webnovel

Tumpangan

Aku merasakan ada sentuhan di bagian pundak, dan itu membuatku sadar kalau aku ternyata tertidur. Mataku membuka dengan lebar, memastikan apa yang sedang terjadi.

Rupanya kernetlah yang membangunkanku, aku mengelus dada, meringankan rasa terkejut yang masih menguasai tubuh.

"Udah sampai, Mbak. Semua orang sudah turun," ucap pria itu sembari menunjukkan orang-orang yang antre turun dari bus.

Aku melihatnya sekilas, dan berusaha menetralkan rasa pening di kepala serta pandangan yang masih kaabur. Dibangunkan dari tidur yang sangat dalam. Aku jadi sedikit bingung mau berbuat apa. Seluruh tubuh sepertinya juga masih menuggu perintah dari otak.

Aku hanya memberi respons mengangguk saja, agar kernet itu tak memandangku dengan tatapan yang penuh kekhawatiran. Aku bisa melihat garis kecemasan di wajahnya.

"Oke, kalau ngerasa sakit atau pusing, bisa panggil saya. Saya mau ambil barang-barang bawaan di garasi."

"Baik, Mas, makasih."

Sebelum banugun dengan kekeuatan yang penuh, aku lebih dulu menyandarkan kepala di punggung kursi penumpang. Memejamkan mata sebentar dan mengatur napasku yang memburu karrena takut serta bingung.

Setelah merasa aman dan tentram sserta tak terlalu pusing,  aku bangkt dari duduk dengan memegang kepala kursi-kursi yang kulewati.

Antrean sudah habis, semua sudah ada di luar bus, aku bisa melihat kernet yang sedang memberikan tas-tas bawaan penumpang lain, sesekali mencuri pandang ke arahku. Dia mungkin takut sekali kalau aku sampai membuat masalah di dalam bus, seperti pingsan atau sakit yang lain.

Aku mengerti makanya akau berusaha tetap bangun, walaupun masih butuh beberpaa meniit lagi untuk menormalkan keadaan tubuhku yang entah mengapa jadi lemah begini.

Saat sudah turun dari bus, aku mengangguk ke arah kernet dengan masksud berterima kasih. Kemudian terlihat sebuah terminal yang dipenuhi oleh mobil, motor dan bus, sepertinya baanyak dari para wrga kampung yang pulang dan dijemput.

Aku hanya bisa mengulas senyum tipis dengan dijemput atau tidaknya aku ke kampung, nyatanya meereka malah berniat berbuat jahat dan mau melenyapkannku.

Kadang aku berpikir selama ini aku selalu menyalahkan Mas Fadil yang sejak dulu selalu aada di saatku sakit atau sedang dalam gangguan meskipun dia marah untuk beberapa hal yang kupikir sama seperti ssekarang. Saat aku mulai menemui kiyai AKmal hingga yang terakir ada orang yang seperti Bu Rohani yang sangat bersemangat mengambil hidupku pada kesempatan yang  lalu.

Setidaknya dalam hal ini Mas Fadil memang lebih baik dari segi penilaianku. Walaupun aku belum bisa membuktikan kalau dia punya keterkaitan khusus dengan kelompok tersebut, tetapi segala ancamannya membuatku sempat drop juga.

Aku melangkah hendak meninggalkan terminal. Mengingat dari sini ke desa bukanlah jarak yang dekat, mataku mulai memindai deretan motor yang kuharap terselip ada seorang ojek pangkalan yang bisa mengantarku.

Akan tetapi, biasanya, kan, kalau ojek mereka akan menawarkan kepadaku jasa mereka. Setiap penumpang bus yang keluar pasti akan jadi target mereka dan bahkan taksedikit di antaranya sampai mengejar, lalu membujuk agar jasa mereka bisa dipakai.

Sekarang kebalikanya, mereka seakan menghindar kepadaku yang baru saja keluar. Padahal gelagatku sudah cocok jadi orang yang sedang mencari tumpangan pulang. Pasti ada sesuatu yang tidak beres.

Terminal ini memang bukan daerah desa menyeramkan Mas Fadil, cukup jauh malah. Tapi kalau mereka sampai mencium ketidak beresan di diriku, mungkin aku harus berjalan kaki dari sini. Aku akan melakukannya meskipun tak bisa menjamin kapan bisa sampai dan yang paling penting apakah aku bisa masuk ke desa dalam keadaan utuh. Karena malam-malam begini dan udara cukup dingin, mendung, bisa saja hujan di tengah jalan. Belum lagi faktor kejahtan yang mengincar orang-orang minim pengetahuan desa sepertinya, pendatang yang tak mengetahui seluk beluk desa setempat, bahkan ponselnya kehabisan daya, tak bisa membuktikan kalau dia punya hubungan pernikahan dengan orang desa.

Alhasil, aku hanya bisa menahan langkah sedikit demi sedikit demi menunggu apakah ada yang menawaekan jasa mereka kepadaku. Namun, harapanku hampir pudar, ketika kaki sudah berpijak ujung terminal. Tepat di pintu keluar, aku tak mendengar atau mendapaati tukang ojek mendekat. Hingga aku tak bisa lagi menahan emosi dan memutuskan mengambil rencana kedua, yaitu berjalan kaki menuju desa agar aku tak tertahan di sini. Dengan segala resiko yang bisa membahayakan diriku, tetap saja ini harus dijalani tak bisa aku bermalam di sini.

Baru beberpa langkah, angin berembus menusuk tulang, aku bisa merasakan cahaya bulan yang semakin samar. Sepanjang perjalanan masih bisa aku menahan rasa takut karena lampu jalan masih terang benderang, mungkin karena sudah dekat dengan terminal.

Aku memeluk diri sendiri, kedinginan, rasa takut juga semakin kuat ketika mendengar beberapa mobil atau truk dengan muatan yang berlebih membunyikan klakson. Beberappa kali ada yang sengaja melambatkan laju kendaraannya dan bertanya apakah aku butuh tumpangan.

Sayangnya aku tahu ketika melihat wajah mereka yang tak menyiratkan rasa khawatir sedikit pun karena matanya selalu mengarah kepada tubuhkku terutama bagian dada. Mereka pasti tak berniat menolongku dengan tulus. Iya, aku tahu tak boleh menilai orang lain hanya karena fisik. Tapi sekarang aku mencoba menganalisa saja, toh yang memelankan kendaraan, mobilnya juga tak jelek atau usang. Tapi aku berusaha memilah mana yang mau menolongku atau justru mau memanaatkanku di jalan ini.

Kaki terus melangkah, pegal mulai menyapa. Aku terkadang berdiri saja di tepi jalan. Tak melangkah sedikit pun karena takut kalau sampai aku tak bisa berjalan karena keram.

Ingin menangis saja, apa yang sedang kuhadapii ini sangatlah berat. Menyesal karena terlalu bodoh. Harusnya aku bertanya dengan orang-orang tersebut di terminal tadi. Aku harusnya menanyakan apakaha ada yang bisa mengantarku dan aku akan membayarnya dibanding nekad dengan tanpa persiapan sedikit pun. Mau kembali terasa membuang waktu. Sudah jauh dari terminal, tetapi juga masih jauh dengan desa.

Aku ada di tengah-tengah dengan penuh pengharapan yang sangat besar. Tapi kenyataan terasa memukulku sekarang, Bagaimana bisa aku sampai dengan tubuh yang sudah bobrok ini. Aku enggan mengakuinya tetapi dari apa yang kurasakan sekarang tak bisa berbohong.

Aku mendengar gelegar petir di langit. Petir merambat di langit gelap. Aku ketakutan dan merasa akan segera turun hujan jadi kembali mempercepat langkah setidaknya masih berharap ada yang bisa kutemui di jalan, misal tukang ojek lagi yang suka berada di depan gang atau apalah yang bisa kutumpangi untuk tetap sampai.

Hingga saat aku sudah terburu-buru akibat rintik hujan mulai turun dan butiran-butiran air itu terhempas karena angin. Suara klaksson terdengar begitu nyaring di belakang, beserta dengan cahaya yang sangat terang.  Aku berbalik dan menemukan orang yang sedang tersenyum ke arahku. Kenapa bisa dia sejauh ini, apa motifnya datang ke tempat ini?