Seorang laki laki paruh baya mengusap wajah berulang. Begitu berat kesedihan yang ia tahan sekuat tenaga agar tak tumpah dihadapan sang putri. Dia tak bisa menunda lagi. Dia harus menceritakan semua pada putri satu-satunya.
"Rhea... maafkan ayah yang tak bisa mempertahankan perusahaan keluarga kita. Hutang perusahaan menumpuk. Satu-satunya jalan melunasinya adalah dengan menyerahkannya ke tangan Om Andre"
Rhea sudah menduga, beginilah akhir dari drama perseteruan antara sang ayah dan Andre, sahabat ayahnya. Entah, sekarang mereka pantas disebut sahabat atau tidak. Apa ada seorang sahabat yang meminjamkan uangnya untuk mengembangkan usaha, yang entah bagaimana ceritanya perusahaan mengalami kerugian selama 2tahun berturut-turut, hingga hutang menumpuk dan tak bisa dilunasi. Dan apa seorang sahabat tega mengambil alih perusahaan agar dianggap lunas? Tapi Rhea lupa dalam bisnis tidak ada sahabat atau kerabat. Satu kesalahan ayahnya adalah terlalu percaya dengan Andre dan mengira sahabatnya itu tulus memberikan pinjaman. Ia menduga, Andre memang sejak lama mengincar perusahaan ayahnya.
Namun Rhea tau bukan kapasitasnya untuk tau seluk-beluk permasalahan perusahaan. Ia tak pernah tertarik akan segala tentang perusahaan. Ia hanya perempuan sederhana yang menyukai hujan, teh, dan buku. Walaupun Rhea sejak kecil hidup berkecukupan bahkan bisa dibilang bergelimangan harta, tapi nyatanya ia tak pernah menemukan kebahagiaan bersumber dari harta orang tuanya. Dulu... ya dulu, ketika ia berpikir bahwa kebahagiaan bisa ditemukan. Semakin berjalannya waktu, ia menyadari kebahagiaan itu harus diciptakan, bukan untuk dicari.
Rhea tumbuh menjadi pendiam dan tak punya banyak teman. Meski dibesarkan dikeluarga berada, nyatanya ia tak pernah memanfaatkan kedudukan dan kekayaan ayahnya untuk membentuk dirinya menjadi seseorang yang disegani. Sebaliknya, ia memiliki masalah dengan kepercayaan dirinya. Ibunya berselingkuh di umur yang ke dua belas. Ia melihat dengan mata kepala sendiri, pria keparat itu mencumbu ibunya penuh gairah. Satu luka tertoreh dan efek itu terbawa hingga dewasa. Perceraian orang tuanya diumurnya yang ke empat belas menjadi cerita kelam lainnya yang memandang sebuah pernikahan. Ia minder karena merasa tak memiliki keluarga yang utuh. Dan yang membuatnya menarik diri dari pergaulan adalah berita perselingkuhan ibunya dengan pria beristri, dimana istri sang pria adalah penyanyi terkenal. Aib itu menyebar ke seantero negeri. Sejak itu ia menjadi korban bullying. Disebut anak pelakor. Anak dari pria selingkuhan ibunya turut andil menjadi pelopor yang kerap mem-bully. Mereka bersekolah di sekolah yang sama.
Rhea, gadis berperawakan mungil dan berkacamata itu kini telah berusia 23 tahun. Ia lulus kuliah tahun lalu dan saat ini tengah menekuni dunia menulus. Selain menulis novel, ia mengisi beberapa website dengan tulisan-tulisannya dan aktif sebagai blogger.
Ditatap nya ayah denga wajah datar. Status nya kini berubah, bukan lagi menjadi anak pengusaha kaya, tapi anak dari mantan pengusaha, perekonomian keluarga terpelanting hingga titik nol. Sang ayah berencana pulang kampung dan menggarap sebidang tanah disana. Ia ingin Mengenal Gavin. Ia pernah melihatnya sekilas sewaktu sma, disaat andre mengundang ayahnya dan dirinya makan malam dirumahnya. Pria itu berperawakan tinggi tegap dengan wajah dingim dan garis rahang yang tegas. Usianya lima tahun lebih tua darinya. Bagaimana bisa ia menikah dengan seseorang yang tidak ia kenal dengan baik? Namun untuk menolak permintaan ayahnya, sejak oranh tuanya bercerai,ayahnya lah yang membesarkannya dengan penuh kasih sayang, sedangkan hubungannya dan ibunya memburuk. Sejak ibunya menikah lagi,mereka jarang bertemu.
"Apa Gavin juga setuju?" Rhea memberanikan diri untuk bertanya. Ia pikir, jika Gavin tak setuju, ada harapan agar pernikahan itu tidak terjadi.
"Ya,Gavin setuju."
Pertanyaan ayahnya barusan membuat perasaannya remuk redam. Ia tak sampai hati mematahkan harapan ayahnya yang berharap besar pada pernikahan itu. Ayahnya telah merintis perusahaan itu sejak sebelum menikah. Ia begitu mencintai perusahaannya. Tentu ada rasa berat melepas perusahaannya. Karena itu ia sangat berharap putrinya menjadi bagian dari keluarga Andre agar perusahaan itu nantinya akan tetap jatuh pada keturunannya. Jika Rhea menolah, ayahnya akan semakin berduka.
******
"Menikah dengan Rhea? Rhealita anak kurus dekil itu?" Gavin menajamkan matanya dan bengong seketika.
"Tidak masalah,kan? kalian sama sama single. Meski papah sudah mengincar perusahaan Edwin sejak lama,tapi papa masih punya hati. Edwin ingin putrinya jadi menantu papa. Ia tak ingin menantunya hidup berkekurangan. Jadi papah setuju untuk menikahkanmu dan putrinya.
Gavin menggeleng pelan, ia pernah melihat
Gadis itu sekali. Gadis berbadan mungil, berkacamata, culun, kurang menarik, tidak cantik, rambut tipis, kulit eksotis khas indonesia, sungguh sama sekali bukan kriterianya. Memang, ia baru saja putus cinta. Namun menikah secepat ini diluar bayangannya.
"Aku tidak mencintainya, Pa."
"Cinta bisa dibangun. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa. Jangan rusak kebahagiaan papa. Papa baru saja merayakan kemenangan perusahaan kita semakin besar dan akan menjadi perusahaan properti terbesar dan tersukses di Indonesia. Salah satu pesaing besat sudah berhasil dilumpuhkan. Jika kamu menikahi Rhea, media tak akan mengecap papa sebagai penghancur perusahaan sahabat sendiri. Mereka berpikir bahwa perusahaan Edwin bergabung dengan perusahaan kita karena telah menjadi satu keluarga. Ini bagian untuk menjaha nama baik keluarga." Kata-kata Andre penuh penekanan dan bernada begitu tegas.
Gavin memasang tampang kesal. Ia belum siap menikah, apalagi menikahi gadis yang sama sekali bukan kriterianya.
"Pokoknya, papa tidak mau tahu. Turuti kemauan papa!" Tatapan itu tepat menancap di dua bola mata Gavin, seakan mengoyak hingga keujung retina.
Gavin tak punya pilihan lain selain menyetujui keinginan sang ayah.
*****
Sebulan kemudian...
Rhea menata bajunya dilemari. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruang luas ini kini menjadi kamarnya, tepatnya kamarnya dan Gavin. Pagi tadi adalah babak awal mereka resmi menjadi sepasang suami istri.
Masih terngiang suara lantang Gavin.
"Saya terima nikah dan kawinnya Rhealita binti Edwin Pratama dengan mas kawin tersebut tunai."
Malam ini, malam pengantinnya. Segala rasa bercampur-aduk. Ada rasa cemas, takut, sedih... Dia memiliki trauma tersendiri memandang pernikahan. Sejatinya dia takut menikah. Jauh dilubuk hati, ia tidak menginginkan pernikahan ini. Namun ia berusaha menjadi istri yang baik. Ia melirik jam baju suaminya tergeletak begitu saja diujung ranjang. Ia mengambilnya untuk kemudian digantungnya di hanger.
Gavin yang keluar dari kamar mandi seketika memicingkan mata melihat wanita yang telah sah menjadi istrinya itu berani menyentuh barangnya. Dengan sigap Gavin merebut bajunya.
"Jangan sentuh barangku!" Ketus Gavin. Tatapannya begitu menghujam, membuat Rhea tak berani menatapnya balik.
"Maaf..." hanya satu kata itu yang terpekik dari bibir tipisnya.
*****