikuti dengan tubuhnya yang lelah di lempar mental di atas kursi samping tas itu.

Ia menaikan satu kakinya di atas pangkuan kaki satu lagi. Lalu di bukalah sepatu pentople yang sangat cling itu bergantian dengan kaki kiri.

Sejenak Rizki menarik nafasnya panjang, bersiap menghampiri istri yang ia pikir masih diam di kamarnya saja.

Namun, saat ia hendak berdiri. Rizki di kejutkan oleh sentuhan kedua tangan di balik punggungnya memijat-mijat pundaknya.

"Lelah, Mas?" suara halus itu tiba-tiba saja menusuk gendrang telinga Rizki menyejukan melebihi AC rumah dengan volume yang poll.

Rizki menghentikan pergerakannya. Mahira mulai melampirkan telapak tangannya di atas punggung tangan yang sedang memijat-mijat pundaknya itu.

"Mahira?" Tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Ternyata dengan cepat Mahira berubah pikirannya drastis sekali. Awalnya ia masih merasa dunia ini terhenti, namun tak mau menunggu lama, Rizki langsung menoleh.

Senyuman itu mengembang menyambut Rizki yang masih tak percaya atas sikap istrinya itu.

"Kamu sudah tidak marah lagi?" Rizki kembali meyakinkan dirinya.

"Marah? Siapa yang marah?" balas Mahira tiba-tiba saja bersikap sangat romantis dan sangat menggoda.

Lelah, penat, dan semua rasa gundahnya seketika tersapu dengan senyuman Mahira yang begitu menyejukannya.

Namun semua itu membuat Rizki semakin merasa bersalah akan kemandulannya.

'Ini istriku? Dia baik sekali, tapi apakah dia layak mendapatkanku yang mandul ini?' pikir Rizki sambil menopang kedua pipi Mahira dan melemparkan semua kerinduannya.

Bersambung ...