Pukul 21.23
Luna terdiam di kamarnya, memikirkan (lagi-lagi) soal email itu. Setelah meminta saran dari Amanda yang notabene adalah teman cukup dekatnya saat ini, tepatnya yang bisa dimintai saran, kini tinggal saatnya dia membuat keputusan secara pribadi. Berada dalam posisi seperti dirinya memanglah tidak mudah. Menghadapi beban besar seorang diri, bahkan hampir tiada orang yang sanggup membantunya. Dia memang memiliki orang-orang yang mendukungnya seperti Fero, Fioni, Emili dan para karyawannya, namun untuk bantuan secara spesifik seperti dalam bentuk uang untuk menopang bisnis yang hancur, itu tidak ada. Dia harus mencari solusinya sendirian. Jadi dia memutuskan untuk membalas email tersebut dengan tanpa berharap besar akan kebaikan yang didapat, karena takut akan kecewa nantinya.
Pertama, dia tidak tahu bahwa itu email yang serius atau tidak. Sekalipun mungkin yang mengirimnya adalah dari pihak penting seperti perusahaan furnitur, bisa saja mereka hanya iseng atau bercanda untuk sekadar tertawa atas jatuhnya bisnis miliknya. Kedua, karena email tersebut dikirim dua minggu yang lalu dan Luna baru menjawabnya sekarang. Entah tawaran tersebut masih berlaku atau tidak. Bahkan ada kemungkinan besar pihak dari si pengirim itu sudah melupakan soal email tersebut dan mengabaikan jawaban Luna hari ini. Namun apapun hasilnya, Luna tetap akan membalas. Urusan dilihat atau diabaikan, itu bagian nanti.
Setelah itu, Luna memilih untuk menarik selimut dan memejamkan mata. Dia ingin tidur dengan tenang malam itu dan tanpa memikirkan apapun.
.
Menerima Tawaran Bantuan
Keesokan paginya
Dengan cepat seusai matanya terbuka, Luna langsung meraih gelas berisi air putih di atas meja yang berada di sisi kiri ranjang. Dia meneguknya perlahan lalu setelahnya diam sejenak untuk mengumpulkan kesadaran secara penuh. Barulah kemudian tangannya meraih laptop yang juga berada di atas meja tempat air minum tadi ditaruh. Luna ingin melihat kotak masuk email miliknya, berdebar apakah ada balasan balik dari balasan email yang semalam.
Saat itu juga, seseorang mengetuk pintu dua kali dan masuk. Itu adalah asisten rumah. Dia tersenyum sembari membawa nampan berisi makanan di tangannya. Melihatnya, Luna terdiam. Dia merasa sedikit De Javu, teringat pada momen menyedihkan dua minggu lalu saat mendiang ibunya membawakan makan pagi yang terakhir untuknya, yang bahkan tidak sempat dia makan lagi ketika itu.
"Menu sarapannya adalah yogurt vanila dengan potongan pisang dan stroberi, smoothie pisang dan air putih. Silakaaan."
Si asisten menaruh nampan di atas meja dengan tingkah yang agak jenaka. Luna hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih pelan, lantas bertanya sedikit pada asistennya apakah wanita itu sudah sarapan. Lalu melanjutkan kegiatannya membuka akun email setelah si asisten keluar dari kamar. Sayang, dia harus menelan sedikit rasa kecewa karena tidak melihat email balasan dari kotak masuk. Namun, sesaat kemudian dia memiliki ide lain. Mungkin karena ini masih terlalu pagi, jadi si pengirim belum bangun atau kemungkinan memang si pengirim sudah tidak peduli soal email itu. Yah, akhirnya rasa kecewanya teredam karena Luna memilih pasrah. Jika memang si pengirim sudah tidak peduli pun itu tidak terlalu membuat kesal karena memang dia tidak terlalu berharap akan mendapat kabar baik.
Dia akhirnya segera menyantap menu sarapan yang ada di meja dan menghabiskannya sambil memikirkan beberapa hal dan rencana hari ini, sebelum pergi mandi. Namun ketika dia telah usai berpakaian dan hendak menutup laptop, tetiba sebuah notifikasi di kotak masuk email muncul. Luna segera memeriksanya.
Matanya melebar saat melihat siapa yang mengirim pesan. Itu adalah si pengirim email tanpa nama dan dia membalas pesan Luna semalam. Dia setuju untuk pertemuan mereka hari ini. Luna meremas jemari dan menutup laptop perlahan. Berarti dia harus segera bersiap, setelah membaca balasan email tersebut dan nantinya pergi ke sebuah tempat pertemuan yang tertera di dalam balasan email.
Dia berharap akan ada hal baik yang berpihak kepadanya hari ini. Namun dia juga tidak melupakan keselamatan diri seperti yang dikatakan oleh Emili dan temannya, Amanda. Dia akan membawa seorang pengawal atau mungkin juga dua orang untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi. Maka dari itu, dia harus segera menghubungi seseorang untuk menemaninya datang ke tempat pertemuan yang telah disepakati. Luna sedikit cemas jika akan terjadi sesuatu atau orang yang ditemuinya berbuat tidak baik atau semacamnya. Namun, apapun yang terjadi, dia harus mengambil resiko untuk menghadapi segala kemungkinan.
.
Malam harinya di rumah Luna
"Eh? Saya? Kenapa saya?"
Wanita yang baru saja datang yang tak lain adalah Emili itu sedikit terpaku saat Luna mengajukan instruksi kepadanya.
"Iya, maaf sekali ya Bu. Kau adalah orang yang memiliki keahlian menembak cukup baik dan kau juga sudah terbiasa dengan senjata api, jadi aku mempercayakannya kepadamu saja. Mohon bantuanmu."
Luna membungkuk sejenak sebelum menyerahkan senjata jenis revolver kepada Emili yang tampak agak terkejut melihat benda yang disodorkan kepadanya.
"Eh, ini bukan mainan kan?" Tanyanya, untuk memastikan. Meskipun dia tahu sekali bahwa itu adalah senjata asli. Karena Emili memang pernah bekerja di salah satu pabrik senjata api di Rusia dan dia juga memiliki keahlian menggunakan beberapa jenis senjata.
"Tapi dari mana Ibu Luna mendapatkannya? Membelinya secara resmi?" Emili mengambil senjata api itu dari tangan Luna.
"Tidak. Itu pemberian seseorang di masa lalu. Aku harap kau tidak keberatan, Bu. Temani aku satu jam lagi." Ujar Luna, yang membungkuk lagi.
"Tentu saja tidak, Bu. Saya bersedia dan siap."
"Terima kasih banyak."
Emili memang tidak merasa keberatan dengan tugas tersebut. Dia hanya tidak mengira bahwa Luna akan meminta dirinya secara langsung yang menjadi pengawal untuk pertemuan yang diwaspadai. Dia pikir atasannya itu akan mencari orang lain. Namun dengan kepercayaan yang diberikan, Emili semakin ingin menjaga kepercayaan tersebut dan tentunya semakin ingin menjaga totalitas pekerjaannya.
Tepat pukul 21.12, mereka sudah berada dalam perjalanan menuju tempat pertemuan yang telah disepakati. Sebuah hotel mewah bintang lima di Jakarta Selatan. Sementara Emili membawa mobil yang mereka tumpangi menuju area parkir, Luna tampak lebih banyak diam. Mengatur napas untuk menetralkan sedikit rasa gugup di dada. Jujur saja, dia merasa agak khawatir sesuatu akan terjadi dengan pertemuan aneh ini. Jika sesuatu itu hal baik tak apa, namun jika itu adalah hal buruk, siapa yang menginginkannya?
"Tenang saja Bu. Saya siap menjaga hingga kita bisa pulang ke rumah." Emili tersenyum bersemangat pada Luna. Perempuan berdarah Belanda dengan rambut ikal-pendek itu tampak siaga. Langkahnya mantap berada di depan Luna selayaknya seorang bodyguard bayaran profesional.
Luna lantas mengikuti langkahnya menuju lobi hotel mewah tersebut. Emili berinisiatif menghampiri petugas reservasi dan menanyakan nomor sebuah ruangan yang menjadi tempat pertemuan mereka. Tanpa banyak bicara, si petugas langsung menjawab apa yang diperlukan dua orang tersebut seusai dia bertanya sedikit nama Luna.
Selanjutnya dua orang itu menuju ruangan yang ditunjukan petugas reservasi tadi dan ternyata itu mengarah pada sebuah ballroom yang ternyata telah dibuat privat sedemikian rupa.
Saat mulai melihat pintu besar itu, Luna tahu bahwa dia merasakan ketegangan. Dia cemas akan orang yang hendak ditemuinya, apakah memang pimpinan perusahaan furnitur itu atau bukan. Dia sedikit takut salah menduga dan mungkin yang lebih membuatnya cemas adalah apa yang akan terjadi nanti. Namun, Emili yang berjalan di sampingnya, lagi-lagi meyakinkannya.
"Ayo masuk, Bu. Semua akan baik-baik saja."