webnovel

Bagian 47

Akhir pekan, Paijo kembali berkunjung ke rumah Aldi. Perasaannya kalut setelah melihat Gilang mendekati Tyas, juga tanggapan gadis itu. Dia memerlukan saran dari lelaki populer macam Aldi agar bisa lebih menarik perhatian gebetan.

"Kusut banget muka lo, Jo," sapa Aldi begitu menyambut kedatangan Paijo. "Ah duduk dulu, Jo!"

Paijo menurut. Dia duduk di sofa dengan wajah yang masih gamang. Aldi ke dapur sebentar untuk meminta asisten rumah tangga membuatkan minuman, lalu kembali ke ruang tamu dan duduk di sebelah Paijo.

"Jadi, ada apa, Jo? Lo lagi ada masalah?" tanya Aldi sembari menepuk pelan bahu sang kawan.

Paijo menghela napas berat. "Gue perlu bantuan lo, Al," gumamnya resah.

Aldi mengerutkan kening, "Bantuan apa, Jo?"

"Jadi gini, nggak tahu gimana gebetan gue tiba-tiba deket sama Gilang–"

"Hah? Kok bisa, Jo? Kapan ketemunya? Bukannya circle Gilang sekitaran cewek-cewek gaul yang suka party? Sedangkan gebetan lo, kan, lo bilang cewek pekerja keras."

Paijo lagi-lagi menghela napas berat. "Itu juga gue bingung. Tiba-tiba aja pas gue liat kemarin udah kayak pernah kenal."

Paijo pun menceritakan kembali kejadian patah hatinya itu. Bagaimana perihnya hati saat melihat Tyas tampak terpukau dengan ketampanan Gilang. Dia juga mengakui memang dari segi fisik kalah tampan dengan si playboy.

"Tapi, kan, ketulusan cinta gue enggak main-main, Al," tutup Paijo mengakhiri ceritanya.

"Sebenarnya, lo enggak kalah ganteng dari Gilang, Jo."

Paijo mendelik. "Gak usah ngehibur gue sampai segitunya dah lo," ketusnya.

"Siapa yang ngehibur. Gue serius. Kan, dulu udah gue bilang, lo cuman salah gaya."

"Jadi, gue harus ganti gaya gitu?"

"Soal itu pilihan lo. Kalo malah bikin lo gak nyaman, ya, jangan."

Paijo terdiam. Sebenarnya, penampilan yang sekarang justru membuatnya kurang nyaman. Ibunya juga sering marah-marah setiap pelanggan ketakutan saat Paijo mengantarkan pesanan.

"Kayaknya emang harus ganti gaya gue, bagusnya gaya apa, ya, Al?"

"Nanti lo ikut ke barbershop langganan gue, biar barber-nya yang nentuin gaya rambut yang cocok. Kalo style baju, nanti kita cari juga sekalian."

"Makasih udah mau bantuin gue," ucap Paijo dengan mata berbinar-binar.

Aldi tersenyum hangat. Dia menepuk bahu Paijo pelan.

"Pasti gue bantu, Jo. Gue juga gak suka kelakuan Gilang bikin cewek baik-baik jadi objek pemuas nafsu."

Obrolan mereka terjeda karena asisten rumah tangga Aldi membawa dua cangkir kopi dan beberapa potong bolu. Aldi mempersilakan Paijo untuk minum dulu. Dia sendiri juga meraih cangkir dan menyeruput isinya. Dari tadi mengobrol, kerongkongannya sedikit seret.

"Kalo bulan ini, gue ada proyek penting. Jadi, rencana tadi mungkin baru bisa di pertengahan bulan depan," celetuk Aldi membuka obrolan lagi.

"Gak papa, Al. Gue dibantuin udah syukur."

"Bantuan lo buat gue jauh lebih banyak dulu, Jo. Lo masih ada di pihak gue pas hampir satu kampus benci gue."

"Waktu itu, ya, gue cuman nyoba objektif aja. Perasaan yang ngejar tuh cewek, kok malah elo yang disalahin." Paijo menyeruput kopi sejenak. "Oh iya, soal si Rani, untung lo udah gak pacaran pura-pura lagi sama dia. Tapi, gimana kelanjutannya sama yang baru?"

"Sangat profesional. Aktingnya juga bagus sekali."

Aldi menceritakan beberapa pengalaman kencan dengan si pacar bayaran. Ada semburat merah di pipinya. Paijo diam-diam merasa lega karena mengira sahabatnya tampak sudah terlepas dari bayang-bayang cinta masa lalu.

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Hari sudah beranjak siang. Paijo tiba-tiba mendapat pesan dari karyawan kafenya. Dia pun pamit pulang.

***

Panggung megah gegap gempita. Seorang gadis cantik menari dengan gemulai. Wajahnya tampak sendu, tetapi perlahan berubah menjadi penuh keyakinan. Tak lama kemudian, atraksi melompat ke dalam kobaran api dilakukannya, membuat para penonton tegang dan cemas.

Namun, Setelah api padam, sang gadis masih melanjutkan tarian, tak kurang satu apa pun. Selanjutnya, tarian penutup ditampilkan dengan apik. Pementasan Sendratari Ramayana pun usai. Para pemeran berkumpul di atas panggung dan membungkukkan badan. Tepuk tangan membahana dari kursi penonton termasuk Putri dan Aldi.

Hari itu, kencan mereka memang sedikit spesial. Biasanya, keduanya hanya pergi berbelanja, makan-makan, atau nonton. Kali ini, Aldi mengajak Putri menonton pertunjukan Sendratari Ramayana dari salah satu sanggar tari yang dibantunya secara finansial.

Setelah para pemeran turun dari panggung, para penonton pun meninggalkan gedung. Aldi berbincang sebentar dengan pengelola sanggar. Sementara itu, Putri melihat-lihat para staf membereskan perlengkapan di panggung. Matanya tampak sendu. Dia mengenang kembali aktivitas anak-anak didik ayah dan ibunya tiap usai pertunjukan dahulu.

"Put, kamu baik-baik aja?"

Panggilan dari Aldi membuyarkan lamunan Putri.

"Udah selesai, Mas?" Putri malah balik bertanya.

"Iya, kita langsung mau pulang atau mau mampir makan dulu?"

Putri melirik jam di pergelangan tangannya. "Pulang aja, Mas. Jam setengah empat jadwal anak-anak latihan."

"Ah ya. Ayo!"

Aldi tanpa sadar menyodorkan lengannya. Putri yang sudah terbiasa juga dengan refleks memeluk lengan atletis itu. Mereka pun ke luar gedung dan menuju mobil di parkiran.

"Bagaimana menurutmu pentas sendratari tadi?" celetuk Aldi saat mobilnya sudah melaju di jalan raya.

"Pertunjukan yang bagus. Koreografinya dinamis sekaligus estetik. Hanya ada sedikit kekurangan."

Aldi tersenyum kecil. "Apa menurutmu kekurangannya?"

"Ekspresi pemeran Shinta di awal pertunjukan kurang dapat, tapi selanjutnya dia sudah bisa merasuk ke dalam tokoh, hingga aku seperti berhadapan dengan Shinta yang sebenarnya," komentar Putri.

Dia mengatur napas sejenak. Aldi memutar kemudi. Mobil berbelok ke kanan, memasuki jalanan yang lebih padat.

Putri melanjutkan ucapannya, "Lalu, gerakan tangan pemeran Rama–"

"Gerakan tangannya sedikit kaku di menit ke 6. Perpindahan antar gerakan kurang alus di menit ke 10," potong Aldi.

Putri menimpali, "Betul. Tapi, tentu saja masih lebih banyak kelebihannya. Meskipun tidak seindah sendratari di Prambanan, tapi sudah sangat bagus untuk pertunjukan pertama mereka."

Aldi dan Putri saling pandang sejenak, lalu berucap dengan kompak, "Aku paling suka saat tokoh Hanoman dan pasukannya memadukan seni tari dan akrobatik dengan apik."

Putri terkekeh. "Mas Aldi benar-benar menyukai tari tradisional, ya? Mas bisa menilai dengan detail seperti memang sudah terbiasa menari," komentarnya.

"Aku memang seorang penari."

"Wah, aku enggak nyangka seorang CEO menggeluti dunia tari!" seru Putri antusias.

Lampu lalu lintas warna merah menyala. Aldi menginjak rem. Laju mobil perlahan menurun, hingga berhenti. Sambil menunggu lampu hijau, dia kembali melanjutkan obrolan.

"Dulu, sering ikut lomba, tapi setelah usia 12 tahun, tidak pernah lagi. Terakhir, memenangkan lomba dengan membawakan Tari Lengger Lanang." Aldi terkekeh. "Foto saat pakai kostum penari perempuan itulah yang mengawali gosip penyuka sesama jenis."

Putri terdiam. Tari Lengger Lanang diikuti Joko terakhir kali sebelum insiden mengerikan itu terjadi. Ada sedikit ketakutan jika Aldi adalah Joko. Putri khawatir akan goyah dan mengurungkan niat balas dendam.

"Putri?"

"Eh, iya."

Aldi menatap penuh selidik.

"Aku inget mau beli bakso dulu. Nanti Mas anterin sampai warung dekat posko damkar aja."

"Oh, oke."

Lampu sudah menyala hijau. Aldi kembali melajukan mobilnya. Obrolan tentang dunia tari semakin seru, hingga warung bakso yang dimaksud Putri terlihat.

"Warungnya yang depan itu, Mas!" seru Putri sembari menunjuk warung.

Aldi mengurangi kecepatan, lalu berhenti tepat di depan warung. Awalnya, dia ingin menunggu Putri. Namun, gadis itu memintanya pulang saja karena tak ingin merepotkan. Panti asuhan juga hanya berjarak 100 meter dari warung. Aldi pun pamit pulang.

Sepeninggal Aldi, Putri segera memesan bakso sebelas bungkus. Sembari menunggu penjual meracik bakso, dia duduk di bangku panjang seraya bermain ponsel. Lebih tepatnya, Putri tengah memeriksa channel YouTube yang kemarin dibuat bersama Tyas dan Paijo.

"Permisi, Pak, Bu, maaf menganggu waktunya." Suara berat membuat para pengunjung warung bakso mengalihkan pandangan, termasuk Putri. Seorang pria berperawakan kurus tinggi memasuki warung. "Saya Haris, seorang detektif," ucapnya memperkenalkan diri.

Wajah para pengunjung warung menegang. Mereka berbisik-bisik, saling bertanya adakah peristiwa kriminal dalam waktu dekat. Pria itu segera mengerti. Dia tersenyum ramah untuk meredakan suasana yang tak nyaman.

"Tidak apa-apa, Pak, Bu. Saya bukan detektif kepolisian yang menyelidiki kriminal. Saya ini detektif swasta yang mencari orang hilang."

Ketegangan seketika surut.

"Orang hilang, Pak? Sekitaran kapan hilangnya, Pak?" tanya seorang pemuda berkepala plontos.

"Sekitar 20 tahun yang lalu, anak perempuan usia sekitaran 10 tahun." Sang detektif terus menjelaskan ciri-ciri anak yang hilang.

Putri tersentak. Dia sangat yakin detektif tersebut disewa oleh Keluarga Permana untuk mencarinya. Wajah gadis itu perlahan memucat.

"Kenapa ada yang tiba-tiba mencariku? Jangan bilang Eyang Dirja ingin menyingkirkanku," gumamnya dalam hati.

Namun, Putri segera menyadari kecerobohannya. Dia tak seharusnya bersikap panik atau tegang. Salah-salah sang detektif bisa curiga. Perlahan, Putri pun mengembalikan ekspresi wajah tenang dan cueknya. Dia meyakinkan diri untuk bersandiwara dengan baik.

"Kalo 20 tahun lalu, zamannya orang tua kami, Pak." Celetukan penjual bakso membuyarkan lamunan Putri.

"Iya, iya, betul," timpal si kepala plontos. "Tapi, sudah pada meninggal, Pak atau pindah."

Si penjual bakso telah selesai membungkus pesanan Putri. Dia menyerahkan kantong plastik besar dan menerima uang. Saat melihat wajah Putri, si tukang bakso menepuk kening.

"Baru saya ingat, Pak. Masih ada orang se-zaman orang tua kami, pemilik Panti Cinta Kasih Ibu. Mbak. Putri ini salah satu penghuni di sana."

"Syukurlah kalo begitu." Si detektif mengalihkan pandangan kepada Putri. "Apa saya bisa minta tolong diantarkan ke panti?" tanyanya.

Putri berpikir dengan cepat. Untunglah, dia bisa segera mendapatkan ide. Putri tersenyum ramah, tetapi sorot matanya tampak sendu.

"Mohon maaf sekali, Pak. Ibu kami lagi ke luar kota. Jadi, Bapak bisa datang 3 hari lagi."

"Oh oke, Mbak. Terima kasih banyak."

"Sama-sama."

Detektif meminta nomor telepon Putri, lalu berpamitan dan meninggalkan warung bakso. Putri diam-diam menghela napas lega. Setelah mendapat uang kembalian dari penjual bakso, dia segera menuju pantai asuhan.

***