webnovel

Ketika Cinta Berlayar di Samudera

Sebuah tragedi tak menyenangkan yang Fabio terima pada masa kecilnya dari teman-teman perempuannya termasuk ibunya sendiri, membuatnya menderita gynophobia (ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan wanita). Suatu ketika, ia mendapat undangan dari perusahaan luar negeri yang memasok buah-buahan dari perusahaannya, mengundangnya untuk datang, Fabio menyanggupi dengan syarat tidak ada satupun wanita yang akan ia temui di sana. Sekaligus berlibur, Fabio berangkat menggunakan kapal pesiar pribadinya yang tentunya tidak akan ada pegawai wanita yang boleh bekerja di kapal tersebut selama perjalanan berangsung kurang lebih empat bulan. Namun nasib sial Fabio merambah kepada seorang gadis fresh graduate yang diterima bekerja di departemen house keeping di kapal pesiar. Sialnya ia menaiki kapal yang salah yang mana adalah di kapal milik Fabio, sehingga pertemuan keduanya pun tak terelakkan. Darla Altania menjadi satu-satunya wanita yang ada di kapal tersebut tak pelak membuatnya terheran, hingga akhirnya ia mengetahui bahwa pemilik kapal memiliki fobia terhadap kaum wanita. Dengan sikap ambisius dan percaya diri tinggi yang dimiliki seorang Darla, ia melakukan berbagai cara agar tidak diusir dari kapal tersebut demi uang yang tidak sedikit ia dapat dari bekerja sebagai room steward. Lalu apa saja cara-cara yang Darla lakukan agar ia tidak diusir, sementara tak mungkin bagi Darla untuk menunjukkan wajahnya di hadapan pria yang takut dengannya? Akankah dengan kehadiran Darla membuat Fabio semakin takut dan membenci wanita atau justru sebaliknya?

Ilmafaza · Realistic
Not enough ratings
22 Chs

Dibatalkan

Fabio tidak pernah sebingung itu selama ini. Bingkai matanya bermain bayangan Darla. Dalam diamnya ia memikirkan sesuatu dari sosok gadis tersebut yang setiap hari semakin terkesan misterius.

Seolah seperti ada sesuatu yang disembunyikan Darla yang sangat membuat Fabio penasaran. Namun ia belum bisa menanyakan hal yang ingin ia ketahui itu pada gadis tersebut.

"Darla!"

Panggilan tegas Fabio membuat Darla tertegun, "Ya? Ada apa?" Ia menghentikan gerakan tangannya yang menyapu kaca jendela. Lalu menoleh ke belakang menatap seorang pria yang masih betah berbaring santai.

Wajah Fabio tak berekspresi baik, terlihat datar. "Kau pakai shampoo apa untuk merawat kekuatan rambutmu?" Suaranya pun terdengar datar.

Bola mata Darla melirik ke segala arah secara acak, "Sesuatu yang diawali dengan huruf P'. Memangnya kenapa?" tanya Darla tanpa kehilangan percaya diri.

Mata Fabio berekspresi kecewa dan jenuh, "Lain kali kau gunakan juga condisioner ya. Aku tidak mau lantai kabinku berserakan dengan rambut rontokmu. Tak boleh ada sehelaipun, aku tidak suka itu. Menjijikan!" ucapnya tegas.

Raut Darla berubah tegas namun sedikit dipaksa. Ia melirik ke lantai mencari helai rambut rontok yang dimaksud Fabio. Kemudian ia menggigit bibir bawahnya setelah menemukan satu tepat di lantai depan kasur Fabio.

Darla tak menjawab apa-apa. Namun ia segera membersihkan lantai Fabio yang kotor karena rambut rontoknya. Padahal hari ini ia sudah menyanggul rambutnya, tetapi hal yang tak diinginkan setiap wanita terjadi saat ia bekerja.

"Aku sudah merawat rambutku semaksimal mungkin," ucap Darla yang terdengar lirih. Matanya tak memancarkan cahaya lagi.

"Kau mau ke mana?" tanya Fabio saat Darla membuka pintu.

Lagi-lagi karena pertanyaan Fabio, Darla harus menghentikan aktivitasnya sementara. "What? Apa menurutmu kamar ini masih terlihat kotor? Kurasa aku sudah membersihkan semuanya." Kalimat Darla terkesan sebagai sebuah kalimat protes.

Lalu Fabio melirik seluruh isi ruangannya, dan benar-benar sudah terlihat bersih di matanya. Tak ada lagi debu yang menempel, bahkan untuk debu yang tak kasat mata. Namun ada sesuatu keganjalan yang ia rasakan di hatinya. Kecewa.

"Halo? Mr. Fabio? Is there anything else you need?" tanya Darla dengan nada lembut walau ia sedang merasakan kekecewaan setelah Fabio menyebut sesuatu yang tak enak didengar telinganya, dan itu sebenarnya menyangkut fisiknya. Tak mudah berpura-pura baik-baik saja saat kekurangan kita disebut oleh orang lain dihadapan kita secara langsung.

"Bisa kau tanyakan dalam bahasa inggris? Aku tidak terlalu pandai berbahasa asing. Selama ini Anton yang menjadi juru bicaraku." Sorot matanya terlihat tegas.

"A-ah ... apa ada yang kau butuhkan lagi, Tuan Fabio?"

Waktu sudah berjalan lebih dari lima detik, namun Fabio belum menjawab pertanyaan Darla kecuali menatapnya.

Jenuh menunggu, akhirnya Darla lanjut membuka pintu. Sebelumnya ia menggelengkan kepala karena Fabio tak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Tunggu!" Darla sudah menduga kata itu akan terucap di bibir Fabio. Namun ia tak menyahut. Hanya berhenti dan membalas tatapan Fabio.

"A-aku tidak membutuhkan apa-apa lagi."

"Ya sudah, kalau begitu aku pergi dulu. Masih banyak kabin menungguku hari ini," ungkap Darla.

"Oke," balas Fabio.

Seketika canggung menyelinap ke dalam situasi mereka. Akhirnya Darla buru-buru keluar dari kabin Fabio sebelum terjadi perubahan sesuatu yang tidak ia inginkan.

Begitu Darla menghilang dari lensa matanya, dan pintu kabin telah tertutup kembali, Fabio langsung memalikkan tubuhnya telungkup di atas kasur. Mirip seperti orang sedang bersujud. Namun ia membenamkan wajahnya terlalu dalam di bantal.

Dia berteriak, ingin mengeluarkan sebuah ganjalan di hatinya tersebut. Setelah itu menarik napas dalam dan mengehmbuskannya kasar. Ia kembali memandangi langit-langit ruangan sambil bergumam.

"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya, Fabio? Katakan jika kau ingin dia berada lebih lama di sini, katakan saja! Apa susahnya?" Fabio memprotes dirinya. Ia kesal dan sedikit marah terhadap dirinya yang payah.

Tok tok tok.

Fabio langsung melompat dari atas kasur menuju pintu begitu terdengar suara ketukan. Sedetik kemudian, wajah ambisiusnya yang terlihat senang berubah menjadi datar. Bukan Darla yang sekarang berdiri di hadapan pintunya, melainkan Anton.

"Ada apa kau ke sini?"

***

"Kita akan tetap melanjutkan perjalan ini. Tak peduli apa kata mereka. Pembatalan tidak bisa dilakukan oleh sebelah pihak. Ini sudah masuk ke dalam bentuk penipuan. Selama ini perusahaan kita sudah mengekspor barang ke sana tanpa ada masalah, dan tiba-tiba mereka membatalkan pertemuan ini? Apa-apaan! Saya tidak terima, pokoknya kapal ini tetap akan berlayar ke sana."

"Tapi, Fabio. Bagaimana jika mereka menolak kedatang kita ke perusahaannya. Apa yang akan kita lakukan di sana?" tanya Anton pada seorang bosnya yang sedang menahan amarah duduk di depan meja.

Hanya ada mereka berdua yang ada di ruangan rapat sekarang.

"Apa yang lain sudah mengetahui hal ini?" Nada suara Fabio menurun.

Anton duduk di seberang Fabio setelah beberapa menit berdiri dengan tegap dan fokus. "Tidak, mereka belum ada yang tahu. Tapi cepat atau lambat mereka pasti akan tahu. Dan jika kita nekad mendatangi perusahaan tersebut, apabila kita tidak disambut dengan baik, hal itu akan menurunkan nilai jual barang dagangan kita. Mereka akan mencari perusahaan lain untuk memasok barang kebutuhan mereka." Anton menyentuh dagunya, "Kira-kira apa yangakan kita lakukan?"

Fabio terdiam. Di mana ia sedang memikirkan suatu cara untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa perusahaannya secara tiba-tiba. "Apa yang menyebabkan mereka membatalkan pertemuan ini?" tanya Fabio.

"Eh, pihak mereka mengatakan bahwa kau tidak menghargai perempuan dengan tidak melibatkan perempuan dalam pertemuan kali ini," ucap Anton sambil melawan keraguannya.

Fabio menegapkan posisi duduknya dan hampir ingin berdiri, "Bukannya mereka sudah menyetujui persyaratan ini di awal, lalu kenapa tiba-tiba mereka berubah pikiran?" Fabio tak habis pikir dengan alasan tersebut.

"Mungkin kau menganggap mereka keterlaluan dengan alasan tersebut, tapi itu juga tidak menutup kemungkinan mereka menganggap dirimu keterlaluan dengan alasanmu yang tak ingin melibatkan perempuan. dan kudengar, istri dari direktur perusahaan tersebut sangat berperan penting dalam perusahaan, oleh sebab it mereka ingin menggagalkan pertemuan ini."

Fabio menyentuh dahinya sembari memijitnya. Sementara rahangnya mengeras dan pandangannya tertunduk ke meja. Lagi-lagi otaknya memaksa berpikir.

"Baiklah, katakan pada mereka aku tidak masalah jika mereka akan melibatkan wanita dalam pertemuan ini." Keputusan yang Fabio ambil terdengar meyakinkan. Anton terkejut dengan keputusan tersebut.

"Kau serius ingin menantang dirimu? Ini cukup berbahaya, bisa terjadi sesuatu yang tak diinginkan ketika kau berhadapan dengan wanita." Anton memperingati bosnya.

Anton khawatir terhadap reputasi bosnya. Saat pertama kali ia bertemu dengan Darla saja, ia pingsan. Bagaimana jika ia bertemu dengan wanita-wanita arab nantinya? Bisa saja Fabio akan kejang-kejang. Hal itu tentu tak diinginkan oleh Anton.

"Itu tidak akn terjadi lagi. Aku akan mencoba dan membuktikan pada diriku sendiri, bahwa aku tidak takut lagi dengan wanita," janji Fabio.

Anton mengangguk, "Kalau begitu aku akan melakukan sesuatu untuk menguji kebenaran dari ucapanmu itu. Bukan bermaksud apa-apa, tapi ini sangat penting dilakukan sebelum kau menghadapi puluhan wanita di sana," usul Anton.

"Apa itu? Apa yang akan kau lakukan?" Fabio terlihat penasaran.

Sementara gerak-gerik dan mimik wajah Anton mulai mencurigakan. Senyum di bibirnya pun mengembang.