webnovel

Menyusul Kematian

Aku meremas kertas tersebut dan membuangnya. Segera kembali ke kamar, mengganti baju dengan yang rapi, meraih tas yang tergantung di balik pintu, kemudian pergi meninggalkan rumah lagi.

Mungkin aku sudah kehilangan akal sehat dan kewarasanku sekarang. Aku memanggil ojek pangkalan yang sedang duduk-duduk di depan komplek, ingin cepat dan aku tak sempat memesan ke aplikasi.

Setelah memastikan laampu depan menyala dan semua jendela serta pintu rumah Mamah terkunci aku segera menaiki motor butut yang entah bisa atau tidak mengangkutku ke tempat yang kutuju. Jaraknya tak terlalu jauh, tapi tidak bisa dikatakan letaknya dekat atau tidak dengan yang dia perkirakan sebelumnya.

"Antar saya ke terminal."

"Tapi ongkosnya gak murah, ya, neng, lima puluh ribu, mau?" tanyanya yang kubalas dengan lembaran uang limapuluh ke dia.

"Nanti aja, Neng. Pamali bayar duulu baru diantar. Pokoknya sampai sana saya baru minta ongkosnya." Pria itu mulai menyalakan mesin motor seteah beberapa percobaannya gagal saking macetnya dia jadi menampakk

Aku hampir tertawa mendengar orang yang mengingat pamali dibanding ibadahnya atau hal yang lebih penting dari sebelumnya.

Motor melaju dengan cepat sesuai yang aku minta demi mengejar waktu agar dia bisa menjawab semua pertanyaan yang terlintas di kepalaku setelah bertemu Pak Kusumo serta Bu Rohani yang hampir mengorbankan nyawaku sendiri.

Kini aku tak mau lagi diperalat orang-orang yang haus akan uang, jika memang mamahku sendiri yang melakukan dan menjadikanku orang yang akan ditumbalkan, sebaaiknya aku melenyapkan diriku di depan mata mereka dengan tanganku sendiri agar tak ada yang menang dari mereka semua, agar tak ada yang merassakan kekayaan dari pengorbanan yang aku buat.

Mungkin ini takdirku, dilahirkan ke dunia demi mutus rantai kejahatan dari sebuah kelompok jahat yang banyak memanfaatkan orang lain yang tak tahu menahu soal dari mana mereka mendapat kekayaan bahkan orang-orang yang tak pernah menjadi bagian, tidak mencicipi dan yang paling penting tak bersalah sedikit pun tentang itu semua. Tidak adaada tanggung jawab sedikit pun dengan kekayaan mereka yang tak halal.

Motor memasuki kawasan terminal yang aku pinta dari ojek pangkalan tersebut. Aku turun dan membayar ongks yang sudah kami sepakati. Ojek itu langsung putar balik dan dia meninggakanku dalam keramaian yang aku akui sudah muak sekali.

Apalagi mendengar percakapan banyak orang yang sangat bahagia mau pulang kampung. Mereka semua taak tahu bahwa diriku mau pulang kampung bukan menjemput kebahagiaan, tapi mau menjemput kematian yang segera datang mau tak mau karena kedudukanku hari ini adalah calon tumbal.

Aku segera ke pembelian tiket, berharap masih ada yang bisa kubeli agar bisa segera sampai kampung.

"Pak satu tiket ke daerah P," ucapku sambil terus berharap bisa mendapat slot agar tak ketinggalan bus atau menginap di sini dan bisa berangkat besok, aku tak bisa menunggu lebih lama lagi, karena ini semua demi pembuktian agar hatiku tak lagi ragu untuk Mamah atau semua orang yang mendekatiku dengan maksud tak baik dan ada kaitannya dengan semua masalah tumbal ini.

"Kebetulan ada orang yang gagal berangkat dan dia sudah menayar tiketnya, nah, saya diamanatkan untuk memberikan itu kepada orang yang urgent mau pergi ke tempat yang satu tujuan dengannya."

Pria itu menberikan selembar tiket kepadakau dan aku menerimanya dengan sangat penuh rasa syukur. Kupikir kepengurusan di tiket yang mulai sepi menandakan kalau aku tak akan bisa pulang malam ini, dan ternyata malah diberikan tiket.

Berkali-kali aku membungkukan badan seraya mengucapkan, "Terima kasih."

Beruntungnya diriku telah sampai di sini dengan kemudahan yang terus mengikuti, Mudah-mudahan saat di kampung nanti aku tak haruss menemui kejanggalan  dan misteriusnya temapt di sana lagi, semoga walaupun aku tak mau sampai kejadian, kuharap bisa menemukan mamah di sana dengan keadaan sehat, aku hanya ingin melihatnya bahagia, tapi sebelum aku pergi aku hanya mau mendengar penjelasan darinya yang sebenar-benarnya kenaap bisa sampai menempuh kehidupan gelap seperti ini.

Padahal kalau dipikir-pikir selama aku bekerja dan mengabil alih posisi ayahku yang telah meninggalkan kami demi perempuan lain, setidaknya aku selalu memenuhi apa yang menjadi kebutuhan rumah, bahkan Mamah bisa mengikuti arisan di perkumpulannya dengan ibu-ibu sosialita.

Aku memang hanya karyawan swasta biasa saja waktu itu, tapi semenjak mengenalmengenal Mas Fadil sebagai teman, aku mengalami kenaikan pangkat yang cukup cepat, menjadikanku bisa mendapat banyak penghasilan yang kuberikn semuanya ke Mamah agar bisa dioleh jadi lebih banyak.

Pada dasarnya Mamah bukan orang yang kekurangan, dia selalu mendapatkan yang dia mau termasuk peninggalan Papah yang merupakan sebuah tabungan untuk  mereka hidup cukup mewah.

Jadi sekarang aku sama sekali tidak mengetahui apa yang Mamah inginkan jika terbukti telah melakukan hal itu kepadaku anaknya sendirii.

Bus mulai melaju, ketika aku mendapatkanmendapatkan tiketnya semua orang sudah bersiap  masuk dan memasukan muatannya ke dalam bagasi bus.

Aku tak membawa apapun yang berat, tak berniat lama-lama di sana karena jika ini hari terakhirku pun aku sepertinya akan sangat menunggunya dibanding aku hidup oun selalu mendapat yang taktak baik dan setan-setan itu seakan membuatku gerah dengan apa yang mereka lakukan demi membuatku ketakutan.

Rasa takut di dalam diri terkadang tak lebbihh besar dibanding aku merasakan sakit hati dibohongi orang-orang yang sangat aku cintai dan percayai selama ini.

Dengan teganya mereka menyiksa mental dan fisikku sampai begini, padahal apa yang kuperbuat pun semuanya baik. Apa perkataaanku yang menyinggung, aku rasa hanya Mas Fadil dan Mamah yang memang merencanakan sesuatu kepadaku ini.

Terbukti dari kekompakan mereka yang telah membuatku hampir kehilanagn kaal sehat. Aku sseperti berada di depan jurang yang siap menelanku ketika jatuh. Aku hanya berthan agar terpaan angin kencang tak bisa mendorongku ke sana, tapi Mamah dan Mas Fadil yang berada jauh dari tempatku berdiri sama sekali tak ingin menarikku menjauh, mereka hanya menjadi penonton di saat aku bertahan dari semua ini.

Aku menghela napas, pemikiranku tak bisa dienyahkan begitu saja dari mereka berdua. Ikatan ini malah menyulitkan diriku untuk melawan mereka.

Kualihkan pandanganku ke jendela bus, kebetulan aku hanya duduk sendiri di belakang supir, aku tak tahu kemudahan ini akan membawa kepada keberuntungan atau tidak, yang pasti aku sangat menantikan hari di mana aku bisa bebas.

Bus terus melaju dan aku merasa kantuk yang datang luar biasabiasa, berkali-kali mencoba untuk membuka mata, tetapi kedua bola mata ini malah jadi perih, jadi kuputuskan menutup mata demi membawa kenyamanan itu karena perjalanan masih beberapa jam lagi.