webnovel

Kamu di Luar Duniaku

Ratna_Andia · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
12 Chs

BAB 6

"Beneran nih? Ini mahal lho." Rania tak percaya saat Langit mengajaknya ke toko berlian terkenal di kotanya. Dia membelalakkan matanya menatap Langit yang tanpa ekspresi berdiri di sebelah kanannya.

Langit hanya mengangguk pelan tanda mengiyakan.

"Wah. Kamu baik banget sih. Ada apa nih? Kamu ulang tahun ya?" Rania tak percaya. Dia tersenyum manis sambil menggandeng tangan lelaki tampan itu.

"Udah. Cepetan pilih. Enggak usah lama-lama. Capek." kata Langit dingin.

"Iya-iya. Enggak romantis banget sih kamu." Rania menekuk wajahnya. Dia sebal karena sikap Langit yang begitu dingin.

"Cepetan atau aku tinggal nih?" Langit mengancam Rania.

"Iya sayang." Rania segera melepaskan tangannya dari Langit dan segera memilih berlian yang di inginkannya.

Setelah sekitar 30 menit akhirnya Rania sudah menentukan pilihannya. Dia memilih cincin solitaire dengan berlian warna putih di atasnya. Cincin yang sederhana namun tampak begitu indah jika Rania yang memakainya.

Langit segera membayar tagihannya setelah Rania selesai memilih. Lalu mereka keluar dari toko dan segera menuju ke rumah Rania setelah sebelumnya mereka makan malam bersama di restoran.

"Makasih ya." Rania memandang cincin itu dengan perasaan bahagia, saat dia dan Langit duduk di sofa panjang ruang tamu milik Rania.

"Kayaknya bagi orang sekaya kamu, benda semacam itu sudah biasa deh. Kenapa senang banget kayak gitu?" Langit heran melihat reaksi Rania yang di nilainya terlalu berlebihan.

"Yang kaya kan Ayah aku Mas. Aku di sekolahin aja udah bersyukur. Aku enggak mau menuntut lebih. Ayah aku mungkin juga udah enggak ingat aku Mas. Aku juga rasanya malas bertemu dengannya. Aku masih menyalahkannya karena Ibu aku meninggal." Rania mengingat Ibunya. Wajahnya yang tadinya tampak begitu bahagia, kini berubah menjadi sedih.

"Maksudnya?" Langit tak mengerti.

"Iya. Hari itu Ibu aku mendapati Ayahku berselingkuh Mas. Bukan sekali dua kali Ayahku seperti itu dan ketahuan oleh Ibu. Namun mungkin Ibu aku sudah enggak sanggup lagi dengan perlakuan Ayah yang tak setia itu. Hingga akhirnya Ibu aku pergi ke tebing di tepi pantai dan menjatuhkan dirinya di sana. Namun sayangnya, mayatnya tak pernah di temukan. Kemungkinan hanyut di bawa aliran ombak yang deras. Sejak saat itu, aku jadi tak berniat menemui Ayah. Apalagi Ayah tak pernah merasa bersalah. Beliau bahkan menyalahkan Ibu yang di anggapnya terlalu terbawa perasaan hingga akhirnya memilih untuk membunuh dirinya sendiri. Beliau berpikir kalau lelaki itu wajar memiliki banyak wanita, apalagi kalau dia kaya." Rania menitikkan air mata. Namun sesegera mungkin dia menyekanya. Dia tak mau Langit mengasihaninya. Dia tak mau siapa pun bersimpati kepadanya. Selama ini dia sudah terbiasa menjadi kuat seorang diri. Jadi siapa pun tak akan dia biarkan menghancurkan kekuatannya, termasuk Langit.

"Ini." Langit memberikan sapu tangan berwarna biru tua kepada Rania agar Rania mengusap air matanya dengan sapu tangannya itu.

Rania menerima sapu tangan itu. Di genggamnya erat-erat seperti dia ingin melampiaskan kesedihannya kepada sapu tangan itu.

"Terus rumah ini? Milik kamu atau Ayah kamu?" Langit tampak penasaran.

"Enggak tahu Mas. Aku enggak mau tahu juga Mas. Sebenarnya aku juga pengen pindah dari sini, biar enggak teringat Ibu terus. Tapi aku takut, kalau aku ninggalin rumah ini, Ayah akan ngambil rumah ini dan di berikan ke istri mudanya itu. Jadi mau enggak mau aku harus bertahan di sini Mas." Rania tertunduk lesu.

"Ayah kamu kirim uang setiap bulannya?" Langit bertanya lagi. Tampaknya dia benar-benar ingin tahu lebih jauh tentang Rania.

"Kalau soal uang aku enggak pernah kekurangan Mas. Ayah selalu kirim banyak buat aku. Namun aku tak pernah mengambil dan memakainya secara berlebihan. Aku hanya menggunakan sesuai kebutuhan aku saja. Aku enggak mau terlalu banyak merepotkan Ayah juga Mas. Ayah udah lumayan tua. Apalagi beliau hidup bersama istri muda dan anak tirinya. Takutnya kalau beliau sudah enggak bisa memenuhi keinginan mereka, beliau akan di buang begitu saja dari kehidupan mereka. Yah, meskipun aku membenci Ayah, beliau tetap Ayahku Mas. Aku enggak boleh meninggalkannya kalau beliau butuh aku suatu saat nanti. Jadi aku menabung sebagian uangnya yang di berikan kepadaku setiap bulannya untuk masa tua Ayah nanti." Rania menjelaskan sambil sesekali mengusap air matanya dengan sapu tangan milik Langit.

"Randy? Kakak kamu?" Langit masih belum puas mencari tahu tentang Rania.

"Dia juga sama sebenarnya seperti aku Mas. Dia menyalahkan Ayah atas semua yang Ayah lakukan. Tapi mungkin karena sifatnya yang agak egois, dia kabur dari rumah waktu itu dan enggak pernah pulang sampai saat ini. Aku sempat takut kalau dia akan merusak hidupnya karena frustasi. Tapi aku bersyukur sekali karena dia akhirnya menjadi pengacara yang sukses. Ah. Aku jadi rindu Kak Randi. Meskipun dia memang tak pernah mau menemuiku, namun aku tahu kalau dia menyayangiku." Rania tersenyum sambil memandang ke arah langit yang di penuhi dengan bintang. Senyum yang manis, namun tampak ada guratan kesedihan dan kesepian.

"Kamu pasti kesepian?" tanya Langit yang membuat Rania mau tak mau harus memalingkan pandangannya dari langit yang berbintang ke arah Langit yang begitu tampan.

"Sekarang udah enggak. Aku kan udah punya kamu. Kamu langit berbintang aku. Yang selalu membuatku nyaman setiap kali aku menatapmu." Rania semakin manis dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.

Langit terdiam menatap Rania. Dia nampaknya gugup mendengar gombalan Rania yang baru saja.

"Sayang. Kok diam aja." Rania membelai lembut wajah Langit. Namun Langit segera menjauhkan wajahnya dari tangan Rania. Dia segera memalingkan wajahnya.

"Maaf kalau aku lancang." Rania tampak kecewa dengan Langit yang merespon sentuhannya dengan begitu buruk.

"Kamu nggak takut kalau aku orang jahat?" Langit memalingkan wajahnya kembali dan kali ini menatap dengan lekat ke arah mata Rania. Tatapan yang dulu begitu mengerikan, kini berubah menjadi penuh kekhawatiran.

"Enggak. Aku percaya sama kamu. Selama sebulan kita pacaran, bahkan kamu sama sekali enggak menyentuhku. Itu menunjukkan kalau kamu memang orang yang baik. Dan aku bahagia bisa kenal sama kamu." Rania kembali tersenyum ke arah Langit.

Langit diam saja. Dia hanya menatap Rania tanpa mampu membalas perkataan Rania. Entah apa yang di pikirkannya. Namun tampaknya ada perasaan tak enak yang terpancar dari ekspresi wajahnya. Entah tak enak karena apa. Hanya Langit yang tahu.

"Terima kasih sudah mau datang dan mengisi kehidupan aku yang kosong selama sepuluh tahun terakhir ini. Aku janji akan menjadi wanita yang baik agar kamu bahagia karena telah memilihku menjadi kekasihmu. Terima kasih sudah menghadirkan begitu banyak kebahagiaan di dalam hatiku. Meskipun kamu tak romantis, tapi kamu tak pernah mengabaikanku. Aku sayang sama kamu." Rania memeluk mesra lengan Langit dan menempelkan kepalanya di atas pundak Langit. Dia memejamkan matanya. Merasakan kebahagiaan yang meluap-luap yang dia rasakan semenjak dia bertemu dengan Langit.

Langit hanya menatap Rania. Dia terdiam. Dia bahkan tak bergerak sedikitpun. Dia lantas memejamkan matanya. Entah apa yang dia rasakan. Mungkin perasaan bahagia yang sama dengan apa yang Rania rasakan. Namun dia tak pandai menyampaikannya. Sehingga dia tak membalas ungkapan sayang Rania yang tadi Rania ungkapkan kepadanya.

Tak lama, Rania kemudian membuka matanya. Dia melihat ke arah Langit yang masih memejamkan matanya dan menyenderkan kepalanya di senderan sofa. Rania tersenyum melihatnya. Tiba-tiba dia bergerak dengan cepat dan mengecup mesra pipi Langit. Dengan malu-malu, dia berlari masuk ke dalam kamar dan menutup pintunya dari dalam.

Langit yang terkejut, membuka matanya dan menatap pintu kamar di mana Rania ada di dalamnya dengan tatapan mata yang seolah tak percaya atas apa yang Rania lakukan. Cukup lama dia terdiam. Namun kemudian dia tersenyum simpul sambil memegangi pipinya seakan menyukai apa yang Rania lakukan.

***