Ujian naik kelas dilalui Ramona dengan sukses, peringkat pertama di kelas 1 dan merupakan juara umum membuatnya dikenal oleh seluruh penghuni pondok dari Tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiah sampai Aliyah. Perangainya yang mudah bersahabat mebuatnya disenangi banyak orang, dari santri sampai guru-guru. Selain cantik, pintar, suka menolong dan masih banyak lagi kebaikan gadis itu yang perlu ditiru. Ujian naik kelas telah usai namun ujian lain sedang menantinya.
Ramona membuka kado yang diberikan oleh yayasan kepadanya sebagai hadiah juara umum yang disandangnya. Hadiah perlengkapan sekolah, hmmmm artinya dia tidak perlu membeli keperluan sekolah lagi, ada secarik kertas terselip diantara buku tulis itu. "Sukses terus putriku, kami senantiasa menantimu, tetaplah tegar jadilah yang terbaik diantara yang terbaik @Salam sayang"Presdir PT. Karunia Sejahtera. Keningnya bertaut, penasaran ingin tahu siapa presdir itu tapi sudahlah, dia ingin berterima kasih kepada Presdir itu nanti. Sekarang yang menjadi fokusnya adalah meminta izin untuk keluar pondok menemui keluarganya, santri diizinkan pulang setahun sekali saat liburan kenaikan kelas. Ini kesempatan Ramona melepas kangen pada ayahnya, lagian dompetnya juga sudah mulai menipis. Simpanannya habis dia gunakan untuk membantu membayar SPP teman sekamarnya yang ditinggal pergi kedua orang tuanya akibat kecelakaan.
"Assalamu 'alaikum" Ramona mengucapkan salam begitu tiba di rumahnya di desa Sekarwangi. Tak ada sahutan, terdengar tangis seorang bayi, Ramona mengulangi salamnya.
"Waalaikum salam" Tante Dewi keluar dari kamar sambil menggendong bayinya.
oops...Ramona kini memiliki seorang adik. Dipandanginya wajah ibu tirinya yang terlihat tidak menyambut hangat kedatangannya. Dia masih tetap berdiri mematung depan pintu karena belum dipersilahkan masuk oleh ibu sambungnya itu.
"Mona, kenapa bengong disitu, ayo masuk. Kapan tiba ?" Pak Hendrinata yang baru keluar dari kamar mandi melihatnya.
"Eh...maaf Mona baru tiba pa. Ini juga hanya sebentar karena Mona harus balik lagi ke pondok" Kilahnya, padahal dia berniat ingin tidur dan melepas rindu dengan ayahnya, tapi situasi yang dilihatnya saat ini sungguh berbeda. Tante Dewi telah masuk kembali ke dalam kamar tanpa perduli padanya. Gadis itu segera menghambur ke pelukan ayahnya. dia benar-benar rindu, ayahnya pun demikian, dikecupnya kening anaknya berulang-ulang.
"Ayo istrahat sebentar di kamarmu nanti kita ngobrol, papa sholat zhuhur dulu".
Ramona melangkah dengan gontai menuju kamarnya, kamar itu tetap terlihat bersih dan rapi walau sikap ibunya tidak bersahabat tapi gadis itu merasa bersyukur karena ada yang bisa merawat ayahnya dan membersihkan rumah ini termasuk kamarnya yang tetap tidak berubah, selalu bersih dan wangi walau tidak ditempati.
Direbahkannya tubuhnya di atas kasur, dia terlelap sampai sebelah tangan menepuk pipinya dengan halus.
"Mona, kamu tidur ? ini papa"
Mona menggeliat sebentar dan segera bangun.
"Maaf aku tertidur"
"Gak apa-apa lanjutkan saja tidurmu, besok saja pulangnya, masa' izinnya hanya sehari ?!"
"Eh..itu pa, aku kebagian jadwal menjaga kamar karena teman-teman yang lain pada pulang, maklum mereka dari luar kota". Berbohong untuk kebaikan tak masalah, batinnya.
"Sebelum ke Kairo Fajar sempat menemui papa,"
"Oh..." Gadis itu menatap ayahnya, ada binar bahagia terpancar disana.
"Konyol juga orangnya, masa' dia menitipkanmu pada papa, bukan kebalik ? hehehe. Papa bahagia ternyata ada yang perduli padamu"
"Trus papa jawab apa ?"
"Yah...papa hanya bilang jika papa menitipkanmu pada Allah disetiap doa papa"
Gadis itu terharu dan memeluk ayahnya.
"Oh ya pa, Aku ingin melihat adikku, jika dari suara tangisnya sepertinya cowok ya ?" Gadis itu melepas pelukannya.
"Iya, papa menamainya Ifan Rezki Hendrinata"
"Wow nama yang indah, aku ingin menggendongnya"
"Sebentar, papa masih ingin melepas kangen"
"Ih...papa, aku dah besar" mulut gadis itu manyun membuat ayahnya tertawa melihatnya.
"Fajar hendak melamarmu setelah kau lulus kelas 3 nanti"
"Lom kepikiran pa, aku masih ingin kuliah.
"Yah, terserah kau nak, cuman papa tidak seperti dulu lagi, maklum sekarang lagi musim ombak. Pendapatan menurun lagian sekarang papa sedang membangun ruko di kota, biar kelak jika papa pergi ibu dan adikmu bisa membiayai hidupnya sendiri"
"Papa ngomong apa sih, kan ada kami berempat pa, dan jangan lupa ada Tuhan lho, lagian pergi kemana ? takdir itu hanya Allah yang tahu pa, aku ga bisa lama pa, mau gendong ifan sebentar terus pulang"
"Tunggu sebentar papa mau mengambilkan sesuatu untukmu"
Pak Hendrinata bergegas menuju kamarnya. Tak disadarinya jika Ramona mengikutinya dari belakang.
"Papa, anak itu sudah besar biarkan dia cari duit sendiri, kita sedang butuh uang pa, mana ifan juga membutuhkan biaya buat beli susu dan diapers". Terdengar suara protes dari Ibu Tirinya.
"Kita tidak pernah menjenguknya ma, lagian ini juga setahun sekali, papa mau berikan ini untuk biayanya selama dipondok" Jawab Pak Hendrinata gusar, tak disangkanya istrinya bisa berkata seperti itu.
Ramona yang mendengar itu segera berjalan perlahan kembali ke kamarnya, tujuannya hendak melihat adik kecilnya tapi yang didengarnya malah membuatnya sedih. Dia hendak berbalik dan pergi, namun ayahnya sudah berdiri dibalik pintu.
"Eh...ini pa, aku mau lihat Ifan dan mohon pamit pulang sudah sore soalnya". Ujar Ramona gelagapan.
"ini ambillah, gunakan untuk keperluannmu selama di pondok" Pak Hendrinata menyodorkan sebuah amplop yang isinya cukup tebal, Ramona hendak menolaknya tapi karena desakan ayahnya diterimanya juga.
Ramona bergegas menemui ibu tirinya untuk pamitan sekaligus menjenguk adik barunya itu.
"Maaf tante, Aku bisa menggendongnya gak ?" Pinta Ramona.
Tante Dewi tidak bersuara dan malah meninggalkan kamar menuju dapur. Ramona terdiam sesaat matanya berembun, ah biarlah aku tak boleh sedih. Kata hatinya. Gadis itu perlahan menatap ifan yang sedang terlelap tidur dalam buaian. hmmm mirip banget papa...Gadis itu menciumnya dan menyelipkan amplop dibawah bantal bayi mungil itu, dia segera bergegas pergi dan tak berpamitan lagi, toh tadi dia sudah sempat pamitan pada ayahnya.
Selang beberapa menit bayi mungil itu menangis, Pak Hendrinata bergegas dan mengambilnya dari buaian, saat hendak menggendong anaknya tangannya menyentuh sesuatu, "bukankah ini amplop yang diberikannya untuk Ramona ? Ah anak itu selalu saja mengalah, padahal aku tahu anak itu sedang membutuhkan uang. Ya Allah lindungilah dia di setiap langkahnya." Pak Hendrinata menangis dan berdoa tulus untuk anaknya.
"