webnovel

Bagian 48

Begitu tiba di panti, Putri langsung mencari Asih. Bakso yang dibelinya diletakkan asal di meja makan. Dia berkeliling sembari memanggil-manggil sang ibu asuh. Pencariannya berakhir ketika menemukan Asih tengah keluar dari gudang sambil menenteng gunting tanaman. Putri menghampiri Asih dengan napas tersengal-sengal dan wajah yang memucat.

"Lho, kamu kenapa, Put? Kayak habis dikejar setan aja," tegur Asih.

Putri mengatur napas sejenak. "Bu, bisa kita bicara?" pintanya.

"Sebentar, ya, Put, Ibu naroh ini dulu," sahut Asih sembari menunjuk gunting tanaman.

Putri mengangguk. Asih mengembalikan gunting tanaman ke gudang. Dia juga mencuci tangan, lalu mengajak Putri duduk di bangku kayu. Mereka sempat terjebak hening beberapa menit, sebelum Putri menghela napas.

"Bu ... aku takut ...," gumamnya dengan suara bergetar.

"Kamu kenapa, Put? Ada yang ganggu?" tanya Asih lembut seraya mengenggam tangan Putri yang gemetaran.

Dulu, kondisi yang sama pernah terjadi. Putri pulang sekolah dengan wajah pucat dan tubuh dibanjiri keringat. Seragam putih merahnya sampai basah kuyup. Gadis itu bahkan langsung terduduk lemas dengan napas terengah-engah. Setelah diusut oleh suami Asih, ternyata Putri hampir mendapat pelecehan dari pemuda di rumah kontrakan yang tak jauh dari panti. Mereka mencoba menuntut, tetapi si pemuda ternyata bukan anak orang sembarangan, sehingga bisa lepas dari jerat hukum.

"Put ... cerita ke Ibu, ada apa sebenarnya?" bujuk Asih pelan-pelan.

"Mereka mencariku, Bu! Mereka mencariku!" jerit Putri.

Dia bersikap seolah panik, membuat Asih menjadi semakin cemas. Asih cepat mendekap putri dang mengusap punggungnya dengan lembut. Meskipun merasa bersalah, tetapi Putri tak punya banyak pilihan. Dia harus mengarang cerita yang dibalut sedikit kebenaran agar Asih mau diajak bekerja sama. Ibu asuhnya itu pasti tidak bersedia berbohong jika tanpa alasan.

Asih mengusap wajah Putri. "Mereka siapa, Put?"

Putri mengingat-ingat lagi kejadian nahas yang menimpa orang tuanya. Air mata pun meluncur deras di pipi. Dia menutup muka, lalu terisak pelan.

"Orang kaya yang sudah membunuh orang tuaku, Bu," ucapnya terbata di antara isak tangis.

Asih tersentak. "Membunuh ... apa maksudmu, Put? Bukankah kamu bilang tidak ingat apa-apa ...."

"Aku bohong, Bu. Aku tidak amnesia, aku masih ingat semuanya. Aku masih ingat bagaimana orang tuaku terpanggang hidup-hidup."

Putri pun menceritakan kejadian mengerikan yang pernah dialami sewaktu kecil. Beberapa kali dia terhenti bicara karena tak bisa menahan isak tangis. Sementara Asih juga tak kuasa menahan air mata. Kisah anak asuhnya ternyata jauh lebih pahit daripada yang dibayangkannya.

"Astaghfirullah, Put. Jadi, selama ini, kamu simpan semuanya sendiri? Maafkan Ibu, ya, Put."

Putri menggeleng cepat. Asih tak memiliki kesalahan apapun. Bahkan, wanita itu adalah malaikat penolong. PT. Karya Lestari dan pamannyalah penjahat sebenarnya.

"Ibu enggak salah. Aku enggak cerita juga bukan karena enggak percaya ke Ibu. Aku cuma takut orang-orang itu akan menemukanku dan membahayakan kita semua ...." Putri membenamkan wajah di dada Asih sembari menikmati usapan lembut di kepala. Setelah puas sedikit bermanja, dia mendongak dan menatap Asih dengan sorot mata memelas. "Tiga hari lagi akan ada detekftif ke sini. Jadi, Ibu bisa merahasiakan kejadian itu?"

Asih tersenyum lembut. "Iya, Put, Ibu janji."

Putri diam-diam menghela napas lega. Selanjutnya, dia mengajari Asih agar bisa berkilah dengan sempurna saat detektif tersebut datang. Putri sudah membuatkan karangan cerita yang sedikit dibalut kebenaran, sehingga tidak bisa juga dikatakan berbohong. Asih hanya perlu memberi keterangan pernah ada anak bernama Wulan datang malam-malam dalam keadaan terluka parah. Namun, kini sudah tidak ada lagi anak bernama Wulan. Jika ditanya ke mana si anak, Asih harus menangis histeris dan pura-pura pingsan, sehingga si detektif akan menyimpulkan bahwa anak bernama Wulan itu sudah meninggal dunia.

Putri pun mengajak Asih untuk latihan dulu, dengan dirinya berpura-pura menjadi detektif. Awalnya, Asih tampak kaku dan kelihatan jelas sedang menyembunyikan kisah sebenarnya. Putri terus melatih ibu asuhnya, hingga bisa bersandiwara dengan sempurna.

***

Waktu berlalu. Putri sudah tidak lagi mencemaskan identitasnya akan ketahuan. Keterangan dari Asih berhasil menghilangkan kecurigaan sang detektif. Namun, kekhawatiran baru kembali datang.

Tyas menunjukkan gelagat mencurigakan. Meskipun masih sering berkumpul saat membuat video untuk channel youtube, gadis itu lebih sering asyik sendiri dengan ponsel. Kadang, dia tersenyum malu-malu, lalu cekikikan saat membaca pesan masuk. Parahnya lagi, pernah suatu hari, Tyas sampai pulang terlalu larut dengan alasan membantu teman. Namun, seorang tetangga melihatnya di kafe bersama laki-laki.

Putri tak tahan lagi. Dia khawatir Tyas menjadi korban buaya darat. Akhirnya, hari ini, Putri pun mengajak Tyas berbicara dari hati ke hati. Saat mereka sudah berbaring nyaman di kasur, dia mulai membuka obrolan.

"Tyas, bisa kamu simpan dulu hapenya, ada yang mau Kakak omongin," tegur Putri karena melihat Tyas masih asyik mengutak-atik ponsel.

"Ah, iya, Kak." Tyas meletakkan ponselnya di nakas.

"Tyas, aku dapat kabar, kamu sering pergi jalan sama cowok. Aku tidak masalah selama cowok baik-baik. Jadi, bisa kamu cerita tentang cowok itu?" pinta Putri.

"Maaf aku udah bohong, Kak. Soalnya, kami belum resmi. Baru jadi temen deket," aku Tyas dengan jujur.

"Jadi, apa aku kenal cowoknya?"

"Kenal, sih, enggak. Cuman pernah ketemu. Kakak ingat cowok ganteng yang di taman pas kita dikejar Satpol PP?"

Putri seketika mendelik. Dia menghela napas berat, menyesalkan kepolosan Tyas. Putri yakin pemuda suka tebar pesona di taman itu jelas playboy cap kapak yang sudah sangat profesional. Gadis manipulatif sepertinya memang bisa segera mengenali, tapi tidak dengan si polos Tyas. Putri kesal dengan dirinya sendiri yang sudah lengah karena terbuai kehangatan saat bersama Aldi.

"Sial*n! Harusnya aku lebih memperhatikan Tyas!" umpatnya dalam hati.

"Kenapa, Kak? Kayaknya Kakak enggak setuju," tanya Tyas hati-hati.

"Iya, Kakak enggak setuju. Cowok itu bukan cowok baik-baik. Sebaiknya, kamu jauhi dia," tegas Putri, sembari berharap belum terlambat untuk menyadarkan Tyas.

"Bang Gilang baik kok, Kak." Tyas tiba-tiba terpikirkan hal yang sangat picik. "Jangan bilang Kakak iri sama aku? Cowok dingin itu, kan, cuma jadiin Kakak pacar bayaran, beda sama Bang Gilang," tuduhnya.

"Oh jadi begitu menurutmu?"

Putri menatap dingin. Tyas seketika tersentak. Hatinya seperti tertusuk pedang berkarat saat melihat sorot mata Putri. Penyesalan terasa mencekik, membuat dadanya mendadak sesak. Dia menunduk dalam sembari mencengkeram ujung baby doll.

"Kak Putri ... aku tidak bermaksud—"

"Ya sudah terserah kamu sajalah!" potong Putri cepat. Dia tersenyum sinis. "Aku tidak peduli lagi. Kamu tanggung resikonya sendiri jika terjadi apa-apa," sahut Putri dingin.

Dia membalikkan badan dan menarik selimut hingga menutupi kepala. Tyas mengepalkan tangan. Dilema menerpanya. Masalah itu tak mudah untuk dihadapi. Tyas tak bisa memilih antara kakak yang sudah membersamai 20 tahun lebih ataukah cinta yang mendebarkan.

Rasa curiga sempat menyelinap di hatinya. Intuisi Putri sangat tajam dan sering kali benar. Tyas menjadi cemas kalau Gilang memang bukan lelaki baik-baik seperti yang dituduhkan Putri. Namun, baru saja berpikir seperti itu sebuah pesan berbentuk video masuk. Tyas mengambil earphone untuk menontonya agar tidak menganggu Putri. Hanya menonton video berdurasi 3 menit itu, kecurigaannya raib dan kembali terhanyut dalam pesona Gilang. Ya, pemuda itu memang mengirimkan videonya tengah menyanyikan lagu romantis sambil memetik gitar.

***