webnovel

Ketika Cinta Berlayar di Samudera

Sebuah tragedi tak menyenangkan yang Fabio terima pada masa kecilnya dari teman-teman perempuannya termasuk ibunya sendiri, membuatnya menderita gynophobia (ketakutan dan kecemasan saat berhadapan dengan wanita). Suatu ketika, ia mendapat undangan dari perusahaan luar negeri yang memasok buah-buahan dari perusahaannya, mengundangnya untuk datang, Fabio menyanggupi dengan syarat tidak ada satupun wanita yang akan ia temui di sana. Sekaligus berlibur, Fabio berangkat menggunakan kapal pesiar pribadinya yang tentunya tidak akan ada pegawai wanita yang boleh bekerja di kapal tersebut selama perjalanan berangsung kurang lebih empat bulan. Namun nasib sial Fabio merambah kepada seorang gadis fresh graduate yang diterima bekerja di departemen house keeping di kapal pesiar. Sialnya ia menaiki kapal yang salah yang mana adalah di kapal milik Fabio, sehingga pertemuan keduanya pun tak terelakkan. Darla Altania menjadi satu-satunya wanita yang ada di kapal tersebut tak pelak membuatnya terheran, hingga akhirnya ia mengetahui bahwa pemilik kapal memiliki fobia terhadap kaum wanita. Dengan sikap ambisius dan percaya diri tinggi yang dimiliki seorang Darla, ia melakukan berbagai cara agar tidak diusir dari kapal tersebut demi uang yang tidak sedikit ia dapat dari bekerja sebagai room steward. Lalu apa saja cara-cara yang Darla lakukan agar ia tidak diusir, sementara tak mungkin bagi Darla untuk menunjukkan wajahnya di hadapan pria yang takut dengannya? Akankah dengan kehadiran Darla membuat Fabio semakin takut dan membenci wanita atau justru sebaliknya?

Ilmafaza · Realistic
Not enough ratings
22 Chs

Berbohong

"Aku tidak berusaha membuatnya lebih buruk, tapi justru kau, Anton! Kupikir sikapmu saat ini yang akan membuatnya merasa lebih buruk." Darla tersenyum sinis, begitu pun tatapannya untuk Anton.

Sorot mata Anton menyelidik, "Apa maksudmu aku yang membuatnya jadi lebih buruh?" tanya Anton.

Darla melipat kedua tangannya di dada diiringi tatapan malas, "Ya, kau lihat sendiri kenapa Fabio tidak menyinggung sedikitpun tentang fobianya saat berhadapan denganku?" Mata Darla berubah tajam, "karena dia sedang berusaha melawan rasa takutnya, tapi kau malah menyingkirkanku dari hadapannya. So, kau mengacaukan usaha Fabio."

Pupil Anton tertunduk di bawah naungan kelopak dan bulu matanya. Sesaat kemudian ia kembali menatap Darla. "Jadi kau juga menyadari bahwa Fabio sedang cemas?" Suaranya datar.

Darla menyeka beberapa helai rambutnya yang menutupi pandangannya akibat tertiup angin, "Aku tahu," jawabnya seraya meninggalkan Anton yang terdiam.

Malam semakin larut, perlahan para karyawan Fabio mulai pamit untuk kembali ke kabin masing-masing kecuali Anton. Berbeda dengan para karyawannya yang meninggalkannya, di hadapannya justru seorang gadis perlahan mendekatinya.

Fabio menatap Darla dari kejauhan yang semakin dekat dengannya. Irama detak jantungnya seolah selaras dengan irama langkah kaki gadis tersebut.

"Kau suka menyaksikan bintang?" tanya Darla sedetik setelah ia berdiri tepat di samping Fabio sambil menatap ribuan bintang di langit. Seolah tak perduli dengan detak jantung pria di sampingnya yang sudah seperti gempa bumi.

"Y-ya, aku suka," jawab Fabio tergagap namun matanya tertuju pada mata gadis di sampingnya. "Cantik sekali..." sambungnya masih dengan menatap gadis di sebelahnya.

"Kau benar, bintang-bintang itu sangat cantik, makanya aku juga suka melihatnya." Darla melirik Fabio sekilas, lalu kembali lagi pada cahaya dari bintang-bintang yang telah mati jutaan tahun lalu itu.

Tanpa Fabio sadari, ia menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan yang membuat bulan sabit merasa tersaingi. Tiba-tiba ia sadar, jika wajahnya terdapat keringat yang berjatuhan. Buru-buru ia memalingkan wajahnya dari Darla.

Beruntung ia membawa sapu tangan di kantongnya. Ia lap butiran air yang menjadi saksi betapa menengangkannya dirinya saat berdiri dan berbincang cukup lama dengan seorang wanita.

"Kau kenapa?" tanya Darla yang menyadari Fabio menyapu wajahnya dengan kain persegi bermotif abstrak.

'Sial, dia keburu melihatku,' batin Fabio. "Ahh, malam ini sungguh panas, bukankah kau juga merasakannya?" dalih Fabio.

Darla tersenyum simpul, "Tidak, aku sama sekali tidak merasa panas."

Alis kiri Fabio melengkung tinggi, lirikannya terlihat cemas, "Kupikir tadinya begitu, karena tidak mungkin jika tidak panas kau mengenakan pakaian seperti itu." Fabio masih mencoba mencari alasan.

Darla refleks menatap busananya yang kebetulan apa yang dikatakan Fabio benar. Walau belahan dadanya tidak terlalu rendah, tapi punggungnya dibiarkan terbuka dengan busana yang ia kenakan sekarang. Bahkan angin malam mampu menembus sampai ke tulang rusuknya.

"Itu hanya karena aku berada di dekatmu," ceplos Darla membuat pipi Fabio memerah.

Fabio berdeham, "Jika sudah tahu kenapa bertanya," gumamnya.

"Sini, lepas jasmu sekarang." Pinta Darla tiba-tiba.

Fabio terlihat bingung, "Untuk apa?" Fabio tak sadar, kini bukan hanya wajahnya yang tertuju pada wanita anggun di sampingnya, tapi seluruh tubuhnya mengahadap gadis tersebut.

"Dasar tidak peka." Bola mata Darla berputar. "Kau kan merasa panas, dan aku sebaliknya. Gaun ini tak berfungsi dengan baik di tubuhku di ruangan terbuka seperti ini." Tiba-tiba sorot mata Darla menyelidik, "kau hanya fobia dengan wanita, tapi tidak alergi kan?" tanyanya yang sukses membuat Fabio tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

Senyum itu pun berhasil menular pada Darla hanya berselang waktu sedetik. Sementara senyum itu kini sedang disaksikan oleh seseorang yang sedang duduk di sofa sambil menikmati minumannya. Dia adalah Anton yang dari tadi fokus memperhatikan gerak-gerik Darla terhadap bosnya. Tersisa mereka bertiga yang berada di area kolam renang kapal.

Fabio pun tak keberatan memberikan jasnya untuk seorang gadis yang meminta langsung padanya. Kini tubuhnya hanya dibalut kemeja putih dan dasi bermotif garis-garis berwarna perpaduan merah maroon dan biru dongker.

Jas miliknya tampak besar di tubuh Darla. Lagi-lagi hal kecil itu membuatnya tersenyum. Namun sayang getaran seonggok daging padat berwarna merah di dalam dadanya masih belum cukup normal, tetapi sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya.

"Hiks..." Fabio terkejut mendengar suara tangis yang berasal dari seseorang di sampingnya.

"Kau kenapa?" tanya Fabio dengan wajah bingung. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa Darla tiba-tiba menangis. "H-hei, ceritakan padaku kenapa kau menangis ..." Fabio berusaha mengajak Darla berbicara.

Darla terlihat menghapus air matany, itu belum cukup membuat perasaan Fabio lega. "Tidak apa-apa, aku hanya teringat pada ibuku secara tiba-tiba. Aku rindu dengan ibuku. Aku sudah tidak bertemu dengannya lebih dari sepuluh tahun," jelas Darla sedikit sambil terisak.

Fabio seperti orang kelimpungan, ia tak pandai membujuk wanita agar berhenti menangis, jangankan membujuk, untuk berdekatan saja baru kali ini. Bagaimana dia bisa langsung bisa mengatasi wanita yang sedang menangis? Ia menoleh ke belakang, berharap bantuan dari Anton yang sedang duduk santai.

Namun sayang, Anton tak mengerti arti tatapannya. Berteriak memanggil Anton, itu sungguh tidak etis. Akhirnya ia coba lagi sendirian. "Memangnya apa yang terjadi dengan kau dan ibumu sehingga lama tak bertemu?" tanya Fabio.

Darla kembali meneteskan air matanya. Fabio semakin tak mengerti, dan berpikir karena pertanyaannya lah Darla kembali terisak. "Maaf jika aku malah membuat perasaanmu semakin buruk," sesal Fabio.

"Bapak tidak perlu meminta maaf, ini bukan salah bapak sama sekali. Hanya saja ... hiks ... ibuku sudah meninggal dunia, jadi aku tidak bertemu dengannya lagi, makanya sekarang aku sangat merindukannya," terang Darla diiringi dengan isak tangisnya.

"Aku sungguh menyesal. Aku mengerti perasaanmu, itu pasti berat." Fabio ikut berduka atas cerita orang tua gadis tersebut.

Darla mengangguk-angguk seolah tak sanggup lagi menyahut ucapan Fabio dengan kalimat. Lalu ia menyapu sisa air matanya. Dan berhasil tak lagi mengeluarkan cairan bening tersebut.

"Kalau begitu aku permisi dulu, Pak. Aku ingin istirahat," pamit Darla.

"Y-ya, silakan. Itu pilihan yang tepat. Kau harus istirahat. Aku akan mengantarmu sampai ke kabin," jawab Fabio dengan cepat.

"Tidak perlu, Pak. Aku tidak apa-apa sendiri. Aku sudah terbiasa sendiri," tolak Darla.

"Baik kalau begitu." Tak tahu lagi harus merespon dan berbuat apa, Fabio mengiyakan. Darla pun meninggalkan Fabio dengan tanpa menanggakan jaket di tubuhnya yang ia pinjam pada pria tersebut.

Darla sempat melirik Anton ketika hendak menuju pintu masuk, namun tanpa mengucapkan sepatah kalimat pun. Lirikannya sulit diartikan oleh Anton yang juga menatapnya dengan tertegun.

Tiba-tiba mendadak Fabio mengingat sesuatu. Segera ia menghampiri Anton yang masih duduk. "Apa kau masih ingat latar belakang orang tua gadis itu?" tanya Fabio dengan ekspresi serius.

Tanpa berdiri terlebih dahulu, Anton menjawab, "Tentu saja. Menurut cerita gadis itu, ayah dan ibunya sudah tua dan dia menjadi satu-satunya tulang punggung keluarganya."

Fabio mengangguk tegas, "Jadi ibunya masih ada di dunia ini?"

"Ya, memangnya kenapa?" tanya Anton yang belum mengerti maksud pertanyaan bosnya.

"Gadis itu baru saja membohongiku, dia mengatakan ibunya sudah meninggal." Fabio tak sadar mengepalkan kedua tangannya dan rahangnya tampak mengeras.

Anton langsung berdiri menatap ekpresi bosnya tak percaya. "Jadi kau sudah dibohongin gais itu?"

"Sialan! Aku harus memberinya pelajaran," kata Fabio yang langsung melangkah masuk menyusul Darla.