webnovel

syarat yang mengejutkan

Emili meraih daun pintu ballroom dan menariknya tanpa ragu. Pintu terbuka dan ruangan besar nan elegan terpampang di depan mata dua perempuan yang baru datang tersebut. Namun, bukan si ruangan yang menjadi titik fokus mereka, melainkan penghuni di dalamnya. Seorang lelaki dewasa tampak tengah duduk di salah satu dari empat kursi yang berada di ujung ruangan. Wajahnya terlihat datang melihat dua orang yang baru datang. Sementara dua pria lain duduk di dekat jendela besar di belakang si pria tadi.

Tak sulit untuk menebak bahwa mereka bertiga ada seorang atasan dengan dua pengawal. Dan yang terpenting, baik Luna maupun Emili, mereka tahu siapa pria yang sedang duduk di satu kursi. Luna langsung merasa jengkel saat menatapnya, meski dia tetap bisa menahan perasaan tersebut demi etika sopan santun dan urusan mereka hari ini. Sementara Emili di sampingnya lebih tampak bersiaga dengan mata melirik sekilas pada dua orang pengawal di dekat jendela.

"Silakan masuk dan duduk."

Suara berat Aria Pamungkas akhirnya terdengar demi menyilakan tamunya yang baru datang. Luna yang memang agak gugup bercampur kesal, langsung melangkah cepat tanpa ragu ke arah pria itu dan duduk di atas kursi yang tepat berada di depannya. Sementara Emili memilih untuk mengambil jarak beberapa meter ke arah kiri untuk berdiri rapi seperti dua orang pengawal pria di selatan. Dia akan menjaga etika serta kewaspadaannya secara penuh.

Luna menarik napas samar dan menatap lurus pada pria dengan raut wajah seperti serigala di depannya.

"Jadi, apa syaratnya?"

Dia bertanya tanpa basa-basi dan rasa takut. Meski pria di depannya tidak menunjukan keramah-tamahan. Begitu pun dengan Aria yang sama sekali tidak menunjukan raut selain ekspresi datar pada gadis itu. Dia tidak terlihat heran apalagi terkejut. Lagipula, dia memang tidak terkejut pada banyak hal di dunia ini.

"Menikahlah denganku selama satu tahun."

Ruangan itu hening beberapa saat. Luna terdiam dengan sepasang mata yang beradu pandang pada pria di depannya. Sementara Emili pun menatap keduanya tanpa kedip dari arah kiri. Tangannya mengepal dengan detak jantungnya yang sedikit naik.

"Apa kau sedang menghinaku? Apa maksudmu-"

"Bagaimana mungkin pernikahan adalah sebuah penghinaan?"

Aria langsung memotong ucapan gadis di depannya. Mata hitam di bawah dua garis alis tebal itu menatap tajam meski raut wajahnya tetap datar dengan intonasi suara yang juga datar. Sementara Luna terdiam. Dia sungguh tidak menyangka dengan kata-kata yang dilontarkan oleh pria aneh sombong itu, yang mensyaratkan hal sakral untuk perjanjian mereka. Meski dia sendiri tidak memiliki ide bahkan sebelum datang ke sana tentang syarat apa yang nantinya diajukan. Dia memalingkan wajah sejenak ke arah samping dan membuang napas dengan kasar.

"Sayangnya, kau seperti orang yang sedang merendahkan arti pernikahan itu sendiri. Kau gila ya? Mengajak orang asing hidup bersama? Pernikahan kontrak? Menurutmu menikah adalah sebuah permainan?"

Suaranya tetap berusaha untuk dia kendalikan meski rasa kesal memenuhi rongga dada.

Lawan bicaranya melontarkan senyuman sangat tipis. "Permainan?" Satu alisnya terangkat "Aku tidak mau memaksamu untuk menerima tawaranku sih, meskipun harus kubilang bahwa aku akan membuatmu tidak bisa menolak."

Kedua pasang mata Luna seketika menajam disebab kalimat bagian terakhir pria itu, bersamaan dengan Emili yang melangkah cepat disertai senjata api teracung di tangan yang diarahkan pada kepala Aria. Namun begitu, dua orang pria di dekat jendela pun langsung bergerak cepat menodongkan pistol dengan jenis berbeda milik masing-masing pada Luna dan Emili. Balasan yang setimpal.

Luna menoleh sejenak, terkejut dengan situasi yang menegangkan. Namun dia sedikit kembali menenang beberapa detik kemudian. Sementara pria di depannya tampak tidak bereaksi sama sekali. Konsisten dengan kedataran-nya. Bahkan matanya tetap lurus memandang pada si lawan bicara yang berada di seberang.

"Kau mengancamku?!" Luna memukul permukaan meja.

"Kau merasa terancam?" Balas Aria.

Dan itu sungguh pertanyaan yang membuat gadis di depannya menjadi sangat jengkel.

"Kau pikir apa yang kau katakan barusan? Dengar orang asing, aku tidak mau menghabiskan waktu untuk bermain-main."

Luna segera beranjak dari kursi untuk meninggalkan ruangan tersebut, begitu juga dengan Emili. Dia memasukan kembali senjata api ke dalam saku celana dan mengikuti langkah atasannya. Namun sebelum itu, Aria berkata.

"Kau akan tetap menerima tawaranku. Percayalah."

Luna hanya terdiam sejenak sebelum kemudian dua wanita itu benar-benar mendorong pintu ballroom dan meninggalkan orang-orang di sana. Aria juga tak menahan mereka, dan malah membiarkan mereka melenggang pergi.

Emili dengan sigap segera masuk mobil dan duduk di kursi seusai Luna telah masuk lebih dulu. Mobil segera meninggalkan area hotel.

Di perjalanan, Emili merasa cemas dengan Luna. Gadis di sampingnya tampak terdiam cukup lama tanpa mengatakan apapun. Begitu juga dengan Emili yang belum mengeluarkan suara. Dia hanya melirik pada atasannya satu dua kali. Berharap gadis itu baik-baik saja.

"Apa kau baik-baik saja, Bu?" Akhirnya dia bertanya. Dengan hati-hati dan perlahan.

"Aku baik-baik saja." Jawab Luna seraya menarik napas. "Bahkan saking baik-baik sajanya, aku baru menyadari bahwa kau seharusnya tidak memanggilku 'Ibu'. U-usiaku baru tiga puluh dua dan aku masih gadis, belum menikah Bu!"

Luna menahan napas antara jengkel karena pertemuan, juga kaget karena Emili menginjak rem secara mendadak. Emili menoleh dengan mata melebar.

"Sa-saya tidak sadar dengan itu Bu- eh, harus panggil apa sekarang? Nyonya? Kalau kau tidak bilang, aku tidak sadar. Maafkan saya!" Emili menunduk seraya memegang kemudi dengan erat.

"Lupakan. Ini bukan urusan penting. Kau bisa memanggilku senyamanmu. Aku hanya- Jengkel dengan orang itu ..."

Mereka akhirnya terdiam. Hanya suara embusan napas samar keduanya yang terdengar. Tak lama, keduanya dikagetkan karena suara bunyi klakson mobil berisik di belakang sana. Emili segera menginjak pedal gas kembali, dia lupa bahwa mereka berhenti mendadak di tengah jalan. Jelas itu melanggar peraturan lalu lintas.

"Menurutmu bagaimana? Kau akan tetap menolak tawaran pria itu Bu-eh, maksudku Nona?"

Emili bertanya lagi saat suasana sudah agak tenang. Setelah ketegangan tadi, Luna memutuskan untuk singgah sejenak di sebuah kafe sebelum pulang ke rumah. Dia merasa lapar dan haus setelah insiden gila yang mereka alami.

"Silakan ..."

Seorang gadis pelayan kafe membawakan satu porsi besar martabak kacang beserta dua gelas air putih dan dua cangkir kafucino. Tangannya cekatan menaruh menu tersebut di atas meja.

"Terima kasih." Emili tersenyum pada si gadis sembari mengangguk. Gadis itu balas tersenyum dan segera melenggang pergi. Namun tak lama saat Emili dan Luna sedang mulai menyantap menu pesanan mereka, terdengar suara benda jatuh. Luna dan pengunjung kafe lain reflek menoleh ke arah sumber suara.

"Maaf Pak, saya sungguh tidak sengaja! Sebentar, saya bersihkan!"

Rupanya gadis itu menabrak seseorang saat terburu-buru mengantar menu pesanan pengunjung lain. Lihat saja, minuman dan makanan yang dibawanya tumpah dan sebagian mengenai pakaian seorang lelaki yang ditabraknya. Luna dengan cepat berinisiatif bangkit dari kursi dan memunguti gelas serta piring yang jatuh. Dia tahu bagaimana perasaan gadis itu, pastilah gugup dan malu dengan kejadian yang dialaminya.

"Terima kasih Nyonya!" Dia ikut berjongkok bersama Luna, merapikan barang bawaannya yang berserakan. Dan tanpa disangka, pria yang ditabrak si gadis juga ikut berjongkok. Ikut merapikan.

Tetapi saat itu, Luna justru terperangah saat tatapan matanya bertemu dengan pria tersebut. Begitu juga dengan si pria, dia ikut ternganga.

"Luna ...?"