webnovel

Ketika Cinta Berlayar di Samudera

Sebuah tragedi tak menyenangkan yang Fabio terima pada masa kecilnya dari teman-teman perempuannya termasuk ibunya sendiri, membuatnya menderita gynophobia (ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan wanita). Suatu ketika, ia mendapat undangan dari perusahaan luar negeri yang memasok buah-buahan dari perusahaannya, mengundangnya untuk datang, Fabio menyanggupi dengan syarat tidak ada satupun wanita yang akan ia temui di sana. Sekaligus berlibur, Fabio berangkat menggunakan kapal pesiar pribadinya yang tentunya tidak akan ada pegawai wanita yang boleh bekerja di kapal tersebut selama perjalanan berangsung kurang lebih empat bulan. Namun nasib sial Fabio merambah kepada seorang gadis fresh graduate yang diterima bekerja di departemen house keeping di kapal pesiar. Sialnya ia menaiki kapal yang salah yang mana adalah di kapal milik Fabio, sehingga pertemuan keduanya pun tak terelakkan. Darla Altania menjadi satu-satunya wanita yang ada di kapal tersebut tak pelak membuatnya terheran, hingga akhirnya ia mengetahui bahwa pemilik kapal memiliki fobia terhadap kaum wanita. Dengan sikap ambisius dan percaya diri tinggi yang dimiliki seorang Darla, ia melakukan berbagai cara agar tidak diusir dari kapal tersebut demi uang yang tidak sedikit ia dapat dari bekerja sebagai room steward. Lalu apa saja cara-cara yang Darla lakukan agar ia tidak diusir, sementara tak mungkin bagi Darla untuk menunjukkan wajahnya di hadapan pria yang takut dengannya? Akankah dengan kehadiran Darla membuat Fabio semakin takut dan membenci wanita atau justru sebaliknya?

Ilmafaza · Realistis
Peringkat tidak cukup
22 Chs

Siapa yang berbohong?

Fabio terlambat. Begitu sampai di depan lift, pintunya sudah turtutup. Ia hanya sempat menatap wajah Darla dan senyumannya sekilas sebelum pintu tertutup rapat.

"Kurang ajar!" gumamnya kesal.

"Bukan bermaksud ikut campur, tapi biarkan aku yang mengurus gadis itu. Aku akan memberinya peajaran jika kau mengizinkan," tawar Anton.

Fabio tampak berpikir, ia berdiri di depan lift sambil menunduk, "Tidak, aku saja yang akan memberinya pelajaran. Gadis itu terlalu sombong dan menganggapku lemah karena ketakutanku. Aku akan buktikan jika aku bisa mengatasi dirinya," tegas Fabio.

"B-baik kalau begitu, Fabio."

"Anton, besok kamu gantikan saya untuk memimpin rapat. Besok saya tidak akan hadir."

Fabio menatap Anton dalam, ada sebuah harapan besar terlihat di matanya. "Baik," jawab Anton setuju.

Ini bukan kali pertama Anton menggantikan Fabio dalam memimpin rapat, hanya saja ini kali pertama alasan Fabio tak dapathadir hanya karena seorang wanita. Anton tahu betul alasan tersebut. Selain itu ia jauh lebih mengenal seorang Fabio yang memiliki ambisi kuat.

Ia tahu, Fabio tidak akan menyerah dan berhenti sebelum tujuannya tercapai. Kali ini untuk memberi pelajaran pada gadis yang telah berani berbohong padanya.

***

Segala peralatan tempurnya hari ini sudah Darla siapkan dan sedang dibawanya menuju kabin-kabin yang akan ia bersihkan. Dua puluh kabin menjadi tanggung jawabnya hari ini. Selebihnya tanggung jawab Toni dan beberapa pegawai stateroom steward lainnya.

"Darla," panggil Toni.

Refleks Darla menoleh, "Ada apa?"

"Pak Fabio menyuhmu untuk membersihkan kabinnya hari ini," ucap Toni.

Bola mata Darla melirik curiga, "Kau tidak berbohong?" selidiknya.

"Aku tidak suka berbohong, Darla."

Darla tersenyum simpul, "Anak yang baik," sahutnya membuat Toni tersipu. "Oke, aku akan kerjakan kabin orang itu hari ini."

Toni tak lagi menjawab kecuali membiarkan Darla meinggalkan dirinya.

Tok tok tok.

Tak ada jawaban untuk ketukan Darla. Akhirnya ia langsung membukanya. Namun tak di sangka, ia menyaksikan Fabio yang masih tertidur di kasurnya.

"Oops." Darla menutup mulutnya kaget dan langsung memelankan suara langkahnya agar tak mengganggu Fabio.

'Apa yang harus aku lakukan? Apa menunggunya saja sampai dia bangun?' Keraguan menghampiri kepala Darla untuk berpikir.

'Ah, aku letakkan alat-alat ini di sini. Oh tidak, kalau dia bangun, dia pasti tahu aku sudah masuk ek kamarnya...' Darla masih berkutat dengan pikirannya.

'Ya sudah, aku keluar saja kalau begitu, lebih baik ke kamar lainnya dulu.'

"Tunggu." Kata tersebut Darla dengar ketika baru saja hendak membuka pintu. Ia menoleh dan mendapati Fabio yang sudah duduk. Matanya membulat begitu mendapati tubuh Fabio yang tidak lagi tertutupi dengan selimut.

Pria itu masih tertunduk, mungkin juga mengantuk. "Kau bersihkan saja langsung kamarku, tak perlu menunggu sampai akau benar-benar bangkit dari kasur ini," titahnya pada Darla dengan nada suara yang serak. Itu menandakan sangat jelas bahwa ia benar-benar baru terbangun dari tidur.

"Bagaimana aku bisa maksimal membersikan kabinmu jika kau masih berada di kasur itu?" tanya Darla.

"Aku tidak mau tahu, itu pekerjaanmu. Yang kutahu hanya kau perlu membersihkan seluruh kamarku sampai tak terlihat kotor sedikitpun." Nada suaranya semakin terdengar misterius.

Netra Darla menatap tajam Fabio yang juga kali ini menatapnya. "Atau, kau pergi k kamar mandi saja, sementara aku membersihkan ruangan ini. Jadi kau tidak membuang-buang waktumu."

Fabio menyenderkan tubuhnya di tumpukan bantal yang ia buat sendiri, kakinya ia luruskan, kedua tangannya ia lipat ke belakang kepala. "Memangnya kau siapa memerintahku? Ini tubuhku, jadi terserahku kapan aku akan berurusan dengan kamar mandi." Fabio menjawab dengan santai kali ini.

Kemudian pria itu melirik benda-benda yang dibwa Darla untuk membersihkan kabinnya, "Kalau begitu tunggu apa lagi? Lakukan pekerjaanmu sekarang," perintahnya.

Walau dengan raut sedikit kesal, Darla langsung melakukan apa yang diatakan Fabio. Ia mulai menyapu lantai yang ukurannya cukup besar. tak lama itu pintu diketuk seseorang dan muncullah Toni di baliknya.

Sebuah nampan berisi menu sarapan lengkap dengan minuman toni bawa dan letakkan di atas meja di samping kasur Fabio. "Silahkan dinikmati sarapannya, Pak."

"Terima kasih Toni."

Setelah mendengar ucapan terima kasih dari mulut Fabio, Toni langsung pergi meninggalkan kabin. Darla sempat memberikan tatapan sinis untuknya. Namun Toni sebaliknya, bahkan ia tak memiliki nyali untuk menatap sapu yang dipegang Darla.

"Bagaimana kabar orang tuamu?" tanya Fabio tiba-tiba.

Lantas aktivitas Darla terhenti seketika, "Maksudmu?"

"Oh, maafkan aku. Aku lupa kalau ibumu sudah meninggal. Ngomong-ngomong kau tinggal di mana di indonesia?" Sambil menikmati sarapan roti sandwitch-nya, Fabio mengajak Darla mengobrol.

"Aku bukan asli warga lombok, tetapi aku berasal dari sumatra," jawab Darla seraya kembal bekerja.

"Sumatra? Di bagian mana?"

"Palembang," jawab Darla datar. Setelah selesai menyapu seluruh lantai, ia lanjut mengepel.

"Oh. Kau memiliki saudara?" Fabio masih belum puas bertanya.

"Ada, kami tiga bersaudara. Aku memiliki kakak yang sudah berkeluarga. Dan adik laki-laki yang masih sekolah SMA."

Fabio menyelidik setiap kalimat jawaban Darla dari wajahnya. Namun wajahnya begitu sulit untuk ditebak apakah jawabannya kali ini kebohongan atau kenyataan.

"Ayahmu?" Mata Fabio menyipit, lalu ia meletakkan gelas air putih yang baru saja ia teguk air di dalamnya.

"Ayahku melarikan diri. Aku juga tidak pernah bertemu dengannya lagi. begitu pula adikku."

'Wah, dramatis sekali dia menceritakan keluarganya padaku,' batin Fabio.

"Oh, begitu. Apa kau pernah berpikir untuk menemuinya?"

Darla masih sibuk dengan alat pel dan lantai kinclong kabin Fabio. "Entahlah. Mungkin hanya belum. Suatu saat mungkin aku merindukannya, sama halnya aku merindukan ibuku ... ketika dia sudah tidak ada di dunia ini ..." Raut wajah Darla berubah sedih.

Hal tersebut lantas membingungkan Fabio. Ia sulit manentukan sendiri mana cerita yang asli, dari Anton ataukah dari Darla sendiri.

Tak ingin gegabah, Fabio bersabar dan melanjutkan penyelidikannya pada gadis tersebut. "Aku juga sama sepertimu, di saat yang bersamaan, aku merindukan seseorang dan membenci seseorang lagi."

Darla mengangkat kepalanya menatap Fabio, "Siapa orang tersebut?" Fabio sukses memancing Darla untuk bertanya.

"Aku merindukan kakekku. Dia orang yang berada di balik kesuksesanku saat ini. Tapi sayangnya aku sudah tidak bisa bertemu dengannya lagi. Kakek sudah pergi. Aku dirawat oleh kakek sejak kecil. Sejak aku menderita fobia itu..." Fabio menghentikan kalimatnya untuk memastikan ekspresi Darla lebih penasaran.

"Lalu ibumu?" Pertanyaan Darla memang belum lengkap, tapi maksudnya sudah diketahui Fabio dengan jelas.

"Ya, aku benci dengan ibuku. Dia salah satu yang membuatku menderita selama ini." Fabio tertunduk.

"Tapi, dia bukanlah ibuku yang sebenarnya. Mama juga sudah pergi dari dunia ini. Dia berbeda sekali. Mama sangat baik, tidak seperti Ibu." Sorot mata Fabio meredup.

Darla menghentikan total aktivitasnya. Alat pel lantai ia singkirkan ke dinding, lalu tirai jendela di kabin Fabio ia singkap hingga cahaya mentari menembus jenndela.

"Maafkan aku. Well, kita memiliki nasib yang sama. Hanya saja takdirku yang berbeda. Kau kaya, dan aku biasa-biasa saja. Kau memiliki keberuntungan yang jauh lebih baik dari pada aku. Secara, kau masih memiliki orang tua lengkap."

Ucapan Darla membat Fabio tak henti berpikir. Tujuan awalnya untuk mengungkap kebohongan gadis tersebut malah berakhir membingungkan dirinya sendiri.

'Apa jangan-jangan dia benar-benar tidak memiliki ibu? Lalu yang diceritakannya pada Anton? Yang mana yang merupakan kebohongan, dan siapa yang sebenarnya berbohong?' Pertanyaan tersebut menghantui kepala Fabio hingga membuatnya terasa sakit.