webnovel

Bagian 49

Pagi menjelang. Namun, Tyas dan Putri masih terjebak perang dingin. Mereka hanya membisu saat mengerjakan tugas masing-masing maupun sarapan bersama. Putri memang tidak banyak bicara, seperti biasanya hanya tersenyum hangat saat menanggapi cerita adik-adik mereka. Anehnya, Tyas yang sering kali berceloteh mendadak ikut menjadi pendiam.

Sebenarnya, Tyas merasa bersalah kepada Putri. Dia juga tahu kata-kata semalam agak kasar dan keterlaluan. Namun, gadis itu terlalu gengsi untuk meminta maaf. Menurutnya, Putri terlalu ikut campur, juga sedikit curiga kalau sang kawan ada hati dengan Gilang. Meskipun Putri sudah bilang tentang cinta pertamanya yang mirip dengan si cowok dingin, Tyas masih ragu.

"Tyas, kamu kenapa, Nak? Kamu sakit? Kalau sakit izin, kerja saja," cetus Asih membuyarkan lamunan Tyas.

Gadis itu sempat gelagapan sebelum menjawab, "Enggak kok, Bu. Aku sehat-sehat aja."

"Tumben kamu banyak diem? Biasanya paling semangat."

"Lagi ada masalah aja, Bu, di kerjaan," kilah Tyas cepat.

Dia melirik Putri yang tetap menyantap sarapannya dengan tenang. Ada rasa perih menjalar di hatinya. Entah kenapa dia berharap Putri juga merasa tidak nyaman, sehingga lebih mudah berbaikan.

Sebelumnya, mereka juga pernah salah paham, tetapi tidak berlangsung lama. Putri lebih dulu menghampiri Tyas dan memaksanya agar menyelesaikan konflik sampai tuntas. Tyas masih ingat bagaimana mereka berpelukan dengan mata merah dan hidung meler.

"Apa cuma karena cemburu, Kak Putri harus semarah ini? Kalo Kak Putri emang suka Bang Gilang, aku pasti mundur." Tyas kembali sibuk bermonolog dalam hati.

"Tyas, kalo kamu makannya seperti itu, sampai sore juga tidak akan selesai," tegur Asih.

"Eh, i-iya, Bu."

Tyas menghela napas. Dia kembali menyantap makanannya dengan cepat. Dalam 5 menit, makanan yang tersisa di piring sudah ludes. Asih hanya bisa melongo. Maksudnya menegur Tyas agar makan dengan normal bukan kecepatan tinggi. Untung saja, anak asuhnya itu tidak tersedak.

Tyas segera berdiri, lalu menghampiri Asih. "Tyas berangkat dulu, Bu," pamitnya seraya mencium punggung tangan Asih.

Sebelum Tyas tancap gas, Asih memegangi tangan gadis itu. "Sebelum kamu pergi, denger dulu nasihat dari Ibu. Serumit dan seberat apapun masalah, jangan melarikan diri. Selesaikan baik-baik. Dan ingat apa yang menurutmu kejam dan jahat, bisa saja tidak seburuk itu."

"Iya, Bu."

"Nah, pergilah. Hati-hati di jalan."

Tyas mengangguk, lalu melangkah gontai menuju pintu. Dia mengenakan sepatu dengan malas. Akibat perang dingin itu, energi dan semangatnya seperti terkuras. Jika bisa, Tyas ingin rebahan sepanjang hari, berkemul dalam selimut. Namun, dia bukan anak sulthon, jadi tetap harus bekerja dengan giat.

Drrt drrt

Getaran ponsel membuat Tyas tak jadi memasang kaos kaki sebelah kiri. Nama pengirim pesan mendebarkan jantungnya. Dia pun segera membuka pesan masuk.

["Bagaimana harimu hari ini, Cantik? Semoga menyenangkan."]

Tyas membalas dengan cepat.

["Agak suram, Bang. Aku masih belum baikan sama Kak Putri. Entah kenapa dia sampai semarah itu, padahal biasanya kami cepat berbaikan."]

Drrt drrt

Dua pesan masuk lagi dari Gilang. Satu berbentuk foto dan satunya dalam bentuk teks. Jantung Tyas semakin bertalu saat mengunduh foto. Gilang memang mengirimkan fotonya yang tengah tersenyum manis. Tyas tentu tersipu terlebih setelah membaca pesan tambahan dari pemuda tampan itu.

["Semoga habis liat wajah Abang kamu jadi lebih semangat he he he. Semangat, Cantik."]

["Terima kasih, Bang."]

Tyas melihat jam di ponsel. Dia tak punya waktu untuk terus berbalas pesan. Meskipun bosnya baik, bukan berarti boleh bertindak seenaknya dengan telat masuk kerja. Tyas pun mengirimkan pesan lagi untuk mengakhiri obrolan.

["Sudah dulu, ya, Bang. Aku mau berangkat kerja nih."]

["Iya, hati-hati di jalan, Cantik."]

Tyas tersenyum malu-malu. Setelah berbalas pesan dengan Gilang, hatinya menjadi berbunga-bunga. Perasaan yang tadi suram sedikit membaik. Dia segera melanjutkan memakai kaos kaki dan sepatu, lalu bergegas pergi.

Sayangnya, Tyas tak menyadari Putri tengah menatap punggungnya dengan sorot mata sendu. Asih berdiri dan menghampiri Putri, lalu menepuk pundak gadis itu dengan lembut.

"Dia hanya perlu waktu untuk memahami maksudmu, Nak," hibur Asih.

Putri tersenyum pahit. "Semoga waktu yang diperlukannya tidak lama dan tidak terlambat. Buaya seperti laki-laki itu pasti akan mencari kesempatan untuk menerkam mangsa," gumamnya lesu.

"Percayalah padanya. Dia lebih kuat dari kelihatannya."

"Terima kasih, Bu," tutur Putri tulus.

"Iya, Nak," balas Asih seraya mengusap rambut Putri.

Anak-anak panti saling pandang. Namun, keheranan mereka tak berlangsung lama. Setelah Asih kembali duduk di kursi dan mengajak mengobrol santai, mereka langsung menanggapi antusias, tak lagi memikirkan keanehan di pagi itu.

***

"Yang Abang bilang di WA itu beneran, 'kan? Apa rencananya?" cecar Rani begitu Gilang sampai di kafe tempat mereka janjian.

Kemarin malam, dia memang mendapat pesan dari Gilang. Pemuda itu sudah mendapatkan cara untuk merusak hubungan Aldi dan pacar barunya. Rani tentu menyambut kabar itu dengan antusias. Akhirnya, mereka pun membuat janji temu lagi.

Gilang terkekeh. "Sabar, Rani. Izinin gue duduk sama minum dululah."

"Eh, iya, maaf, Bang."

"Iya, gue maafin, tapi cium dululah," goda Gilang sambil menunjuk pipi kirinya.

Rani mendelik tajam. Gilang tergelak.

"Canda doang canda."

"Candaan enggak lucu, Bang. Udah duduk dulu gih!" ketus Rani.

Gilang menarik kursi di hadapan Rani. Setelah duduk dengan nyaman, dia memanggil pramusaji kafe untuk memesan secangkir kopi. Rani tampak tak sabar. Gilang menjadi sedikit kasihan.

"Ya udah, ayo kita bicarain rencananya. Gak enak banget gue liat lo kek cacing kepanasan."

"Abang!"

"Canda, Ran." Gilang menyodorkan ponselnya. Layar menampilkan video yang tengah di-pause. "Lo liat video ini dulu, tapi jangan langsung emosian."

Rani mengerutkan kening. "Emosian?"

"Videonya bisa bikin salah paham, tapi itu emang yang kita cari. Bikin image cewek itu jelek, jadi Eyang Dirja gak bakal ngerestuin mereka," jelas Gilang.

Meskipun tidak terlalu mengerti, Rani tetap manggut-manggut. Obrolan mereka terjeda karena pramusaji mengantarkan pesanan Gilang. Setelah menyeruput kopinya, Gilang kembali menyuruh Rani menonton video di ponselnya.

Video baru berjalan 30 detik. Namun, wajah Rani sudah merah padam. Kuku panjang bercat pink mencengkeram sisi ponsel. Video yang diperlihatkan Gilang adalah saat Putri menolong Aldi saat dijebak dengan alkohol dan afordisiaka. Secara kebetulan, teman Gilang menginap di hotel yang sama dan sempat-sempatnya merekam kejadian itu.

Semakin lama, semakin menyeruak amarah Rani. Dia hampir saja menghancurkan ponsel di tangan. Beruntung, Gilang sempat merebut dan menyelamatkan ponselnya.

"Sabar, Ran, sabar dulu," bujuknya setelah menyimpan ponsel dengan aman.

"Gimana bisa sabar, Bang? Ini cewek bener-bener lonet! Bang Aldi diapain sama dia! Aku bakal bikin dia–"

"Tonton dulu sampai abis dong, Ran," sergah Gilang.

Emosi Rani perlahan mereda. Setelah gadis itu tidak lagi menjadi "singa", Gilang kembali memperlihatkan video di ponselnya. Wajah penuh amarah Rani perlahan melunak. Akhirnya, dia malah ternganga.

"Eh, cewek itu juga ikutan keluar kamar enggak bawa kunci?" tanyanya dengan alis bertaut.

Meskipun sebelumnya Rani menyebut si gadis tidak bermoral, dia pasti tidak akan melewatkan kesempatan jika berada dalam kondisi tersebut. Peluang untuk memiliki Aldi tentu tidak akan disia-siakannya. Oleh karena itu, Rani merasa aneh ketika pacar baru Aldi itu malah pergi meninggalkan hotel.

"Iya, dia emang cuma murni nolong Aldi," jelas Gilang. Dia menyeringai. "Tapi, gimana kalo kita upload videonya tidak sampai habis, lalu bikin narasi yang menyudutkan cewek itu?"

Wajah Rani seketika menjadi semringah. Dia bahkan sudah membayangkan si pacar baru Aldi tersudut oleh komentar buruk publik.

"Ide Bang Gilang emang anti-mainstream, tapi aku suka," pujinya seraya mengacungkan jempol.

"Gue gitu lho. Nah, jadi ayo kita mulai susun strategi."

Rani mengangguk. Mereka pun mulai merancang rencana jahat tersebut dengan lebih detail. Beberapa kali mereka menyeringai licik, membuat gadis kecil di meja yang lain menjadi sedikit ketakutan. Bocah itu menarik-narik lengan baju ibunya, tetapi tidak dipedulikan karena sang ibu asyik bermain ponsel.

***