webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · perkotaan
Peringkat tidak cukup
24 Chs

Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya,

Rukha melanjutkan langkahnya menyisiri bazar, sesekali ia menoleh kanan dan kiri.

Dan menatap liar kearah depan mencari Ranti yang tak lagi bersamanya. Sampai ia tepat berada didepan panggung pertunjukan.

Rasa bingung yang tidak tertutupi diwajahnya.

Tidak ada yang memperhatikan kebingungannya, karena semua orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

"Apa kau sedang kehilangan sesuatu nona?"

Tanya seorang pemuda tampan dari arah belakang Rukha.

Sontak Rukha berbalik, melihat pemuda yang bertanya padanya.

Mereka saling berhadapan dan memandang satu sama lain. Suasana lenggang, seakan menyelimuti hanyutnya pandangan mereka. Hingga tak lagi merasakan keramaian.

Rukha menatap dalam pemuda yang berada tepat dihadapannya, begitu pun sebaliknya. Mereka hanyut dalam pandangan yang tidak ingin berpaling.

"Ghandy, Ghandy….."

Panggil seorang pemuda yang berada tidak terlalu jauh dari mereka.

Terdengar sayup dan perlahan menjadi jelas.

Pemuda yang berhadapan dengan Rukha sedikit terhentak dari hanyutnya pandangan terhadap Rukha.

Ia tersenyum tipis pada Rukha, dan menoleh melihat kearah suara yang memanggilnya.

"Ayo, kita sudah mau mulai." Lanjut pemuda yang memanggilnya tadi.

Ia menoleh kembali melihat Rukha yang masih berdiri dihadapannya.

"Nona, apa kau membutuhkan bantuan," tanyanya sekali lagi.

Rukha menunduk malu, menggelengkan kepalanya perlahan. Pipinya memerah yang tak mampu ditutupi oleh kulit wajahnya yang putih.

"Kau yakin," tanya pemuda itu sekali lagi.

"Ghandy, ayolahhhh! Seru pemuda yang memanggilnya tadi.

Ia menaikkan sebelah tangannya sambil menoleh kearah pemuda yang memanggilnya, mengisyaratkan bahwa ia akan segera datang.

Lalu ia segera menoleh menatap Rukha.

"Baiklah, saya permisi." Ucapnya.

Ia berbalik dan melangkah pergi, tidak jauh dari jarak langkahnya meninggalkan Rukha. Ia berhenti, kembali menoleh dan melihat Rukha sekali lagi.

Mereka kembali saling menatap, dan pemuda itu tersenyum kecil pada Rukha. Kemudian ia melanjutkan langkahnya dan berlari menuju panggung pertunjukan.

Rukha masih berdiri terdiam dan tertegun melihat kepergian pemuda itu, pandangannya tidak lekat sampai punggung pemuda itu tidak terlihat lagi.

Jantungnya berdegub, seakan ribuan gajah sedang berlali tak terkendali disana. Tangannya dingin seperti air danau yang belum disapa oleh mentari pagi.

"Rukhaaaaa....!" Panggil Ranti.

Rukha dengan sepontan menoleh kearah Ranti yang tiba dari arah belakang.

Ranti tentu sudah mengenal ciri temannya itu, walau dari belakang.

"Aku mencari mu hingga memasuki hampir semua bazar Batik. Aku sungguh panik karena tidak menemukanmu. Jika kau hilang, maka apa yang akan aku katakan pada Ibu dan Bapak. Aku pasti akan sangat disalahkan."

Ranti terus berkata dengan nada khawatir. Kemudian ia memandang Rukha yang hanya diam, dengan rona merah dipipinya yang masih terlihat.

"Apa ada yang mengganggu mu Rukha? Mengapa wajahmu memerah."

Ranti bertanya sambil terus memperhatikan wajah Rukha.

"Atau mungkin kau demam?" Timpal Ranti sambil menyentuh kening Rukha dengan telapak tangannya memeriksa suhu badan Rukha.

Lalu tangannya turun memegang telapak tangan Rukha.

"Wah, tangan mu juga dingin, Apa yang terjadi Rukha?" Ranti kembali bertanya dengan rasa khawatirnya.

"Tidak ada Ranti, kurasa ini hanya karna dinginnya malam." Jawab Rukha menenangkan Ranti.

"Kau yakin?" Tanya Ranti lagi.

Rukha mengganggukkan kepalanya dan tersenyum pada Ranti.

Ranti mulai merasa tenang karena memang tidak ada yang membuat Rukha merasa terganggu.

"Maafkan aku Rukha, karena kelalaian ku, kau jadi kebingungan." Ucap Ranti

"Kau tidak perlu meminta maaf Ranti." Rukha tersenyum pada Ranti.

"Ahhh baiklah, yang terpenting aku sudah menemukan mu sekarang. Hhehehehehe." Ucap Ranti lagi.

"Eh… kau harus mencoba ini." Ucap Ranti sambil menunjuk bungkus kue Yangko pada Rukha.

"Aku membelinya didepan bazar Batik yang kita masuki tadi. Tidak kusangka kita jadi terpisah. Sampai membuat wajahmu memerah dan tangan mu dingin seperti bayi yang dimandikan saat subuh."

Ucap Ranti dengan celetuknya sambil tertawa kecil. Yang disambut dengan senyuman Rukha padanya.

'Entahlah Ranti, Aku tidak pernah merasakan hal sperti ini sebelumnya.' Ucap Rukha dalam hati.

Mereka melanjutkan langkahnya. Menuju keramaian depan panggung pertunjukkan.

"Sebentar lagi kita akan bisah melihat pertunjukkan musik tradisional, pemainnya semua berasal dari kampungku."

Jelas Ranti dengan bangga.

"Kau mau melihatnya?" Tanya Ranti memastikan Rukha.

"Tentu." Jawab Rukha sambil memberikan senyum kecilnya pada Ranti.

"Tapi sebelum itu kau harus mencicipi kue Yangko yang ku beli tadi. Ini salah satu kue tradisional Yogyakarta yang terbuat dari tepung ketan dengan rasa yang manis."

Kata Ranti sambil menyodorkan kue Yangko pada Rukha.

"Aku jamin kau pasti suka, kerana ini juga bagian dari kue kesukaan ku. Heeeeeeeee."

Timpal Ranti sambil tersenyum lebar.

"Makanlah terus Rukha." Ranti berkata seakan sedikit memaksa. Sambil menyodorkan tangan Rukha kemulut Rukha yang sudah memegang kue Yangko.

"Sambil berdiri?" Tanya Rukha sembari menahan tangannya yang sudah didiorong tepat didepan mulutnya.

"Iya, tidak apa-apa. Ayolah." Ucap Ranti yang menggangguk dan tertawa kecil.

Rukha memutuskan untuk mengikuti keinginan Ranti, menikmati kue Yangko sambil berdiri. Itu adalah hal yang tidak pernah Rukha lakukan sebelumnya. Karena menurutnya makan dan minum harus tetap dalam posisi duduk. Hal itu yang diajarkan padanya.

Mereka menikmati setiap gigitan kue Yangko sambil melemparkan senyuman.

Gemerlap lampu membiasi mereka karena berada tepat disebelah kanan depan panggung pertunjukan.

Terdengar lentingan-lentingan gamelan berbunyi secara bergantian yang disambut dengan beberapa bunyi pukulan angklung. Bunyi dari kedua jenis alat musik tradisional itu saling mengisi dan bersahutan. Tempo dan irama bermain didalamnya.

Suasana lenggang, suara-suara penonton yang riuh, perlahan sunyi sembari terdengarnya alunan musik yang sudah mulai dimainkan. Semua penonton mulai menikmati pertunjukan musik dengan hikmat.

Rukha mendengar alunan musik yang mulai mempercepat tempo, ia memperhatikan satu persatu pemain beserta alat musik yang dimainkan.

Ia melihat alat musik disusun dengan rapi, mengikuti ukuran dan jenisnya, hampir memenuhi panggung. Dan diisi oleh pemuda-pemuda yang berada didepan alatnya masing-masing, sambil menunggu gilirannya bermain. Untuk mengharmoniskan musik yang mereka bawakan.

Pemukul gendang mulai memainkan iramanya seolah mengatur bunyi yang dilahirkan dari alat musik ritmis yang lainnya. Musik yang mulai terdengar semarak ketika para pemain mulai menaikkan tempo alunannya.

Hingga suara gendang terdengar menonjol, berdum-plak tiga kali, yang diikuti oleh pemain lain yang menurunkan tempo alunan mereka.

Terlihat dibagian ujung sebelah kanan, seorang pemusik yang memegang suling mulai memainkan sulingnya, ia mengalunkan melodi yang begitu indah.

Diiringi dengan bunyi-bunyi kecil dari alunan gamelan, angklung, gong dan yang lainnya.

Rukha menatap lekat pemuda itu. Pemuda yang menggunakan blangkon, baju adat yogyakarta berwarna hitam yang dipadukan dengan kain batik yang selaras dengan motif blangkon.

Ia memfokuskan pandangannnya, melihat pemuda itu memainkan suling sambil memejamkan mata indahnya. Jarinya bergantian naik dan turun menutupi lubang-lubang suling seolah sedang menari.

'Pemuda itu,' batinnya.

Jantung Rukha kembali berdegub tak berarah. Pandangannya tidak lekat sedikit pun dari pemuda peniup suling.

Hingga suasana menjadi sangat lenggang dengan alunan melodi yang dilahirkan dari bunyi suling. Bunyinya mengikat keheningan malam yang menyatu pada semilir angin.

Perlahan ia membuka matanya sembari masih meniupkan sulingnya. Tanpa sengaja mereka bertemu pandang. Ia menatap lekat gadis asing yang namanya pun belum diketahuinya.

Pandangan mereka terhanyut dalam dawaian melodi suling yang dimainkannya.

Ranti tersenyum lebar, pandangannya juga menatap lekat pemuda peniup suling.